Share

5. Puspa 1

PERNIKAHAN

- Puspa

Keguguran?

Puspa tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Dua hari yang lalu dia kebingungan saat tahu positif hamil. Bagaimana cara memberitahu suaminya? Sedangkan Bram sangat dingin dan mendiamkannya.

Kalau diberitahu apakah Bram percaya kalau itu anaknya?

Harusnya Bram percaya. Sebab di hari pernikahan mereka Puspa sedang haid dan suaminya tahu hal itu. Kemudian Bram ke Semarang selama lima hari. Setelah pulang Sony sakit typus dan mesti opname. Setelah suasana stabil, suatu malam menjadi milik mereka.

Dirinya memang salah. Tapi Puspa hanya berusaha menutup aibnya sendiri. Luka yang pernah membuatnya putus asa dan putus harapan. Berharap mendapatkan sandaran, tapi suami yang berpengalaman tahu dan tidak bisa terima.

"Kenapa tadi kamu nggak cerita kalau lagi hamil?" tanya Pipit yang membantunya minum air putih.

Puspa tidak harus di kuret karena janinnya yang baru berumur sekitar empat minggu sudah luruh semua. Dia hanya perlu minum obat dan istirahat.

"Masih terlalu awal kalau kuceritakan, Pit."

"Kamu telepon dulu suamimu. Pak Bram harus dikabari."

"Nggak usah."

"Loh, kok nggak usah?"

"Mas Bram nggak di rumah, Pit. Lusa baru kembali dari Surabaya," jawab Puspa dengan suara lemah. Di area bawah sana terasa nyeri. Perutnya juga tidak nyaman.

Sejak tadi malam sebenarnya dia sudah merasakan hal itu. Dipikirnya wanita hamil pasti akan mengalaminya. Ternyata pagi ini dia keguguran. Tadi Puspa mampir ke rumah sahabatnya setelah mengantarkan Sony ke sekolah.

Mungkin terlalu stres yang menyebabkan janin itu tidak bisa bertahan. Dada Puspa terasa sebak. Bayangan sikap Bram yang begitu dingin berkelindan dalam benak. Sedih sekali rasanya. Air mata mengalir dari sudut netra. Pipit menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Yang ia tahu, pasti Puspa sangat sedih kehilangan calon bayinya.

Ah, Pipit tidak tahu apa-apa karena Puspa tidak pernah bercerita pada sahabatnya. Sedekat apapun mereka, tapi aib itu dan segala permasalahannya dengan Bram, cukup dipendam sendiri. Kecuali sikap Vanya yang tidak bisa menerimanya sebagai ibu tiri diketahui oleh Pipit.

"Pit, temani aku di sini dulu ya. Beberapa jam lagi aku bisa minta pulang. Toh aku sudah nggak apa-apa."

"Kamu perlu perawatan paling tidak sampai besok."

"Nggak usah. Dokter bilang kalau aku sudah lebih baik, boleh pulang."

"Kamu nggak ngabari orang tuamu juga?"

Puspa menggeleng. "Belum ada yang tahu aku hamil. Biar saja. Lagian janin ini sudah nggak ada."

Pipit heran memperhatikan sahabatnya. Kondisi seperti ini seharusnya dia butuh support dan perhatian terutama dari suami. Tapi kenapa Puspa justru tidak ingin memberitahu mereka. Dia mengenal baik Puspa sebagai gadis yang periang. Namun sekarang terlihat memiliki beban. "Puspa, kamu ada masalah?"

"Nggak ada. Aku hanya sedih. Oh ya, Pit. Gimana aku bisa pulang dengan memakai celana penuh darah ini. Bisa minta tolong untuk membelikan rok dan celana dalam untukku?"

"Aku bisa ke rumahmu untuk mengambilkan baju ganti."

"Nggak usah. Tolong belikan saja, ya. Nggak perlu bagus yang penting bisa kupakai ganti untuk pulang. Uangnya ada di tasku itu." Puspa memandang atas meja.

Pipit yang curiga dengan sikap sahabatnya, bangkit dan mengambil tas di meja. Setelah Puspa memberikan uang, gadis sebaya dengan Puspa melangkah pergi.

Air mata Puspa mengalir deras setelah Pipit keluar. Inikah jalan terbaik untuknya? Lebih baik janin itu gugur di tengah kemelut rumah tangganya. Belum tentu Bram bahagia mengetahui kehamilannya. Andai dia ingin memastikan itu anaknya apa bukan, Bram bisa melakukan tes DNA.

Tapi tidak menjamin lelaki itu bisa menerima, walaupun anak itu benihnya sendiri. Memiliki anak dari perempuan ternoda, mungkin bukan keinginannya. Bisa jadi sekarang Bram telah merencanakan perpisahan. Dia hanya menunggu waktu yang tepat karena sang mama masih dalam keadaan kurang sehat. Dan Puspa harus siap jika saat itu akhirnya tiba.

Secepat inikah?

***L***

"Puspa, kalau kamu ada masalah. Ceritakan padaku. Nggak mungkin kamu bisa memendam semuanya sendirian. Ada apa, sih? Kamu nggak bahagia dengan pernikahanmu? Aku tahu Vanya nggak menyukaimu." Pipit khawatir melihat Puspa.

"Aku hanya sedih karena keguguran, Pit. Soal Vanya, sudah kuanggap hal biasa. Nggak semua anak tiri bisa menerima sepenuh hati kehadiran bapak atau ibu tirinya. Begitu juga sebaliknya."

"Tapi kenapa kamu nggak mau ngabari suamimu kalau kamu keguguran?"

"Setelah Mas Bram pulang, pasti kukasih tahu. Kalau sekarang kukabari, aku khawatir akan membuatnya cemas."

"Oh, ya sudah. Kirain kamu lagi ada masalah."

Puspa tersenyum getir.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Heni Hendrayani
apapun yg terjadi d masa lalu baik nya d bicarakn d awal jangn mengira ngira laki laki mau trma gadis bukan perwan walaupun dia seorang duda harga diri bagi lelaki yg utama nyimpan aib sendri gilirn mau k bongkar keluarga mu bakln nangung malu pikir dong
goodnovel comment avatar
Yanyan
knp Puspa gak mau berterus terang apa pun yang terjadi di masa lalu baiknya bicarakan ..ya wajar Bram TDK terima
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
berbohong berani,berzina be ra ni tapi jujur g berani.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status