Bram mengajak Bu Dewi langsung ke rumah sakit setelah dikabari ART Pak Lurah kalau Bu Lurah opname sejak siang tadi."Ibu shock karena membaca berita tentang perempuan yang b*nuh diri setelah ditinggalkan calon suaminya. Ibu takut Puspa melakukan hal itu." Irwan memberitahu Bram saat mereka duduk di bangku depan ruang perawatan. Sedangkan Bu Dewi berbincang di dalam. "Mas Irwan, nggak tahu sama sekali tentang teman dekatnya Puspa?""Seingat saya, Puspa beberapa kali mengajak pulang temannya yang bernama Dita. Waktu liburan dulu, dia beberapa hari nginap di sini.""Rumahnya di mana?""Surabaya Utara kalau nggak salah. Alamat pastinya di mana saya nggak tahu."Bram mendapatkan gambaran di mana harus mencari Puspa selanjutnya. Meski wilayah itu sangat luas. Sejak awal, Bram memang condong ke perempuan yang bernama Dita. Dia pasti tahu tentang Puspa."Maaf, aku mau pulang dulu. Sudah janji ketemuan sama Dikri." Irwan masuk untuk pamitan. Sedangkan Bram duduk di sofa bersebelahan dengan s
PERNIKAHAN- Stalking"Hai, Dit. Ngapain kamu di sini?" teriak Rayyan dari dalam mobil. Dita terkejut, lantas memandang ke arah taksi yang bergerak menjauh. Hampir saja Puspa kepergok Rayyan. "Aku nganterin Mas Ilyas naik taksi," jawab Dita gugup."Cowokmu pulang?""Hu um," jawab Dita berbohong. Padahal kekasihnya baru berangkat kembali ke Bandung tiga hari yang lalu setelah cuti empat hari di Surabaya."Kamu lihatin apa?" Rayyan penasaran dan ikut memandang pada hiruk pikuknya kendaraan di depan sana."Liatin taksi yang membawa Mas Ilyas.""Kalau masih kangen, ngapain dibiarkan pulang."Dita mencebik. "Kamu baru pulang kerja?""Iya.""Biasanya naik motor.""Mobil papa pas nganggur. Nih, buat kamu." Rayyan mengulurkan sekotak lapis Surabaya lewat jendela mobil."Nggak kamu bawa pulang saja?""Masih ada satu kotak lagi. Dikasih sama klien tadi.""Makasih ya, Ray."Rayyan mengangguk. Kemudian membunyikan klakson dan melaju pergi. Dita memperhatikan mobil temannya yang menjauh. Bagaima
Dahi Puspa mengernyit karena kaget. "Jangan bikin gara-gara. Aku nggak mau. Tolong, aku mau pulang.""Kamu punya pacar?""Ya," sahut Puspa cepat meski itu berbohong."Kamu menolakku.""Iya." Jawaban yang sama entah untuk yang ke berapa kali.Hening. Tubuh lelaki itu tidak bergeming meski Puspa sudah berusaha mendorongnya. Wajah Dikri sudah merah padam dengan gigi mengatup rapat.Puspa terkejut saat lelaki itu menariknya masuk ke sebuah kamar di lantai satu rumah megah mereka. "Mau ngapain kamu, Mas." Puspa panik."Memilikimu.""Jangan gila. Biarkan aku keluar." Puspa benar-benar ketakutan. Dia hendak ke pintu, tapi sayang sudah dikunci oleh Dikri. "Kamu nggak akan bisa pergi, Cantik. Teriak saja, nggak akan ada orang yang mendengarnya. Kamar ini kedap suara." Dikri menyeringai.Puspa menarik kasar handle pintu, tapi sia-sia. Teriakannya pun tak berguna. Sekalipun dia memohon-mohon, tapi Dikri makin kalap."Lihatlah, bagaimana aku akan memilikimu dengan caraku. Dan kamu akan menyesali
Bu Dewi menghela nafas panjang. Kalau tidak ada petunjuk sama sekali, bagaimana Puspa bisa ditemukan."Setelah Puspa ketemu, apa kamu akan mengembalikan kepada orang tuanya?""Tidak, Ma.""Pak Lurah kecewa padamu, Bram.""Iya, saya tahu.""Apa kamu yakin, Puspa masih ingin bertahan setelah apa yang terjadi?"Perasaan Bram tercubit. Puspa sekecewa itu terhadapnya."Kenapa kamu sampai nggak tahu dia hamil?""Puspa tidak memberitahu. Janin itu baru empat minggu, mana saya menyadarinya, Ma.""Dia diam karena kamu bersikap nggak peduli. Bram, kalau kamu mencintainya. Perjuangkan dia. Yakinkan pada orang tuanya kalau kamu serius ingin memperbaiki hubungan. Puspa hanya korban. Dalam kasus seperti ini, korban memiliki alasan untuk diam. Karena malu, merasa itu aib yang hina, takut, dan ia memilih menanggung beban psikologis seorang diri."Kamu punya anak perempuan. Tentu kamu bisa merasakan bagaimana sakitnya seorang ayah jika putrinya mengalami peristiwa dan diperlakukan suaminya seperti kam
PERNIKAHAN - Kecewa "Kenapa kamu diam? Jawab siapa laki-laki itu?" Suara Bram begitu dingin. Namun tatapannya tajam, bak mata elang yang sedang mengintai mangsa. Bram yang tidak banyak bicara terlihat sangat marah karena sang istri tidak mau jujur. Puspa membeku menatap keluar jendela kamar yang terbuka. Angin malam berembus masuk. Jemarinya yang bertaut di atas pangkuan terasa dingin dan gemetar. Apa ia harus menceritakan kelamnya peristiwa itu? Dia pikir, Bram tidak akan mempermasalahkannya. Kemarin malam usai momen sakral itu hingga sore tadi sang suami diam saja. Puspa tenang. Dipikirnya Bram bisa menerima apa adanya. Tapi malam ini, sang suami mengajaknya bicara di kamar. "Kenapa kamu tidak mau mengatakan sejak awal? Kamu sengaja ingin menjebakku?" Hening. "Kamu memang mau menipuku." Bram bangkit dari duduknya. Berdiri tegak di hadapan Puspa dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapan penuh kemarahan tak beralih dari wanita cantik yang memucat itu. "Aku mema
PERNIKAHAN - Kecewa Vanya memberengut. Mak Sri yang melihat dari dapur tergesa menghampiri dan membantu Puspa memunguti nasi. Vanya memang tidak menyukai Puspa. Semenjak mereka dipertemukan pertama kali dan dikenalkan sebagai calon istri papanya., Vanya sudah menunjukkan kebenciannya. Berbeda dengan Sonny. Sekarang sang adik yang duduk di kelas empat SD sudah mulai dekat dengan ibu tirinya. "Bunda, untuk acara Parents Day besok. Bunda, saja yang datang ke sekolah, ya. Teman-teman Sonny juga mamanya yang datang. Biasanya kan Mbak Tika yang dampingi Sonny. Sekarang Bunda saja, ya." Sambil makan bocah lelaki itu memandang Puspa. Puspa tidak langsung menjawab. Dia memandang Bram yang tengah makan. Namun suaminya diam saja. "Biar Mbak Tika saja, Dek. Dia sudah biasa dampingi kamu," jawab Vanya. Tika ini salah satu staf di gudang. Sudah bekerja lama dengan papa mereka. "Kan kita sudah punya Bunda, Kak. Sonny juga ingin didampingi seorang ibu. Mau kan, Bun?" Tatapan Sonny pada Pus
PERNIKAHAN - Keguguran "Kamu tunggu di sini dan jangan sentuh apapun," ucap Bram kemudian meninggalkan Puspa di ruang kerja. Menemui staf yang membutuhkan tanda tangannya.Meski tertunda, Puspa tidak bisa bernapas lega. Justru debaran di dadanya semakin hebat. Apa yang akan terjadi setelah ini. Jika sampai Bram memberitahu ayah dan ibunya lantas sang suami menceraikannya, keluarga akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Apalagi ayahnya sangat dihormati oleh warga desa. Menjabat kepala desa dua periode, karena Pak Fathir sangat baik dan amanah.Puspa akan mencoreng nama baik keluarganya yang terjaga dengan baik selama ini, karena pernikahannya yang hanya seumur jagung. Takut sekali Puspa menghadapinya.Air mata kembali menetes. Mengingat peristiwa kelam yang mati-matian ingin dikuburnya. Semakin ingin dilupakan, semakin segar dalam ingatan.Berulang kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pandangannya terpaku pada meja sudut ruangan. Ada foto seorang perempuan yang terjaga rapi. Ca
Puspa pucat dan berkeringat. Padahal suhu dalam ruangan cukup dingin. Bahkan ia hanya sanggup menunduk dan tidak berani memandang sang suami dan kedua orang tuanya yang tengah berbincang. Sore itu Pak Fathir dan istrinya menyambangi Bu Dewi setelah dikabari oleh Puspa siang tadi.Ia khawatir kalau Bram akan mengungkapkan amarahnya. Walaupun jelas itu tidak mungkin dilakukan dihadapan mamanya yang tengah sakit. Nyatanya sampai kedua orang tuanya pamitan, Bram tidak membahasnya. Puspa lega, meski semua ini hanya sementara sampai mama mertuanya kembali pulih. ***L***"Mas, ini baju ganti untukmu." Puspa menggeser ransel berisi pakaian suaminya.Bram yang tengah fokus di layar laptop, hanya melirik sekilas. Puspa menghampiri ibu mertuanya yang tengah mendengarkan cerita Sony. Tadi dari sekolah, Puspa langsung mengajak anak tirinya ke rumah sakit."Seneng ya didampingi Bunda?" Bu Dewi mengusap pipi sang cucu."Seneng dong, Uti. Semua teman-teman Sony didampingi ibunya. Selama ini Sony ka