"Dara sudah tidur?" tanya Darren setengah berbisik. Lelaki itu baru saja memasuki kamar Dara dan mendapati Yumna tengah berbaring memeluk putri mereka.
"Papa, sini." Itu suara Dara.
Tanpa perlu Nara repot-repot menjawab pertanyaan Darren, putrinya sendiri yang memberikan jawaban. Dara menyembul dari dalam pelukan sang mama untuk melihat papanya.
"Dara mau tidur sama Mama dan Papa, boleh kan?" tanya Dara penuh harap, gadis kecil itu memasang wajah memelas disertai dengan puppy eyes yang membuat permintaanya tidak akan pernah bisa ditolak oleh kedua orang tuanya.
Nara dan Darren sejenak saling tatap sebelum sama-sama mengangguk dengan senyum teduh mereka.
"Ayo tidur." Darren mendekati ranjang Dara dan berbaring di samping kanan sang putri, sementara Nara di sebelah kiri.
Darren memeluk kedua perempuan berbeda generasi yang begitu dicintainya, sementara Dara dan Nara saling berpelukan.
"Jadi, gak ada yang mau peluk Papa, ni?" goda Darren.
"Dara suka gitu, kalau ada Papa … Mama diabaikan." Nara pura-pura cemberut saat Dara langsung berbalik dan memeluk Darren.
Dara kembali menatap Nara, "Ayo Mama, kita peluk Papa," ajak Dara dengan semangat.
Dara memang sesenang itu jika sudah bersama Darren. Super hero yang akan memberikannya apa pun, termasuk dunia.
"Baiklah," balas Nara langsung memeluk Darren. "Ayo tidur, besok Dara harus ke sekolah. Jadi, harus bangun pagi-pagi." Nara mencium puncak kepala putrinya.
"Papa gak dicium?" goda Darren.
"Ada Dara," tolak Nara.
"Dara gak liat, Ma," sahut Dara membuat Darren tersenyum penuh kemenangan sekaligus bangga dengan pengertian sang putri.
"Dasar," cibir Nara mencebikkan bibirnya, kemudian terkekeh pelan. Meski begitu, ia tetap memberikan kecupan di pipi Darren.
"Selamat malam, have a nice dream," ucap Darren mencium puncak kepala Dara, lalu disusul mengecup pipi Nara.
Sebelum kembali berbaring, Darren lebih dulu mencuri kecupan di bibir ranum Nara.
"Darren!" geram Nara setengah berbisik dengan mata yang melotot.
Darren hanya membalasnya dengan kedipan nakal, kemudian kembali berbaring menutup matanya tanpa dosa seakan baru saja ia tidak melakukan apa pun yang membuat Nara kaget.
Beberapa saat kemudian, Darren melihat ke arah Dara untuk memastikan putrinya itu sudah tidur."Sayang," panggil Darren pada Nara. "Kamu udah tidur?"
"Hmmm." Nara hanya berdehem. Wanita itu baru saja akan terlelap, tetapi panggilan Darren menarik kembali rasa kantuknya.
"Ayo pindah ke kamar kita," ajak Darren.
"Gendong," ujar Nara mengulurkan tangannya dengan manja.
"Baiklah, tapi aku akan memakanmu setelah sampai di kamar," sahut Darren menahan senyumnya.
Mendengar itu, Nara langsung bangun sendiri tanpa minta digendong lagi oleh Darren.
"Kenapa gak jadi minta gendong?" Darren menyusul Nara.
"Jangan berisik, nanti Dara bangun," sahut Nara mengalihkan pembicaraan.
"Aku kan cuma nanya," balas Darren.
Keduanya keluar dari kamar Dara menuju kamar pribadi mereka dengan Darren memeluk Nara dari belakang.
"Kenapa kamu gak mau aku gendong?" Darren mencium ceruk leher Nara.
"Geli." Nara memiringkan kepalanya untuk menghindari sentuhan bibir Darren.
"Kamu takut aku memakanmu?"
"Tentu," jawab Nara cepat. "Kalau kamu melakukannya, besok aku pasti gak bisa jalan," gerutu Nara.
Nara sudah sangat hafal dengan segala tindak-tanduk Darren. Jika lelaki itu sudah menggunakan kosa kata 'memakanmu' artinya Darren akan menikmati tubuh Nara sampai kelelahan. Kalau sudah begitu, jangankan berjalan ... Nara bahkan tidak akan bisa berdiri.
"Selama ini, kamu baik-baik aja meski kita melakukannya. Kamu juga masih bisa berjalan, bahkan kamu sangat menikmati permainan kita," ujar Darren membela diri sekaligus menggoda Nara dengan kata-katanya.
Darren tau, Nara tidak suka membahas masalah ranjang mereka. Lebih tepatnya, malu.
Nara berbalik dan menatap Darren tajam, "Ish." Wanita itu memukul dada Darren pelan.
"Kenapa memukulku?" tanya Darren tak terima. "Aku bicara fakta," imbuhnya.
"Setiap kali kita melakukannya, kamu sangat menikmati. Bahkan, kamu berkali-kali mendesahkan namaku. Kamu juga … emmmm." Ucapan Darren terhenti ketika Nara membekap mulutnya.
"Berhenti bicara yang bukan-bukan!" peringat Nara, Darren hanya mengangguk patuh hingga Nara membuka dekapannya dari bibir Darren.
"Tapi yang aku bicarakan kenyataannya, Sayang. Bukan sekedar bualan," ucap Darren membela diri. "Kamu juga sering meminta kita mengulangi permainan," tambah Darren yang berhasil membuat Nara kembali mendelik.
"Darren!" pekik Nara cemberut.
"Iya, Sayang. Kamu mau aku memakanmu sekarang juga?" Darren menawarkan diri dengan suka rela.
"Jangan macam-macam!" ancam Nara mengacungkan telunjuknya di depan wajah Darren.
"Gak macam-macam, cukup satu macam." Darren memegang telunjuk naraz lalu meraih wanita itu membuat tubuh mereka merapat tanpa jarak.
Perlahan tapi pasti, Darren meraih tengkuk leher Nara. Kemudian mendaratkan bibirnya di bibir wanita itu.
Tidak ada penolakan dari Nara, wanita itu malah menyambut mesra bibir Darren hingga bibir mereka saling berpagutan dan lidah keduanya saling membelit.
Aksi kecap-kecup antara Darren dan Nara tidak berakhir begitu saja. Aksi mereka berlanjut ke adegan yang lebih panas hingga membuat tubuh keduanya berkeringat, meskipun AC sudah menyala di dalam kamar yang menjadi saksi bisu pergulatan mereka.
Darren memberikan kecupan hangat di puncak kepala Nara setelah mereka selesai melakukan olahraga malam. Ritual yang sudah menjadi kewajiban bagi Darren sebagai tanda terima kasihnya pada Nara, sekaligus menyampaikan rasa sayangnya yang begitu besar pada wanita itu.
Darren dan Nara saling berpelukan di bawah selimut yang sama dalam keadaan tanpa busana.
"Klien yang akan meeting denganmu hari ini adalah utusan dari Dirgantara Group." Darren memberitahukan hasil penyelidikannya pada Nara.
Setelah mendengar Nara—cintanya akan meeting dengan klien dari Indonesia, lelaki yang terus membersamai Nara di saat susah dan senang itu langsung mencari tahu siapa klien tersebut.
"Hah?!" kaget Nara. Pikirannya seketika tertuju pada lelaki keturunan Dirgantara yang pernah menjadi suami kontraknya kurang dari setahun.
"Kamu bisa mewakilkan meeting-nya pada asistenmu kalau khawatir bertemu dengan dia," ujar Darren memberi saran. Lelaki itu enggan menyebut nama lelaki yang pernah memberikan luka dan sampai saat ini masih meninggalkan jejaknya pada Nara.
"Gak mungkin dia yang akan turun tangan langsung dalam pemilihan desain kan?"
Ucapan itu hanya untuk men-sugesti dirinya agar tetap tenang. Nyatanya, Nara sama sekali tidak tenang. Ia khawatir akan bertemu kembali dengan lelaki yang tidak pernah ingin ditemuinya lagi.
Darren tidak menjawab, lelaki itu juga tidak yakin.
"Apa besok kamu sibuk?" tanya Nara.
"Tidak, kenapa?" jawab Darren yang diiringi pertanyaan. "Kamu mau aku temani?"
Nara mengangguk, "Pertemunnya di Choco Green Restorant. Kamu bisa datang dan menemaniku selama meeting?" Nara tidak bertanya, tetapi sedang berharap kedatangan Darren.
"Bolehkah?"
"Tentu, kamu akan menungguku di meja berbeda. Setelah itu, kita bisa makan siang bersama."
"Hmmm?" Nara menatap Darren penuh harap.
Darren menghela nafasnya, "Baiklah, aku akan datang."
"Terima kasih." Nara mengeratkan pelukannya pada Darren.
"Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?"
"Aku gak perlu melakukan apa pun bukan? Aku juga gak perlu menghindarinya, kehidupanku akan tetap berlanjut meskipun kami kembali bertemu. Aku dan dia hanya sebatas rekan kerja, jadi yang kulakukan hanya tentang pekerjaan."
"Tolong ... jangan berpaling dariku," pinta Darren mengeratkan pelukannya. "Jika kamu melakukannya, aku akan hancur."
Akhirnya, Darren mengutarakan kekhawatiran terbesarnya. Yakni, Nara berpaling darinya.
"Tidak akan!" jawab Nara yakin.
Wanita itu mengecup bibir Darren untuk meyakinkan juga menghalau kekhawatiran lelaki itu.
Awalnya hanya kecupan, tetapi berubah menjadi pagutan ketika Darren menyambut bibir Nara.
Keduanya kembali melakukannya dengan perasaan khawatir di hati masing-masing.
"Terima kasih udah hadir di dalam hidupku," gumam Nara memperhatikan wajah damai Darren—lelaki yang selalu ada untuknya, bahkan lelaki itu juga yang sudah membantu Nara menyembuhkan luka di hatinya. "Aku gak tau gimana hidupku jika tanpa kamu," gumamnya lagi. Tangan Nara bergerak menyentuh wajah Darren yang terpahat sempurna. Ingatannya melayang jauh pada kejadian saat dirinya melarikan diri dari rumah. "Tentu saja, aku akan menceraikannya setelah anak kita lahir!" Nara membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara, air mata pun mengalir deras dari pelupuk matanya saat kata-kata menyakitkan itu melesat bebas dari bibir Keenan tanpa keraguan. Tubuh
"Itu mama." Dara menunjuk Nara yang tengah duduk membelakangi mereka dengan tangan yang memegang ponsel bertengger di telinganya.Keenan mengikuti arah telunjuk Dara, "Itu mama kamu?" tanyanya memastikan."Iya," jawab Dara dengan senyum ceria. "Mama!" teriak Dara.Tatapan Keenan lekat menatap wanita yang membelakanginya, merasa tidak asing dengan sosok itu.Nara yang mendengar teriakan anaknya pun berbalik, tangannya masih menggenggam ponsel yang masih bertengger di telinganya.DegJantung Keenan berdebar kencang saat tatapannya menangkap sosok Nara di depan sana, wanita itu tidak menyadari kehadirannya."Dara," ucap Nara dengan senyum manis, hingga senyuman itu perlahan sirna ketika melihat sosok yang ada di sebelah putrinya.Jantung Nara berdebar tak menentu bersamaan dengan nafasnya ya
Di sebuah kamar hotel, Keenan duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang di mana seorang wanita tertidur pulas seperti bayi.Tatapan Keenan lekat pada wajah damai wanita yang tubuh mungilnya hanya terbalut selimut putih, tanpa sehelai pun busana membungkusnya."Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini," sesal Keenan menenggak habis minuman merahnya.Keenan meletakkan gelas bekas minumannya ke atas meja sofa dengan agak kasar hingga menimbulkan suara dentingan antara gelas dan meja yang sama-sama berbahan kaca.Wanita di atas ranjang sana tampak terusik oleh dentingan yang disebabkan oleh Keenan.Tubuh mungil itu meng
Darren langsung membawa Nara masuk ke kamar, khawatir Dara akan terbangun jika mereka duduk di luar dan tangisan Nara didengar oleh putri kecil mereka.Darren meraih gelas dan menuangkan air dari jug yang memang sengaja diletakkan di atas nakas karena ia dan Nara sering bangun malam hanya untuk minum. Jadi, mereka bisa minum tanpa harus jauh-jauh ke dapur."Minum dulu," ucap Darren memberikan gelas berisi air putih pada Nara.Wanita itu tidak menolak, langsung meminum dan menghabiskan cairan putih itu. Seakan ia benar-benar haus setelah melakukan perjalanan jauh.Tangisannya masih terdengar, meski sudah tidak se-histeris saat pertama kali memeluk Darren tadi. Tubuhnya juga sesekali bergetar karena sesenggukan, matanya memerah hampir membengkak, serta wajah yang sembab membuktikan wanita pemilik hati Darren itu sudah sangat lama menangis.Darren tidak melakukan apa pun
Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya."Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam."Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.
Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu."Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam."Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu."Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat."Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi."Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka