Share

13. Malam 1

PERNIKAHAN

- Malam

Suara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit.

"Puspa, kamu kenapa?"

"A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya.

DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah.

"Kenapa bisa jatuh?"

"Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku.

Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser yang ada di pojok ruang santai lantai dua.

Tubuh Puspa lemah oleh perasaannya yang sedang kacau. Berdiri pun tidak bisa tegak. Sempat terhuyung ketika hendak mengembalikan gelas di tempatnya. Bram melangkah cepat untuk menghampiri. Namun Puspa memberikan isyarat tangannya supaya pria itu berhenti. "Aku nggak apa-apa. Jangan mendekat, Mas. Sekarang aku sadar kalau tak layak untukmu. A-aku akan duduk di sini sebentar. Mas, tidurlah."

Dalam temaram lampu ruangan yang kekuningan, Puspa melangkah pelan kemudian duduk di sofa.

Sedangkan Bram masih berdiri memandangi. Ada nyeri dan iba yang muncul tiba-tiba, ada apa dengan Puspa? Dia ingin bicara dengannya tapi Bram belum menyediakan waktu. Banyak hal dipikirkan di kepalanya, termasuk rasa kecewa pada Puspa. Mungkin waktu yang diminta oleh istrinya, adalah untuk menjelaskan pertanyaannya malam itu.

"Mas, tidur saja. Aku ingin di sini." Puspa berkata tanpa mengangkat wajahnya.

Bram menghela nafas panjang, lantas duduk di sofa yang berseberangan dengan istrinya. Belum sempat ada yang berbicara, pintu kamar Sony terbuka. Bocah umur sepuluh tahun itu mengucek matanya.

Dia pun terkejut melihat papa dan bundanya duduk di sana. "Papa dan Bunda, belum tidur?" tanyanya sambil menguap.

"Kenapa Sony terbangun?" tanya Bram.

"Sony haus, Pa. Mau ngambil air minum." Anak itu menunjukkan botol yang biasa ditaruh di kamarnya telah kosong.

"Biar bunda isikan." Puspa bangkit dari duduknya dan mengambil botol dari tangan Sony lantas mengisinya. Setelah itu mengantarkan Sony masuk kamar. Menyelimuti tubuh itu dan memijit kakinya. Tadi sore Sony mengeluh kalau kakinya terasa pegal.

"Bunda, jangan pergi sebelum Sony tidur," pintanya dengan manja. Lengan Puspa diraih kemudian dipeluknya.

"Oke." Puspa tersenyum. Namun hatinya sedih. Anak ini sudah bisa menerimanya. Bahkan terlihat mengkhawatirkan dirinya yang sedang sakit.

Ya, Sony bisa menemukan sosok ibu dalam diri Puspa yang selama ini ia rindukan. Walaupun Puspa masih muda, tapi dia sangat pengertian dengan anak kecil.

Akhirnya Puspa ketiduran di kamar Sony. Wanita itu duduk di kursi dan kepalanya di letakkan di tepi pembaringan. Dia terbangun saat sentuhan mengagetkannya. Spontan Puspa bergeser untuk menghindari tangan Bram. Rasa tak pantas dan tidak percaya diri itu selalu timbul dalam hati disaat suaminya mendekat. Ucapan Bram malam itu begitu membuatnya nelangsa. Juga saat disentuh tangannya di rumah sakit, Bram menghindarinya. Apa dia jijik?

Puspa bangkit dari duduknya. Saat itu azan subuh sudah berkumandang. Bram juga bergegas mengambil air wudhu. Saat Puspa ketiduran di kamar Sony, Bram juga ketiduran di sofa.

Usai salat subuh, Bram sibuk dengan laptopnya sedangkan Puspa ke dapur seperti biasa untuk menyiapkan sarapan. Dia tidak pandai memasak. Makanya selalu ke dapur untuk belajar pada Mak Sri, tentang apa saja masakan yang disukai suami dan anak-anaknya.

"Kak, apa kausmu itu nggak terlalu ketat?" Hati-hati Puspa menegur pelan anak tirinya yang sudah duduk di ruang makan. Setelah sejak tadi ia hanya memperhatikan dan membatin.

Kaus warna putih itu membentuk lekuk tubuh Vanya yang mulai berisi sebagai remaja pubertas. Menggantung dan jika bergerak perutnya pasti kelihatan.

Vanya memandang tidak suka. Tatapannya sangat tajam pada Puspa. "Bukan urusanmu," hardiknya.

"Vanya, yang sopan kalau bicara. Ganti bajumu." Bram yang muncul di ruang makan, berkata tegas pada putrinya. Membuat Vanya kaget lantas berlari kembali ke kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status