Share

3. Keguguran 1

PERNIKAHAN

- Keguguran

"Kamu tunggu di sini dan jangan sentuh apapun," ucap Bram kemudian meninggalkan Puspa di ruang kerja. Menemui staf yang membutuhkan tanda tangannya.

Meski tertunda, Puspa tidak bisa bernapas lega. Justru debaran di dadanya semakin hebat. Apa yang akan terjadi setelah ini. Jika sampai Bram memberitahu ayah dan ibunya lantas sang suami menceraikannya, keluarga akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Apalagi ayahnya sangat dihormati oleh warga desa. Menjabat kepala desa dua periode, karena Pak Fathir sangat baik dan amanah.

Puspa akan mencoreng nama baik keluarganya yang terjaga dengan baik selama ini, karena pernikahannya yang hanya seumur jagung. Takut sekali Puspa menghadapinya.

Air mata kembali menetes. Mengingat peristiwa kelam yang mati-matian ingin dikuburnya. Semakin ingin dilupakan, semakin segar dalam ingatan.

Berulang kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pandangannya terpaku pada meja sudut ruangan. Ada foto seorang perempuan yang terjaga rapi. Cantik dan anggun wanita itu. Tentunya sangat baik juga. Buktinya Bram tidak buru-buru mencari pengganti setelah istrinya tiada empat tahun lalu. Betah sendirian menjaga anak-anak hingga pernikahan dengannya diatur oleh keluarga.

Kenapa dia tidak jujur saja sejak awal. Bukankah sebelum menikah, beberapa kali Bram mengajaknya keluar makan malam. Kalau dia memberitahu, tentu peristiwa yang bakalan menakutkan ini tidak akan pernah terjadi.

Mungkin Bram akan mundur, tapi sudah pasti pria itu tahu rahasianya. Atau dia menolak tegas perjodohan tanpa membongkar aibnya. Ah, semuanya sudah terlambat. "Bodoh kamu, Puspa. Terlena pada pria tampan dan tegap itu tanpa memikirkan resikonya. Kamu pikir dia bisa menerimamu apa adanya?"

Walaupun duda, Bram punya semuanya, tentu dia bisa mendapatkan apapun yang dia mau. Gadis suci, bukan rongsokan seperti dirinya. Dia berhak menuntut hal itu dan merasa dibohongi ketika tidak mendapatkan apa yang seharusnya ia peroleh dari Puspa.

"Kita pergi sekarang." Suara di ambang pintu mengejutkan Puspa. Degup jantungnya berpacu hebat. Sampai kakinya gemetar saat bangkit dan melangkah. Haruskah berakhir secepat ini?

"Pak Bram," teriak seorang karyawan laki-laki yang berlari menghampiri mereka di garasi. Nafasnya tersengal.

"Ada apa, Pak Dul?"

"Pak, Ibu jatuh di depan pintu kamarnya."

Bram bak kesetanan berlari menyeberangi taman di sebelah utara rumahnya. Menuju rumah dengan halaman luas yang ditempati sang mama. Puspa pun berlari menyusul.

Seorang karyawan laki-laki membopong tubuh Bu Dewi yang lemas dan membaringkan di tempat tidur.

"Kita bawa mama ke rumah sakit, Pak. Tolong siapkan mobilnya." Bram langsung membopong tubuh sang mama keluar kamar. Puspa bergerak cepat membukakan pintu mobil yang sudah siap di halaman.

Dua puluh menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Bu Dewi langsung mendapatkan penanganan di IGD.

Bram yang gelisah mondar-mandir. Sementara Puspa duduk di bangku logam. Terlalu kejam kalau dia bersyukur atas kejadian ini yang menyebabkan Bram menunda untuk menemui orang tuanya.

Bu Dewi mertua yang sangat baik. Terlihat sekali kalau dia menyayangi Puspa. Bahkan selalu memberikan nasehat pada Vanya dan Sony agar menyayangi dan menerima Puspa sebagai ibu baru mereka.

"Mama saya bagaimana, Dok?" Bram menghampiri dokter yang keluar dari ruang IGD.

"Tekanan darah Bu Dewi naik, kolesterol, dan gula darahnya juga meningkat drastis. Makanya beliau tiba-tiba pingsan. Penting untuk menjaga ketiga permasalahan ini supaya tetap stabil, Pak Bram. Sebab Bu Dewi mengidap jantung lemah. Beliau harus rawat inap karena kondisinya butuh penanganan dan pengawasan."

"Iya, Dok."

Setelah dokter pergi, Bram masuk IGD. Mengurusi hingga sang mama dipindahkan ke kamar perawatan.

Puspa membenahi selimut mama mertuanya. Bram yang duduk di sebelah brankar terlihat cemas. "Mas." Puspa menyentuh lengan suaminya, tapi Bram menggesernya pelan.

Hati Puspa berdesir nyeri, perih hingga terasa ke ulu hati. Apakah Bram begitu jijik dengannya? Padahal Puspa ingin minta izin pulang untuk mengambilkan baju ganti serta beberapa barang yang dibutuhkan.

"Mas, saya izin pulang. Mau ngambil baju ganti buat mama." Dengan sangat hati-hati, Puspa kembali bicara pada suaminya.

"Nggak perlu. Sudah ada yang mengurusnya nanti," jawab Bram singkat. Dan membiarkan sang istri serba salah. Puspa pun tidak tahu, apa dia harus tetap di sana atau pulang. Dalam sebulan ini dia yang kadang menjemput Sony pulang sekolah. Kalau dia repot membantu administrasi di gudang, Sony dijemput salah seorang karyawan.

***L***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status