Share

7. Serba Salah 1

PERNIKAHAN

- Serba Salah

Suaminya pulang malah membuat Puspa bingung harus bagaimana. Menyambutnya atau pura-pura tidak tahu. Serba salah sampai tubuh Puspa gemetar.

Suara langkah kaki Bram melewati teras. Sedangkan Puspa masih mematung dengan wajah pias. Ketika hendak melangkah untuk menyambut Bram ke ruang tamu, kakinya terhenti saat mendengar suara Vanya dan Sony lebih dulu menyambut papa mereka.

"Kukira Papa pulang sore." Suara Vanya terdengar. Gadis itu baru pulang sekolah beberapa menit yang lalu.

"Kerjaan papa sudah selesai, makanya buru-buru pulang."

"Besok Sony ada pertandingan sepakbola antar sekolahan di stadion, Pa. Papa, bisa nganterin nggak? Bunda sakit soalnya."

Dada Puspa berdesir mendengar Sony memberitahu papanya. Jantung berdentum hebat menunggu apa reaksi sang suami.

"Sakit apa?" Pertanyaan datar Bram.

"Masuk angin katanya."

"Oke. Papa mau mandi dulu. Nanti malam sambil makan, kita ngobrol lagi."

Puspa mundur ke belakang supaya tidak terlihat oleh Bram yang melangkah menaiki tangga. Untuk beberapa menit Puspa diam di ruang santai yang bersebelahan dengan ruang tamu. Tempat itu biasanya digunakan Bram untuk merokok sambil menikmati taman rumah yang dihuni berbagai bunga dan tanaman hias. Di sana juga ada kolam ikan koi dengan air terjun buatan yang gemercik airnya sangat menenangkan.

Apa perlu ia menyusul suaminya naik ke lantai dua? Tapi pada akhirnya Puspa memilih bertahan di sana. Biar Bram selesai mandi lebih dulu.

Sementara Bram yang masuk kamar diam sejenak memperhatikan suasana ruang pribadinya sedikit berbeda. Seprai yang baru diganti dan pengharum ruangan kesukaannya. Pandangan terpaku pada meja rias yang bersih dari perlengkapan make up milik Puspa.

Lelaki itu menghela nafas panjang. Kemudian melepaskan kemeja dan masuk kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket setelah aktivitas seharian ini.

Selesai salat asar, pintu kamarnya diketuk. "Masuk!" ucapnya.

Perlahan pintu terkuak. Puspa berdiri di ambang pintu. "Mas, mau dibuatin kopi apa teh?" tanya Puspa hati-hati. Biasanya dia tidak pernah mengetuk pintu kamar kalau hendak masuk sebelum ada permasalahan di antara mereka.

"Terima kasih. Aku sudah ngopi," jawab Bram sambil melipat sajadah.

"Oh, iya." Puspa kembali menutup pintu perlahan. Nyaris tak bersuara. Wanita itu menuruni tangga pelan-pelan sambil berpegangan pada teralis pembatas dari logam. Tubuhnya masih lemas. Di tangga paling bawah nyaris terjatuh.

"Mbak Puspa, kenapa?" Mak Sri tergesa menghampiri dan memegangi lengannya.

"Nggak apa-apa, Mak. Saya kesandung tadi." Puspa berbohong.

"Mbak, pucet banget. Apa perlu saya kerokin. Mas Sony bilang, Mbak Puspa masuk angin."

"Nggak usah, Mak. Saya sudah lebih baik," tolak Puspa. Kemudian buru-buru melangkah ke pintu samping saat mendengar Bram membuka pintu kamar dan melangkah hendak menuruni tangga.

Ia belum siap untuk berhadapan dengan suaminya dalam keadaan begitu lemah. Tubuhnya harus pulih dulu.

"Mbak Puspa, Ibu ingin bertemu. Beliau menunggu di joglo." Wanita setengah baya yang menjaga Bu Dewi menghampiri Puspa.

"Iya, Mak Siti. Saya akan ke sana."

Mak Siti melangkah pergi lebih dulu. Sedangkan Puspa mengikuti dengan langkah pelan. Wanita itu diam sejenak di tengah taman. Menyaksikan matahari sore di langit barat. Begitu indah merona jingga. Semilir angin terasa sejuk di kulitnya. Puspa paling suka menikmati suasana seperti ini. Dihirupnya udara dalam-dalam untuk menyegarkan paru-parunya.

Bu Dewi yang duduk di kursi tersenyum melihat kedatangan sang menantu. "Nduk, mama sampai kangen sama kamu. Dua hari ini kamu nggak ke mari. Kata Sony kamu sakit. Wajahmu pucat gitu." Sang mertua memperhatikan wajah menantunya dengan dahi berlipat. Bu Dewi khawatir.

"Saya hanya masuk angin, Ma. Alhamdulillah sudah mendingan sekarang ini." Puspa masih menutupi kenyataan yang sebenarnya.

"Beneran kamu hanya masuk angin? Sebaiknya periksa ke dokter, siapa tahu kamu lagi hamil."

Wajah Puspa pias. Makanya buru-buru menunduk untuk menyembunyikannya. Kesehatan sang mertua belum stabil, makanya dia harus hati-hati kalau berbicara.

"Nggak perlu, Ma. Ini sudah mendingan."

"Bram sudah pulang?"

"Iya, barusan sampai rumah."

"Syukurlah!"

Tidak lama kemudian Bram muncul. Wajah Bu Dewi tambah semringah. Dielusnya kepala sang putra yang tengah mencium punggung tangannya.

Puspa diam dengan tangan yang mulai berkeringat. Bertemu suami sendiri, kenapa terasa menakutkan begini. Sebelumnya Puspa bukan perempuan seperti ini, lemah dan tidak berdaya. Sebenarnya dia gadis energik, gampang bergaul, dan berani menghadapi apapun. Namun setelah peristiwa itu, telah merubah segalanya.

"Bawa Puspa periksa ke dokter, Bram. Istrimu sakit itu." Bu Dewi bicara pada putranya. Lelaki itu memandang sekilas Puspa yang duduk di sebelah sang mama.

"Oh, nggak usah, Mas. Aku sudah nggak apa-apa," tolak Puspa menjawab tatapan datar suaminya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
PiMary
Puspa gak terus terang ttg kegugurannya,apa mlh gak bikin masalah tambah lebar ya??
goodnovel comment avatar
Yanyan
nyesek ya nasib puspa ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status