Share

6. Puspa 2

Ponsel Pipit berdering dan gadis itu keluar dari kamar perawatan. Air mata Puspa kembali tumpah. Sesalnya begitu dalam. Seharusnya dia jujur saja sejak awal. Kehilangan Bram sebelum pernikahan terjadi, tentu lebih baik daripada menjalani keadaan seperti ini. Dirinya serasa sangat tidak berharga di hadapan lelaki rupawan itu.

Tentu Bram menyesal. Kenapa setelah kehilangan bidadari, sekarang mendapatkan perempuan sehina dirinya. Malam sebelum keberangkatan Bram ke Surabaya, ia mendapati lelaki itu termenung di ruang kerja. Menghadap foto keluarganya yang masih tergantung di dinding.

Foto-foto mantan istrinya masih terpasang rapi di kamar anak-anak dan ruang kerjanya. Kalau di dinding ruang keluarga sudah diturunkan semua. Dirinya bukan pengganti wanita itu. Karena selamanya Sandra tidak akan pernah tergantikan.

Istilahnya sekarang, Bram hanya melanjutkan hidup dengan menikahinya. Semua sudah habis untuk orang lama. Kalimat yang pernah seliweran dan ia baca di beranda akun media sosialnya, kini menjadi kenyataan dalam hidupnya.

Ah, andaian Puspa jadi ke mana-mana. Menerka-nerka sendiri. Dia tidak bermaksud menipu, dia hanya ingin Bram bisa menerima apa adanya. Seperti dia yang rela dan bersedia menjadi ibu sambung untuk Vanya dan Sony.

Akan tetapi, lelaki punya egoisme yang mutlak mengenai hal itu. Dia memiliki segalanya, tidak hanya wajah tampan, badan bagus, suara nge-bass, bisnis sukses, dan kaya. Apa yang kurang coba? Makanya dia juga menginginkan perempuan sempurna.

***L***

"Bunda, sakit ya. Wajah Bunda pucat gitu." Sony yang sedang makan malam memperhatikan Puspa yang duduk di depannya.

"Saya hanya masuk angin, Dek. Yuk, dihabisin makannya. Terus salat Isya."

"Bunda gitu lho, Bun. Jangan 'saya'."

"Iya," jawab Puspa sambil tersenyum.

Mereka hanya makan malam berdua saja. Vanya memilih makan di kamar. Setiap kali papanya tidak ada di rumah, anak itu semaunya sendiri dan tidak pernah mau mendengar apa yang dikatakan Puspa.

"Bunda, sudah minum obat?"

"Sudah tadi."

"Papa pulang kapan, Bun?"

"Besok kalau nggak lusa, Dek."

Percakapan mereka terhenti saat ponsel milik Sony berdering di meja. "Papa telepon, Bun." Wajah bocah lelaki itu spontan berbinar.

"Jawab saja. Tapi nggak usah bilang kalau bunda sakit, ya."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Bunda hanya masuk angin. Sekarang sudah lebih baik." Puspa tersenyum seramah mungkin supaya Sony percaya. "Angkat teleponnya."

Sony menjawab telepon. Sedangkan Puspa bangkit dari duduknya untuk membawa piring Sony yang sudah kosong ke dapur.

Tubuhnya masih terasa lemas. Untuk berjalan saja masih susah. Namun Puspa memaksakan diri.

Biasanya sore hari, dia ke rumah mama mertua untuk menemani meski hanya sejenak. Tapi sore tadi dia tidak sanggup berjalan walaupun rumah sang mertua hanya dipisahkan oleh halaman samping. Semoga saja waktu Bram pulang nanti, dia sudah pulih.

***L***

"Kak, pamitan dulu dong sama, Bunda!" Sony menegur kakaknya yang membuka pintu mobil. Namun Vanya melengos tidak peduli dan langsung masuk mobil. Membuat sang adik berdecak lirih.

"Bun, Sony berangkat sekolah dulu ya. Kalau Bunda nggak sakit, Sony malah senang di anterin Bunda saja." Bocah lelaki itu mencium punggung tangan Puspa.

"Nanti kalau sudah sembuh, Bunda yang antar jemput Sony lagi."

"Oke, Bun. Tadi malam papa bilang kalau sore nanti papa sudah pulang."

Puspa mengangguk meski dalam dada deg-degan. Jadi Bram tidak jadi pulang besok? Mana kondisinya belum pulih benar. Tapi apa mungkin Bram peduli. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Bram tidak mungkin seperti suami lainnya yang melepas rindu setelah beberapa hari tidak bertemu istrinya.

Bram sudah enggan menyentuh.

Setelah melambaikan tangan pada Sony, Puspa kembali ke dalam. Dia langsung ke kamar dan mengganti seprai serta membersihkannya. Termasuk memasang pengharum ruangan. Beberapa skin care-nya di atas meja rias dimasukkan ke dalam pouch dan disimpan dalam lemari. Jika mau pakai tinggal membawanya keluar kamar.

Selama menunggu sore, Puspa tidak tenang. Setelah Bram pulang apa yang akan terjadi. Andai saja dia berani mengambil keputusan untuk pergi, sudah ia lakukan. Tapi dia tidak akan pergi tanpa memberikan penjelasan. Jika dia pergi, hanya akan meninggalkan kekacauan.

Namun ia takut sekali. Jika Bram tahu, apa keadaan tidak lebih buruk lagi. Puspa belum mengenal lebih jauh bagaimana suaminya ini. Semua orang mengenalnya sebagai lelaki yang baik. Sebagai bos, sebagai tetangga, sebagai warga desa yang baik. Tapi untuk pasangannya, Puspa belum mengenal secara mendalam.

Wanita itu berjingkat saat mendengar suara mobil Bram memasuki garasi. Ternyata suaminya pulang lebih cepat dari perkiraannya.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status