"Dara sudah tidur?" tanya Darren setengah berbisik. Lelaki itu baru saja memasuki kamar Dara dan mendapati Yumna tengah berbaring memeluk putri mereka.
"Papa, sini." Itu suara Dara.
Tanpa perlu Nara repot-repot menjawab pertanyaan Darren, putrinya sendiri yang memberikan jawaban. Dara menyembul dari dalam pelukan sang mama untuk melihat papanya.
"Dara mau tidur sama Mama dan Papa, boleh kan?" tanya Dara penuh harap, gadis kecil itu memasang wajah memelas disertai dengan puppy eyes yang membuat permintaanya tidak akan pernah bisa ditolak oleh kedua orang tuanya.
Nara dan Darren sejenak saling tatap sebelum sama-sama mengangguk dengan senyum teduh mereka.
"Ayo tidur." Darren mendekati ranjang Dara dan berbaring di samping kanan sang putri, sementara Nara di sebelah kiri.
Darren memeluk kedua perempuan berbeda generasi yang begitu dicintainya, sementara Dara dan Nara saling berpelukan.
"Jadi, gak ada yang mau peluk Papa, ni?" goda Darren.
"Dara suka gitu, kalau ada Papa … Mama diabaikan." Nara pura-pura cemberut saat Dara langsung berbalik dan memeluk Darren.
Dara kembali menatap Nara, "Ayo Mama, kita peluk Papa," ajak Dara dengan semangat.
Dara memang sesenang itu jika sudah bersama Darren. Super hero yang akan memberikannya apa pun, termasuk dunia.
"Baiklah," balas Nara langsung memeluk Darren. "Ayo tidur, besok Dara harus ke sekolah. Jadi, harus bangun pagi-pagi." Nara mencium puncak kepala putrinya.
"Papa gak dicium?" goda Darren.
"Ada Dara," tolak Nara.
"Dara gak liat, Ma," sahut Dara membuat Darren tersenyum penuh kemenangan sekaligus bangga dengan pengertian sang putri.
"Dasar," cibir Nara mencebikkan bibirnya, kemudian terkekeh pelan. Meski begitu, ia tetap memberikan kecupan di pipi Darren.
"Selamat malam, have a nice dream," ucap Darren mencium puncak kepala Dara, lalu disusul mengecup pipi Nara.
Sebelum kembali berbaring, Darren lebih dulu mencuri kecupan di bibir ranum Nara.
"Darren!" geram Nara setengah berbisik dengan mata yang melotot.
Darren hanya membalasnya dengan kedipan nakal, kemudian kembali berbaring menutup matanya tanpa dosa seakan baru saja ia tidak melakukan apa pun yang membuat Nara kaget.
Beberapa saat kemudian, Darren melihat ke arah Dara untuk memastikan putrinya itu sudah tidur."Sayang," panggil Darren pada Nara. "Kamu udah tidur?"
"Hmmm." Nara hanya berdehem. Wanita itu baru saja akan terlelap, tetapi panggilan Darren menarik kembali rasa kantuknya.
"Ayo pindah ke kamar kita," ajak Darren.
"Gendong," ujar Nara mengulurkan tangannya dengan manja.
"Baiklah, tapi aku akan memakanmu setelah sampai di kamar," sahut Darren menahan senyumnya.
Mendengar itu, Nara langsung bangun sendiri tanpa minta digendong lagi oleh Darren.
"Kenapa gak jadi minta gendong?" Darren menyusul Nara.
"Jangan berisik, nanti Dara bangun," sahut Nara mengalihkan pembicaraan.
"Aku kan cuma nanya," balas Darren.
Keduanya keluar dari kamar Dara menuju kamar pribadi mereka dengan Darren memeluk Nara dari belakang.
"Kenapa kamu gak mau aku gendong?" Darren mencium ceruk leher Nara.
"Geli." Nara memiringkan kepalanya untuk menghindari sentuhan bibir Darren.
"Kamu takut aku memakanmu?"
"Tentu," jawab Nara cepat. "Kalau kamu melakukannya, besok aku pasti gak bisa jalan," gerutu Nara.
Nara sudah sangat hafal dengan segala tindak-tanduk Darren. Jika lelaki itu sudah menggunakan kosa kata 'memakanmu' artinya Darren akan menikmati tubuh Nara sampai kelelahan. Kalau sudah begitu, jangankan berjalan ... Nara bahkan tidak akan bisa berdiri.
"Selama ini, kamu baik-baik aja meski kita melakukannya. Kamu juga masih bisa berjalan, bahkan kamu sangat menikmati permainan kita," ujar Darren membela diri sekaligus menggoda Nara dengan kata-katanya.
Darren tau, Nara tidak suka membahas masalah ranjang mereka. Lebih tepatnya, malu.
Nara berbalik dan menatap Darren tajam, "Ish." Wanita itu memukul dada Darren pelan.
"Kenapa memukulku?" tanya Darren tak terima. "Aku bicara fakta," imbuhnya.
"Setiap kali kita melakukannya, kamu sangat menikmati. Bahkan, kamu berkali-kali mendesahkan namaku. Kamu juga … emmmm." Ucapan Darren terhenti ketika Nara membekap mulutnya.
"Berhenti bicara yang bukan-bukan!" peringat Nara, Darren hanya mengangguk patuh hingga Nara membuka dekapannya dari bibir Darren.
"Tapi yang aku bicarakan kenyataannya, Sayang. Bukan sekedar bualan," ucap Darren membela diri. "Kamu juga sering meminta kita mengulangi permainan," tambah Darren yang berhasil membuat Nara kembali mendelik.
"Darren!" pekik Nara cemberut.
"Iya, Sayang. Kamu mau aku memakanmu sekarang juga?" Darren menawarkan diri dengan suka rela.
"Jangan macam-macam!" ancam Nara mengacungkan telunjuknya di depan wajah Darren.
"Gak macam-macam, cukup satu macam." Darren memegang telunjuk naraz lalu meraih wanita itu membuat tubuh mereka merapat tanpa jarak.
Perlahan tapi pasti, Darren meraih tengkuk leher Nara. Kemudian mendaratkan bibirnya di bibir wanita itu.
Tidak ada penolakan dari Nara, wanita itu malah menyambut mesra bibir Darren hingga bibir mereka saling berpagutan dan lidah keduanya saling membelit.
Aksi kecap-kecup antara Darren dan Nara tidak berakhir begitu saja. Aksi mereka berlanjut ke adegan yang lebih panas hingga membuat tubuh keduanya berkeringat, meskipun AC sudah menyala di dalam kamar yang menjadi saksi bisu pergulatan mereka.
Darren memberikan kecupan hangat di puncak kepala Nara setelah mereka selesai melakukan olahraga malam. Ritual yang sudah menjadi kewajiban bagi Darren sebagai tanda terima kasihnya pada Nara, sekaligus menyampaikan rasa sayangnya yang begitu besar pada wanita itu.
Darren dan Nara saling berpelukan di bawah selimut yang sama dalam keadaan tanpa busana.
"Klien yang akan meeting denganmu hari ini adalah utusan dari Dirgantara Group." Darren memberitahukan hasil penyelidikannya pada Nara.
Setelah mendengar Nara—cintanya akan meeting dengan klien dari Indonesia, lelaki yang terus membersamai Nara di saat susah dan senang itu langsung mencari tahu siapa klien tersebut.
"Hah?!" kaget Nara. Pikirannya seketika tertuju pada lelaki keturunan Dirgantara yang pernah menjadi suami kontraknya kurang dari setahun.
"Kamu bisa mewakilkan meeting-nya pada asistenmu kalau khawatir bertemu dengan dia," ujar Darren memberi saran. Lelaki itu enggan menyebut nama lelaki yang pernah memberikan luka dan sampai saat ini masih meninggalkan jejaknya pada Nara.
"Gak mungkin dia yang akan turun tangan langsung dalam pemilihan desain kan?"
Ucapan itu hanya untuk men-sugesti dirinya agar tetap tenang. Nyatanya, Nara sama sekali tidak tenang. Ia khawatir akan bertemu kembali dengan lelaki yang tidak pernah ingin ditemuinya lagi.
Darren tidak menjawab, lelaki itu juga tidak yakin.
"Apa besok kamu sibuk?" tanya Nara.
"Tidak, kenapa?" jawab Darren yang diiringi pertanyaan. "Kamu mau aku temani?"
Nara mengangguk, "Pertemunnya di Choco Green Restorant. Kamu bisa datang dan menemaniku selama meeting?" Nara tidak bertanya, tetapi sedang berharap kedatangan Darren.
"Bolehkah?"
"Tentu, kamu akan menungguku di meja berbeda. Setelah itu, kita bisa makan siang bersama."
"Hmmm?" Nara menatap Darren penuh harap.
Darren menghela nafasnya, "Baiklah, aku akan datang."
"Terima kasih." Nara mengeratkan pelukannya pada Darren.
"Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?"
"Aku gak perlu melakukan apa pun bukan? Aku juga gak perlu menghindarinya, kehidupanku akan tetap berlanjut meskipun kami kembali bertemu. Aku dan dia hanya sebatas rekan kerja, jadi yang kulakukan hanya tentang pekerjaan."
"Tolong ... jangan berpaling dariku," pinta Darren mengeratkan pelukannya. "Jika kamu melakukannya, aku akan hancur."
Akhirnya, Darren mengutarakan kekhawatiran terbesarnya. Yakni, Nara berpaling darinya.
"Tidak akan!" jawab Nara yakin.
Wanita itu mengecup bibir Darren untuk meyakinkan juga menghalau kekhawatiran lelaki itu.
Awalnya hanya kecupan, tetapi berubah menjadi pagutan ketika Darren menyambut bibir Nara.
Keduanya kembali melakukannya dengan perasaan khawatir di hati masing-masing.
"Terima kasih udah hadir di dalam hidupku," gumam Nara memperhatikan wajah damai Darren—lelaki yang selalu ada untuknya, bahkan lelaki itu juga yang sudah membantu Nara menyembuhkan luka di hatinya. "Aku gak tau gimana hidupku jika tanpa kamu," gumamnya lagi. Tangan Nara bergerak menyentuh wajah Darren yang terpahat sempurna. Ingatannya melayang jauh pada kejadian saat dirinya melarikan diri dari rumah. "Tentu saja, aku akan menceraikannya setelah anak kita lahir!" Nara membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara, air mata pun mengalir deras dari pelupuk matanya saat kata-kata menyakitkan itu melesat bebas dari bibir Keenan tanpa keraguan. Tubuh
"Itu mama." Dara menunjuk Nara yang tengah duduk membelakangi mereka dengan tangan yang memegang ponsel bertengger di telinganya.Keenan mengikuti arah telunjuk Dara, "Itu mama kamu?" tanyanya memastikan."Iya," jawab Dara dengan senyum ceria. "Mama!" teriak Dara.Tatapan Keenan lekat menatap wanita yang membelakanginya, merasa tidak asing dengan sosok itu.Nara yang mendengar teriakan anaknya pun berbalik, tangannya masih menggenggam ponsel yang masih bertengger di telinganya.DegJantung Keenan berdebar kencang saat tatapannya menangkap sosok Nara di depan sana, wanita itu tidak menyadari kehadirannya."Dara," ucap Nara dengan senyum manis, hingga senyuman itu perlahan sirna ketika melihat sosok yang ada di sebelah putrinya.Jantung Nara berdebar tak menentu bersamaan dengan nafasnya ya
Di sebuah kamar hotel, Keenan duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang di mana seorang wanita tertidur pulas seperti bayi.Tatapan Keenan lekat pada wajah damai wanita yang tubuh mungilnya hanya terbalut selimut putih, tanpa sehelai pun busana membungkusnya."Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini," sesal Keenan menenggak habis minuman merahnya.Keenan meletakkan gelas bekas minumannya ke atas meja sofa dengan agak kasar hingga menimbulkan suara dentingan antara gelas dan meja yang sama-sama berbahan kaca.Wanita di atas ranjang sana tampak terusik oleh dentingan yang disebabkan oleh Keenan.Tubuh mungil itu meng
Darren langsung membawa Nara masuk ke kamar, khawatir Dara akan terbangun jika mereka duduk di luar dan tangisan Nara didengar oleh putri kecil mereka.Darren meraih gelas dan menuangkan air dari jug yang memang sengaja diletakkan di atas nakas karena ia dan Nara sering bangun malam hanya untuk minum. Jadi, mereka bisa minum tanpa harus jauh-jauh ke dapur."Minum dulu," ucap Darren memberikan gelas berisi air putih pada Nara.Wanita itu tidak menolak, langsung meminum dan menghabiskan cairan putih itu. Seakan ia benar-benar haus setelah melakukan perjalanan jauh.Tangisannya masih terdengar, meski sudah tidak se-histeris saat pertama kali memeluk Darren tadi. Tubuhnya juga sesekali bergetar karena sesenggukan, matanya memerah hampir membengkak, serta wajah yang sembab membuktikan wanita pemilik hati Darren itu sudah sangat lama menangis.Darren tidak melakukan apa pun
Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya."Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam."Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.
Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu."Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam."Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu."Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat."Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi."Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
"Enghhh." Nara meregangkan otot-otot di seluruh tubuh, dan perlahan membuka kedua netranya—mencoba mengumpulkan nyawanya yang sempat berkecai tadi malam karena kelelahan beberes rumah baru bersama Rachel.Ya, kedua wanita yang memiliki suami yang sama itu dengan kompak membereskan rumah baru mereka, tanpa adanya bantuan pembantu. Hanya Keenan yang membantu keduanya untuk mengangkat barang-barang berat dan juga memasang atau meletakkan sesuatu di tempat yang tinggi.Nara mengambil dan memakai sweater untuk menutupi baju tidurnya yang sedikit menerawang. Wanita itu keluar kamar dan hendak pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama Keenan dan Rachel.Baru saja Nara membuka pintu dan sudah keluar selangkah dari kamarnya, pintu kamar sebelah terbuka bersamaan dengan Keenan yang keluar dari sana.Tentu saja Nara mengkerutkan keningnya dengan perasaan heran, "Kenapa kamu tidur di sa
"Rachel?" gumam Nara saat melihat wanita itu ada di rumah baru yang Keenan katakan akan menjadi tempat tinggal mereka sejak hari ini."Kenapa dia ada di sini?" batin Nara masih menatap lekat wanita yang menjadi madunya itu.Keenan turun dari mobil dengan membawa koper dirinya dan juga milik Nara. Kemudian, lelaki itu mengikuti arah pandang Nara yang masih lekat menatap Rachel.Tampak istri pertama Keenan tengah berdiri di ambang pintu, seperti akan menyambut kedatangan sang suami dan juga madunya."Dia juga akan tinggal di sini." Pelan dan lembut ucapan Keenan, tetapi mampu menyentak Nara. Seakan suara Keenan baru saja menggelegar di sanubarinya, hingga wanita itu tersentak kaget."Tinggal di sini?" tanya Nara menatap penuh pada suaminya."Iya, bersama kita," jawab Keenan menambahkan.Nara berjalan mendahului Keenan, "
Nara dengan cekatan memakaikan dasi untuk Keenan, dan suaminya itu hanya melihat setiap gerakan tangan lentik sang istri."Sudah selesai," ujar Nara dengan senyum manisnya. "Ayo turun," ajaknya.Kemudian, Nara berjalan mendahului Keenan, tetapi suaminya itu malah meraih tangan Nara dan menyatukan jemari mereka, lalu keluar kamar bersama.Mulanya Nara tercengang dengan tindakan Keenan, tapi pada akhirnya Nara mengerti. Apa yang Keenan lakukan hanya agar terlihat mesra di depan orang tuanya yang merupakan mertua Nara."Ingatlah, Nara. Dia hanya bersandiwara!" batin Nara memperingati dirinya sendiri.Keenan dan Nara ikut bergabung dengan Mama Salsa dan Papa Kenzo sarapan pagi bersama seperti pagi-pagi sebelumnya."Kapan kalian akan berbulan madu, Ken?" Mama Salsa membuka percakapan di sela-sela makan pagi mereka.Keenan mer
"Maafin aku." Ucapan pertama yang keluar dari bibir Rachel setelah hampir setengah jam duduk bersama Nara di 'Cafe Arimbi' miliknya.Setelah kejadian beberapa waktu lalu dirinya sempat menyinggung Nara, kini Rachel harus mengumpulkan keberaniannya untuk mengajak Nara kembali bertemu dan bicara empat mata. Beruntung, Nara tidak menolak ajakannya. Bahkan, wanita itu tetap setia menunggu Rachel bicara alih-alih pergi meninggalkan madunya."Maaf untuk kesalahanmu yang mana?" tanya Nara dengan alisnya terangkat sebelah. "Membiarkan suamimu menikahiku, atau meminta aku bercerai dari suamimu setelah aku berhasil memberikan anak untukmu?"Telak. Ucapan Nara membungkam Rachel, membuat wanita itu tidak berkutik.Mengingat pertemuan pertamanya dengan Rachel, Nara tidak bisa bersikap biasa saja pada madunya itu. Meski Rachel terlihat baik, tidak menutup kemungkinan wanita itu tengah bersandiwar
Plak!Tanpa aba-aba tangan mulus Nara mendarat di pipi kiri Keenan, suara tamparan itu pun menggema ke penjuru ruang kerjanya.Keenan memegang pipinya, dengan rahang yang mengeras. Tatapannya tajam, menyerupai tatapan hewan pemburu mangsa.Lelaki itu langsung menyelipkan tangan kanannya di tengkuk Nara, dan mendaratkan bibirnya dengan sempurna di bibir mantan istrinya itu. Memagut bibir ranum Nara dengan brutal, mengabaikan penolakan wanita itu."Emmmm." Nara berusaha menolak ciuman kasar Keenan dengan kedua tangan memukul dada bidang lelaki itu.Keenan tidak berhenti meski merasakan sakit di dadanya, tangan kirinya yang bebas mengunci kedua tangan Nara hingga wanita itu tidak bisa berkutik.Kemudian, Keenan menggigit kecil bibir Nara, membuat wanita itu membuka mulutnya, dan lidah Keenan dengan leluasa menjelajah isi mulut Nara. Mencecap da
Di apartemen.Setelah memastikan semua orang pergi, Darren langsung mengambil nasi goreng buatan Nara yang masih tersisa di dalam kuali.Lelaki itu membawa nasi goreng tersebut ke atas meja makan dan menyantapnya dengan sangat berselera. "Emmm, enak," ucapnya setelah memasukkan sesuap nasi goreng."Aku merindukan masakanmu," ucapnya lagi dengan mulut yang hampir penuh karena dua suapan berhasil masuk ke dalam mulutnya.Darren terus menyuapi nasi goreng buatan istri tercinta hingga tandas dan piringnya nampak bersih, tidak tersisa sebutir nasi pun.Kemudian lelaki igu membawa piring kotornya ke tempat pencucian piring, lalu membersihk
"Ngapain kau ke sini?" tanya Nara saat melihat lelaki yang tidak ingin dilihatnya berada di ruang tunggu butik yang selama ini menjadi tempatnya mengalirkan hobi sekaligus mengais rejeki."Bertemu denganmu, ngapain lagi?" jawab lelaki yang tak lain dan tak bukan ialah Keenan Anggara—mantan suami—pemberi luka terbesar di dalam hati Faranisa Inara."Pergi!" tegas Nara mengusir Keenan. Kemudian wanita itu berlenggang meninggalkan ruang tunggu menuju ruangannya.Sedangkan Keenan berjalan mengikuti Nara dari belakang, "Kamu udah sarapan?" tanyanya lembut, tetapi tidak mendapat respon apa pun dari Nara.Wanita itu hanya terus berjalan sampai ke ruangannya dan bergegas mengunci pintu. Namun, Keenan sudah lebih
Nara mengatur napasnya yang memburu, ingatan masa lalu bersama Keenan dan Rachel terus mengganggu di alam bawah sadar hingga ia tidak bisa tidur dengan nyenyak.Berbagai kenangan terus bermunculan di dalam ingatannya, tetapi bukan kenangan indah yang singgah, melainkan kenangan menyakitkan yang pernah ditorehkan oleh pasangan suami istri itu padanya.Setelah beberapa saat terduduk di ranjang, Nara ke kamar mandi—membersihkan diri—dan buru-buru berangkat ke butik untuk menyelesaikan pesanan kliennya.Setelah berpakaian rapi menggunakan blouse biru muda dipadukan dengan celana putih, Nara keluar dari kamarnya. Tas tangan dan heels memperindah penampilannya, semakin terlihat elegan dengan make up tipis seperti biasa yang melekat di wajah cantiknya.Nara tidak langsung keluar dari apartemen atau pun pergi ke dapur seperti pagi-pagi sebelum dirinya dan Darren saling tak bicara, wan
"Mas." Rachel menatap kepergian Nara dengan sendu. Wanita yang sudah resmi menjadi madunya itu pergi dengan meninggalkan luka mendalam di hatinya."Gak papa, Nara hanya butuh waktu. Semua yang dia alami, terlalu cepat untuknya," ucap Keenan menghibur istri tercinta. Meski ia sedikit kecewa dengan sikap Rachel saat berbicara dengan Nara."Kamu yakin, dia bisa dipercaya, Mas?" tanya Rachel ingin memastikan.Melihat tingkah Nara yang terlihat agak bar-bar seperti itu, membuat Rachel meragukan kalau wanita itu bisa dipercaya dan mau begitu saja memberikan darah dagingnya untuk orang lain."Semoga aja," jawab Keenan. "Nara itu sebenarnya baik, mungkin tadi tanpa sengaja kita menyinggungnya.""Menyinggung gimana? 'Kan dia yang udah nyinggung kita. Minta aku menyerahkan kamu buat dia, emangnya kamu barang, main serahin gitu aja? Kamu itu milik aku seorang! Terus bilang sedekah ana