Share

12. Patah Hati 2

[Ada apa sih, Pus? Kita kenal sudah lama. Aku tahu bagaimana kamu. Dari gadis ceria, tiba-tiba menjadi menutup diri. Kamu bukan korban perjodohan dari orang tua, kan? Ayah ibumu bukan orang seperti itu, deh. Mereka sangat terbuka orangnya. Beberapa kali kau ajak aku pulang ke desa dan nginap di sana, Pak Lurah sangat baik.]

[Puspa, apa ada yang kamu rahasiakan dari pertemanan kita?]

[Nggak ada, Say. Aku baik-baik saja. Mungkin aku dan Rayyan nggak berjodoh. Itu saja. Btw, kamu kerja di mana sekarang?]

[Aku masih nunggu panggilan. Entah diterima apa nggak. Doain diterima ya, Say.]

[Iya. Aku doain. Udah ya, Dit. Besok kita sambung lagi.] Buru-buru Puspa menelungkupkan ponsel di nakas tanpa menunggu balasan Dita. Sebab ia mendengar langkah suaminya ke arah kamar.

Puspa segera menarik selimut dan meringkuk seperti bayi. Bram tidak boleh curiga lagi. Dan ia juga tidak bisa bicara dengan perasaan kacau begini. Kacau karena mengetahui betapa Rayyan patah hati karenanya.

Pintu kamar terbuka. Puspa memejam rapat. Ia merasakan pergerakan di belakang punggungnya. Sang suami sudah merebahkan diri. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halusnya.

Puspa menarik napas panjang. Ingatannya tertuju pada pria itu. Rayyan Muhammad Fatih.

"Puspa, tunggu!" Rayyan mengejarnya di koridor kampus saat ia tergesa-gesa menghindari pemuda itu.

"Aku mencarimu berhari-hari. Kenapa nggak bilang kalau kamu pulang kampung. Ponselmu juga nggak aktif," ucap Rayyan setelah berhasil menjajari langkahnya.

"Apa ayah atau ibumu sakit?"

Puspa yang terus melangkah menuruni tangga menggeleng.

"Lalu?"

"Aku yang sakit, Ray."

"Sakit apa?" Rayyan menghentikan langkah Puspa dengan berdiri tepat di depan gadis dengan wajah memucat. Rayyan khawatir.

"Wajahmu pucat. Kuantar ke dokter."

"Nggak usah. Aku sudah baikan sekarang."

Rayyan mengajaknya makan di kafe depan kampus. Tatapannya penuh rasa penasaran saat melihat perubahan drastis pada Puspa. Gadis periang yang sangat dicintainya, terlihat sangat berbeda. Sendu, kusam, dan diam.

Biasanya Puspa makan dengan lahap. Tapi saat itu hanya mengacak-acak nasi dalam piringnya.

"Puspa, kamu sakit apa? Kamu ceritakan saja padaku. Kuantar kamu berobat."

"Aku udah baikan, kok. Beberapa hari lagi pasti dah pulih," jawab Puspa sambil memaksakan tersenyum pada Rayyan.

"Beneran?"

"Iya."

Hening. Mereka menikmati makanan yang dipesan. Rayyan menyuap nasi sambil memperhatikan gadis di hadapannya.

"Ray." Puspa mengangkat wajah setelah diam cukup lama.

"Ya."

"Aku mau fokus ke skipsi dulu. Tinggal dikit lagi selesai. Untuk sementara kita jangan keseringan bertemu. Aku mau fokus dulu. Nggak apa-apa, kan?"

Perkataan itu membuat Rayyan terkejut. Ada raut kecewa juga. Kenapa tiba-tiba Puspa berkata demikian setelah dua mingguan menghilang.

"Aku mengganggumu?"

Puspa menggeleng. Mati-matian dia menahan tangisnya.

"Tapi kenapa? Kamu nggak bermaksud menjauhiku kan? Puspa, kalau kamu ada masalah. Bisa kamu bagi denganku." Rayyan serius memandangi Puspa. Sementara gadis itu sibuk menghindari tatapan Rayyan.

Apa yang harus dibaginya. Semua yang terjadi sungguh memalukan dan penuh ancaman. Dia sudah kehilangan segala-galanya. Harga diri pun sudah tidak ada. Apa yang bisa dibanggakan dihadapan lelaki yang mencintainya, jika kehormatan yang menjadi kebanggaan seorang perempuan sudah tidak dimiliki lagi. Dada Puspa seperti dihimpit bongkahan batu.

Rayyan berterus terang sebulan yang lalu setelah menyimpan perasaannya sekian lama. Ternyata cowok itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama semenjak mereka dipertemukan di kampus.

"Puspa, ada apa? Kamu jatuh cinta pada cowok lain?"

"Nggak. Bukan itu. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa kuceritakan pada siapapun. Termasuk pada kedua orang tuaku."

"Tapi aku ingin tahu. Nggak bisa kamu menjauhiku tanpa memberikan alasan."

"Alasannya jelas, Ray. Aku ingin menyelesaikan skripsiku dulu. Kamu pun sama, kan. Kita fokus dulu di akhir perkuliahan kita."

"Oke. Nggak apa-apa. Tapi sesekali kita bisa keluar makan, kan?"

Puspa mengangguk. Kemudian meraih tali tasnya. "Aku pergi dulu, ya. Mau pulang ke kosan."

"Kuantar."

"Nggak usah. Aku bareng Dita."

Dan semenjak hari itu, Puspa benar-benar menghindari Rayyan. Tidak menerima dan membalas telepon hingga wisuda. Dan pada suatu hari ia mengabarkan kalau akan menikah.

Rayyan datang bersama teman-temannya dengan perasaan yang hancur lebur. Mata itu menunjukkan luka yang teramat dalam. Puspa tidak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk mengucapkan kata maaf. Hanya dalam diam ia mendoakan, semoga Rayyan akan mendapatkan gadis salehah.

Puspa masih ingat betul tatapan cowok itu seperti apa? Dia juga kembali mengingat kejadian di mana dia kehilangan segala-galanya.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Cuplikan bab 7

"Aku mencintaimu sejak dulu. Apa alasanmu menolakku? Katakan Puspa. Apa kamu punya pacar?"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Elza Yunita
ceritanya bagus, tp gemes liat puspa yg sll memendam... puspa kudu jd wanita kuat thor... kudu pny sikap tegas.
goodnovel comment avatar
Barra
Puspa semua di pendam sendiri .......sampai hamilpun suaami tdk di kssih tau
goodnovel comment avatar
Yeyeh Masriah
kasian Puspa ,semoga Kedepan nya Bahagia ,Terimakasih mbak dah Up ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status