Share

10. Tidak Percaya Diri 2

Puspa meletakkan piring di depan suaminya. Dia juga duduk untuk sarapan. Kalau tidak ingat harus minum obat, rasanya malas untuk makan.

"Mas, aku minta waktu untuk bicara. Nggak harus sekarang, selonggarnya mas saja." Puspa bicara pelan dan hati-hati. Sekarang atau nanti, ia harus memberikan penjelasan. Entah diterima atau tidak. Namun Puspa sangat pesimis melihat sikap Bram yang dingin.

Bram hanya mengangguk tanpa bersuara apapun. Makan belum selesai, seorang karyawan kantor muncul dari pintu dapur dengan wajah tegang. Tampaknya ada yang urgent.

Pria kepercayaan Bram masuk setelah dipanggil. Ternyata truk yang mengirimkan barang ke pelabuhan mengalami kerusakan di jalan tol. Bram langsung meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan nasinya.

Puspa menghela nafas panjang. Nasi serasa enggan untuk ditelan. Apakah Bram akan mendengarkannya nanti? Apa dia akan ditinggalkan atau dirinya yang harus pergi dengan kerelaan hati.

Masih terbayang kemegahan pernikahan mereka dua bulan yang lalu. Sangat meriah. Satu desa menghadiri pernikahannya. Kerabat, kenalan, rekan bisnis, dan beberapa pejabat kenalan ayahnya. Apa semua itu menunggu waktu untuk menjadi kenangan yang harus ia lupakan?

***L***

Derit ponsel di atas meja ruang santai mengalihkan perhatian Puspa. Ada panggilan masuk dari ibunya.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam. Kamu sehat to, Nduk?"

"Alhamdulillah. Agak nggak enak badan. Tapi sekarang sudah mendingan. Maaf, beberapa hari ini aku nggak ke rumah ibu."

"Nggak apa-apa. Yang penting kamu sehat. Mbakmu sore ini pulang sama suaminya. Kalau kamu longgar, datang ke rumah. Besok kan hari Sabtu. Minggunya ajak anak-anak ke sini. Nak Bram juga."

"Iya, Bu. Besok sehabis nganterin Sony ke sekolah, aku langsung ke rumah ibu."

"Ibu tunggu. Tapi pamit dulu sama Nak Bram."

"Iya."

"Mbakmu sama suaminya mau jadi tim suksesnya Nak Dikri di pilcaleg awal tahun depan, Pus."

Puspa terkesiap mendengarnya. Wajah yang tadinya ceria, kini mendadak kembali pucat.

"Puspa," panggil wanita di seberang.

"Iya, Bu. Besok aku ke rumah."

"Yo wis kalau gitu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Tangis Puspa tumpah setelah meletakkan ponsel. Ia menelungkupkan wajah di meja. Tubuhnya terguncang oleh tangis. Mereka tidak tahu apa yang dialaminya. Mereka tidak tahu kalau Puspa pernah sangat putus asa. Kemudian mulai ada harapan saat dikenalkan dan dijodohkan dengan Bram. Namun sekarang, apa yang dialaminya seolah untuk hidup pun rasanya enggan. Ia malu dan tidak punya harga diri.

Dia takut untuk bicara mengungkap peristiwa paling pahit dalam hidupnya. Dia takut berbagi kekejaman itu. Sekian lama ia simpan sendiri dan ia jauh lebih percaya diri menatap dunia jika tidak ada satupun orang yang tahu akan masa lalunya. Namun sekarang ia dituntut untuk jujur. Apa setelah ini semuanya akan membaik atau malah makin hancur.

Bram yang melintas hendak ke ruang kerja, berhenti saat melihat istrinya. Ketika ingin mendekati, ponsel di saku celananya bergetar. Terpaksa pria itu menjauh untuk menerima telepon dan mengambil surat-surat di ruang kerjanya.

Pagi ini banyak yang harus diurus. Truck di ruas jalan tol harus segera disusul dan barang-barang di evakuasi ke kendaraan lain. Supaya jangan sampai terlambat ke pelabuhan.

"Bunda," panggil Sony pelan sambil menyentuh pundaknya.

Puspa yang melamun mengerjabkan mata. Dia lelah lahir batin. "I-iya. Sony, sudah pulang? Pulang sama siapa?"

"Di antar guru olahraga, Bun. Yang bertanding sore nanti disuruh pulang awal biar bisa istirahat. Tapi harus di antar ke ke stadion jam satu siang. Nanti Bunda yang ngenterin Sony, ya."

"Iya." Puspa tersenyum.

"Kenapa Bunda melamun di sini?"

"Nggak apa-apa. Yuk, ganti baju dulu. Bunda akan siapin keperluan kamu."

Sony mengangguk dan melangkah ke kamarnya. Puspa menyiapkan snack, air minum, dan baju ganti.

***L***

Bram datang setelah pertandingan selesai. Dia langsung memeluk putranya yang berbicara dengan Puspa. Untuk mengucapkan selamat atas kemenangan tim Sony. Tadi istri dan anaknya berangkat di antar oleh sopir gudang. "Maaf, papa terlambat."

"Nggak apa-apa. Sony tahu papa sibuk. Lagian ada Bunda yang jadi suporter buat Sony." Bocah dengan tubuh bermandi keringat memandang bundanya. Begitu juga dengan Bram. Keduanya beradu pandang sejenak dan Puspa yang lebih dulu memutuskan tatapannya. Dia sudah kehilangan rasa percaya diri di depan suaminya.

"Yuk, kita makan. Kamu pasti lapar."

Mereka bertiga makan di sebuah restoran yang tidak jauh dari stadion. Sony dengan bersemangat menceritakan pertandingan hari ini yang sangat luar biasa menurutnya. Bram menanggapi cerita itu karena mereka menyukai dunia yang sama. Bram juga masih sering bermain bola dengan klubnya. Sementara Puspa hanya menjadi pendengar saja.

Menjelang Maghrib mereka baru sampai di rumah.

Malamnya, Puspa melangkah ke ruang kerja sang suami. Pintu tidak tertutup rapat. Perlahan ia mendorongnya. Bram tidak menyadari kehadirannya, tapi Puspa melihat apa yang dilakukan pria itu di dalam sana.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Diandra Nur
mba lis ceritanya selalu menarik ...sehat selalu mba lis
goodnovel comment avatar
amsyaramsyar2017
Alhamdulillah mbak lis dah lunching di GN ...........terima kasih mbak,saya pembaca novel mbak lis dari malaysia ...️...️
goodnovel comment avatar
Yuli Umina Shishasha
Alhamdulillah bisa baca lagi karya baru mbak Lis yang selalu luar biasa bagus nya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status