Share

11. Patah Hati 1

PERNIKAHAN

- Patah Hati

Pria itu merokok dengan tatapan menerawang. Mungkin tengah memperhatikan foto keluarga yang berada tepat di dinding depannya. Atau memperhatikan foto mendiang sang istri.

Puspa mundur kembali ke kamar dan duduk di tepi pembaringan. Nyalinya menciut. Dia benci dengan situasi seperti ini. Pergi ke mana keberaniannya tadi. Rasa kepercayaan diri benar-benar memudar di hadapan lelaki yang bergelar suami.

Ditariknya napas dalam-dalam. Jutaan kata yang terangkai buyar sudah. Yang tersisa hanya embun di kelopak matanya.

Beberapa lama hanyut dalam rasa pedih dan sakit, akhirnya ia beranjak meraih ponsel yang berpendar di meja rias. Netranya sedikit berbinar melihat siapa yang mengirim pesan. Dita, teman kuliahnya dari Surabaya.

[Apa kabar, Puspa? Waduh yang pengantin baru jarang banget mau nongol di grup sekarang. Lagi nikmatin bulan madu ya, Neng? Cie cie cie.]

[Hmmm, ganteng banget suamimu. Dewasa dan pasti pengertian kan? Tajir pula tuh. Bisa ngemong kamu. Pantesan nggak noleh kiri kanan langsung tancap gas ke pelaminan. Aku juga pengen dapet yang kayak gitu, no basa-basi langsung nikah he he he .... Ada lagi nggak, satu untukku. Sorry, canda.]

[Aku kangen ngobrol sama kamu. Tapi nggak berani nelepon. Takut ganggu. Makanya kukirimkan pesan panjang kali lebar ini. Biar bisa kamu baca diam-diam. Btw, kamu tahu nggak? Yang kemarin patah hati kamu tinggal nikah, sampai sekarang masih merana. Segitunya kamu matahin hatinya Rayyan.]

[Padahal dia masih berharap sama kamu. Saat kamu menjauhinya ketika kita sedang skripsi, dia pikir setelah semua selesai dan wisuda, kamu akan kembali. Ternyata kamu malah nikah sama pria lain, Pus.]

[Kemarin dia ngajak ketemuan sama aku. Dia nangis kamu tahu nggak. Patah banget tampaknya. Aku iba, Pus. Makanya aku ceritain ini ke kamu. Dia cinta banget sama kamu. Apa sebenarnya kamu dah lama diam-diam kencan sama suamimu sebelum nikah. Makanya kamu tinggalin Rayyan? Kenapa sih kamu nggak ngomong saja waktu itu, biar Rayyan nggak berharap lebih padamu.]

[Rayyan sangat baik, Pus. Aku tahu mungkin kalian memang nggak berjodoh, tapi aku kasihan banget, tau. Coba di mana kita mendapatkan lelaki sholeh seperti dia di zaman sekarang? Tapi mungkin suamimu juga termasuk pria yang baik dan sholeh, makanya kamu memilih dia.]

Puspa berhenti membaca. Air matanya kembali mengalir deras. Ingat bagaimana ia menjauhi Rayyan. Mereka sempat pendekatan, laki-laki itu telah mengungkapkan perasaannya. Namun sebelum Puspa menjawab, peristiwa hitam itu terjadi. Puspa mengurung diri di kamar kosnya hampir dua minggu. Setelah siap kembali ke kampus, justru dia menjauhi Rayyan. Padahal mereka sudah berteman lama semenjak awal perkuliahan.

Lelaki baik seperti dia tidak pantas mendapatkan barang bekas. Begitu juga dengan Bram. Tapi kenapa pada Bram, Puspa berani masuk ke dalam kehidupannya? Sebab Puspa berharap, Bram yang lebih dewasa bisa menerima apa adanya, tanpa bertanya tentang masa lalunya.

Kembali dipandanginya layar bening dalam genggaman. Melanjutkan membaca pesan.

[Baru kali ini aku lihat lelaki yang benar-benar patah hati. Nggak malu dia nangis di hadapanku. Nangisin kamu.]

[Rayyan sudah bekerja sekarang. Dia dapat pekerjaan bagus di Surabaya. Rencana sambil melanjutkan S2. Tapi nanti setelah pikirannya tenang. Sekarang benar-benar broken heart.]

[Puspa, apa yang terjadi denganmu, Say. Hubungan kalian sangat baik waktu itu. Setelah kamu menghilang berhari-hari, begitu muncul lantas menjauhinya. Tahu nggak, ibaratnya perasaan Rayyan sekarat sekarang. Dia nggak berani menghubungimu karena kamu sudah menjadi istri orang. Meski hanya untuk memberitahu kalau dia sangat terluka.]

Puspa kian tersedu-sedu. Andai Rayyan tahu apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia masih mau menerima?

Rayyan pria yang baik. Dia pantas mendapatkan gadis suci. Puspa merasa sangat kotor dan menjijikan.

[Maafkan aku, Say. Kalau isi pesanku ngelantur. Aku hanya ingin kamu tahu, ada hati yang hancur berkeping-keping karena pernikahanmu. Jangan jadikan ini beban. Tetaplah berbahagia dengan keluarga kecilmu. Kita akan tetap jadi sahabat. Sesekali bisa kan kita ketemuan?]

Dengan tangan gemetar, Puspa mengetik balasan.

[Bisa, Dit. Makasih banyak udah chat aku. Kabarku baik. Kabar kamu gimana? Udah dapat kerjaan apa belum? Aku juga kangen sama kamu.]

[Sampaikan permintaan maafku pada Rayyan. Aku nggak bermaksud menyakitinya, Dit. Pria baik seperti dia, layak mendapatkan gadis baik-baik lebih dariku.]

Mata Puspa masih berair. Sesekali ia memandang pintu, khawatir suaminya tiba-tiba masuk. Di layar ponsel, kata 'mengetik' terus berkedip-kedip.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elza Yunita
wah... puspa kudu dibuat kuat dan tegas thor.... kyknya aq setuju tuh sm rayyan...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status