Share

8. Serba Salah 2

Bram menanyakan kondisi sang mama. Wanita itu mengeluhkan beberapa hal. Membuat Bram khawatir. Semakin hari, kesehatan sang mama kian menurun. Tapi wanita itu tetap keukeh tidak mau diajak tinggal di rumahnya. Bertahan di rumah joglo mereka yang berarsitektur klasik. Rumah yang menerapkan nilai-nilai filosofi Jawa pada setiap bagian rumah. Sangat kontras dengan rumah yang dibangun oleh Bram. Rumah bergaya modern dengan sedikit sentuhan scandinavian. Almarhumah sang istri yang menentukan konsep rumahnya.

Menjelang salat magrib, Bram dan Puspa kembali ke rumah. Mereka melangkah tanpa percakapan apa-apa.

Makan malam di dominasi cerita anak-anak tentang kegiatan mereka selama papanya tidak di rumah. Puspa hanya mendengarkan sambil memaksa diri untuk menelan makanan. Sesaknya dada, membuat tidak berselera untuk makan. Seharian tadi lebih banyak minum air putih dan melewatkan makan siang.

Setelah selesai makan malam, Bram menghampiri Puspa yang baru selesai mengemas meja. "Kutunggu di luar. Kita ke dokter sekarang," ucap Bram tanpa memandang istrinya. Lantas melangkah cepat sambil menyambar kunci mobil.

Puspa terpaku sejenak. Kemudian menyusul sang suami. "Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa."

"Selama kamu di sini, kamu tanggungjawabku."

"Aku nggak apa-apa kok."

"Kutunggu di mobil." Bram tidak mengindahkan penolakan sang istri.

Akhirnya Puspa ke kamar untuk mengambil tas dan menyisir rambut. Jika pergi ke dokter, Bram akan tahu kalau dia habis keguguran. Biar saja tahu. Yang gugur itu memang anaknya. Terserah dia percaya atau tidak. Puspa menarik napas dalam-dalam, lantas keluar kamar.

"Pa, Sony ikut." Tiba-tiba Sony muncul dari dalam.

"Adek duduk di depan saja," kata Puspa pada Sony yang hendak membuka pintu mobil belakang.

"Bunda, saja yang di depan." Sony menolak dan langsung masuk ke mobil. Dengan canggung Puspa duduk di samping suaminya.

Jarak rumah dan tempat praktek dokter hanya lima belas menit perjalanan. Dokter langganan keluarga tutup, makanya Bram membawa Puspa ke dokter lain.

"Kutunggu di sini!" kata Bram setelah mobil berhenti di parkiran. Itu pun tidak menoleh sama sekali.

"Iya." Puspa turun dan melangkah ke meja pendaftaran pasien. Ia tampak ragu. Seharusnya dia ke dokter kandungan, bukan ke dokter umum. Tapi kalau tidak periksa pun, Bram tidak akan tahu. Apa pura-pura saja menunggu di sana. Kebetulan masih ada beberapa orang yang mengantri.

Belum sempat mundur, petugas yang berjaga menyapanya. Puspa akhirnya mendaftar. Mungkin lebih baik periksa saja. Semoga dokter umum ini bisa memberikan obat untuk pemulihan tanpa merujuknya untuk datang ke dokter kandungan.

Tidak lama kemudian, Sony menyusul dan duduk di sebelahnya. "Semoga besok Bunda sudah sembuh. Biar bisa lihat Sony tanding."

Puspa tersenyum sambil merangkul bahu anak tirinya.

Sony menunggu di luar saat Puspa dipanggil masuk ruang pemeriksaan. Benar saja, Puspa disarankan periksa ke dokter kandungan untuk memastikan kondisinya sekarang ini. Namun ia tidak ada kepikiran kembali ke dokter kandungan. Sebab Puspa sudah diberitahu kalau janinnya sudah luruh dan tinggal menghabiskan obatnya saja.

Tergesa Puspa kembali ke mobil setelah selesai menebus obat di apotek yang bersebelahan dengan ruang praktek dokter.

"Dokter bilang Bunda sakit apa?" Sony yang bertanya.

"Hanya masuk angin."

Baru saja hendak menyalakan mesin mobil, ponsel Bram berdering. Ketegangan tercipta sesaat setelah pria itu menjawab telepon.

"Kembalikan semua barang-barang itu. Sebanyak apapun saya tidak peduli. Sudah saya tekankan diperjanjian awal. Saya berani membayar mahal karena ingin kualitas yang bagus. Kalau sudah begini, berarti mereka sengaja mau menipu.

"Return saja. Saya paling tidak suka dengan partner kerja yang tidak jujur. Padahal jelas semua kriteria barang yang kita beli dengan harga tinggi. Kalau mereka tidak terima, suruh tunggu saya pulang. Saya masih di tempat dokter dan ini mau perjalanan pulang." Bram meletakkan ponselnya di dashboard.

Mendengar ucapan suaminya, Puspa ikut tegang. Sepertinya ada masalah di gudang. Bukan tentang permasalahan itu yang ia pikirkan, tapi kata-kata Bram yang mengusik perasaan. Kalimatnya serupa sindiran untuk Puspa.

Niatnya ingin segera mengajak suaminya berbincang jadi mengendur. Sebab di gudang sepertinya ada permasalahan serius.

Hingga mobil berhenti di garasi, Bram tidak menanyakan tentang hasil pemeriksaan. Benar, dia mengantarkan ke dokter hanya bentuk tanggungjawab bukan kepedulian. Karena Bram tidak ingin tahu tentang kondisinya. Sebutan 'mas' pun sudah berganti 'aku'.

Sony terus masuk kamar, sedangkan Puspa masih duduk merenung di ruang santai. Bram langsung ke gudang. Entah gudang yang mana. Gudang belakang rumah atau ke gudangnya yang berada sekitar lima ratus meter dari rumah utama.

Puspa menghela napas panjang. Dalam situasi apapun, dirinya tidak bisa tenang.

***L***

Jam sebelas malam, Bram baru kembali ke rumah. Saat masuk kamar, ia tidak mendapati istrinya ada di sana. Mereka masih tidur di kamar yang sama meski bicara dikala sangat terpaksa. Namun malam itu kamar kosong dan masih rapi.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status