"Terima kasih udah hadir di dalam hidupku," gumam Nara memperhatikan wajah damai Darren—lelaki yang selalu ada untuknya, bahkan lelaki itu juga yang sudah membantu Nara menyembuhkan luka di hatinya.
"Aku gak tau gimana hidupku jika tanpa kamu," gumamnya lagi.
Tangan Nara bergerak menyentuh wajah Darren yang terpahat sempurna. Ingatannya melayang jauh pada kejadian saat dirinya melarikan diri dari rumah.
"Tentu saja, aku akan menceraikannya setelah anak kita lahir!"
Nara membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara, air mata pun mengalir deras dari pelupuk matanya saat kata-kata menyakitkan itu melesat bebas dari bibir Keenan tanpa keraguan.
Tubuh Nara seakan membeku tak bisa digerakkan, kakinya seperti melekat di lantai tempatnya berpijak hingga butuh tenaga ekstra untuk wanita itu menggerakkan kakinya dan mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan rumah yang selama ini menjadi saksi dirinya berbagi suami dengan wanita lain.
Nara menempuh hujan, tanpa peduli tubuhnya yang akan basah kuyup dan kedinginan. Nara hanya ingin air hujan itu mengguyur hatinya berdarah-darah. Membersihkan dan mengobati lukanya yang semakin menganga lebar. Sangat menyakitkan.
Wanita itu awalnya hanya ingin ke dapur, tapi siapa sangka pintu kamar Rachel yang tidak tertutup rapat mengundang rasa penasarannya.
Sudah tak bisa dideskripsikan lagi bagaimana hancurnya hati Nara saat tatapannya masuk ke dalam ruangan minim cahaya itu. Keenan suaminya tengah menindih tubuh Rachel—madunya.
Keenan tidak hanya menindih, lelaki itu juga menggerakkan pinggulnya dengan liar. Gerakan yang semakin cepat menimbulkan bunyi decakan dari kedua bagian tubuh yang saling bersentuhan dan menyatu. Sehingga suara lenguhan panjang dari kedua insan di dalam sana memenuhi gendang telinga Nara tembus hingga ke hatinya.
Meski menyakitkan, Nara tidak berniat pergi dari sana. Wanita itu membiarkan hatinya yang rapuh itu hancur sehancur-hancurnya agar tidak ada lagi alasan untuknya bertahan di antara Rachel dan Keenan.
Sehingga, ucapan Keenan yang akan menceraikannya benar-benar membuat Nara tak sanggup dan wanita itu memilih pergi. Benar-benar pergi dan tak akan kembali!
"Seharusnya kamu gak perlu janjiin apa pun padaku, kalau akhirnya kamu gak bisa menepatinya," lirih Nara dengan tersedu-sedu.
Terngiang di ingatan Nara, Keenan berjanji tidak akan melepaskannya apa pun yang terjadi.
Tapi apa? Itu hanya janji palsu yang Keenan berikan agar dirinya bisa meraih hati Nara, menyentuh hingga bisa mendapatkan anak dari wanita malang itu.
"Seharusnya kamu juga gak perlu bersikap baik padaku, hingga hatiku mulai terbuka dan luluh padamu."
Semua perlakuan manis Keenan sejak mereka membuka lembaran baru hingga dalam masa kehamilan membuat Nara terpedaya. Wanita itu telah salah menjatuhkan jatuh hati pada lelaki yang tidak akan pernah mencintainya. Karena cinta Keenan hanya untuk Rachel. Selamanya.
Di antara Nara, Keenan dan Rachel. Hanya Keenan dan Rachel yang bersatu tanpa sekat. Sedangkan Nara tidak akan bersatu dengan Keenan karena mereka terpisah oleh tanda koma.
Nara memukul dadanya yang terasa sesak dan sakit bersamaan, "Wahai hati, kenapa kamu begitu lemah? Dia memberikanmu perhatian kecil, tapi kamu malah memberikan cinta untuknya. Tidakkah seharusnya kamu membencinya? Sejak awal hingga akhir, dia memberikan luka untukmu."
"Akh," jerit Nara saat merasakan sakit di perutnya. Wanita itu mencengkram perutnya, lalu terduduk di aspal.
Rasa sakit yang teramat membuat Nara tidak bisa berdiri dan pergi saat sebuah mobil berjalan ke arahnya. Nara pasrah jika ia harus tertabrak dan mati bersama anaknya. Wanita itu hanya menunduk dengan mata terpejam, menunggu tubuhnya terseret oleh mobil yang berkali-kali menekan klakson untuknya.
"Sudah puas menikmati maha karya Tuhan di wajah tampanku, hmmm?" Suara Darren menyentak Nara dariningatan menyakitkannya.
Nara melihat Darren sudah membuka matanya. Mata yang selalu menatapnya dengan penuh cinta.
"Sebegitu terpesonanya kamu sama aku sampai memperhatikanku sedang tidur."
"Cih, PD," cibir Nara terkekeh.
"Percaya diri itu harus, Sayang," balas Darren mengecup bibir Nara.
"Emmm, aku belum sikat gigi." Nara membekap mulut dengan tangannya.
"Biarin," sahut Darren tak peduli. Lelaki itu menyingkirkan tangan Nara, lalu meraih bibir yang selalu menjadi vitamin untuknya.
"Emmm." Nara berusaha melepaskan bibirnya dari Darren, membuat lelaki itu menyudahi aksinya dan menatap Nara dengan delikan kesal.
"Kenapa?"
"Nanti malah berkepanjangan."
"Terus kenapa?"
"Kamu lupa, aku ada meeting hari ini?" Nara berbalik melemparkan pertanyaan. "Kalau kamu melakukannya, aku pasti akan terlambat."
"Ini gak akan lama, Sayang," bujuk Darren.
"Enggak!" tolak Nara langsung membelit selimut ke tubuhnya dan ngacir ke kamar mandi, tanpa peduli tubuh Darren yang polos terekspos.
"Sayang, gimana kalau mandi bersama!" teriak Darren.
"Enggak!" balas Nara dari dalam kamar mandi, membuat Darren terkekeh.
"Terima kasih juga karna sudah memberikanku kesempatan untuk bersamamu," ucap Darren dengan tatapan tertuju pada kamar mandi.
Lelaki itu mendengar gumaman Nara yang berterima kasih karena kehadirannya, membuat hati Darren tersentuh dan begitu bahagia.
Ingatan Darren melayang pada pertemuan pertamanya dengan Nara.
Waktu itu ia terburu-buru dan seorang perempuan yang terduduk di jalanan menghambat perjalanannya. Hingga mau tak mau Darren meminta supirnya untuk berhenti. Lelaki itu sendiri turun dari mobil dengan dengan sebuah payung di tangannya.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Darren pada wanita yang tak lain adalah Nara.
Darren terlihat khawatir, apalagi saat melihat wajah Nara yang tampak menahan sakit.
"To—long," lirih Nara sebelum akhirnya kesadaran hilang dari raganya.
"Astaga!" pekik lelaki itu langsung membuang payungnya dan menangkap tubuh Nara yang hampir membentur aspal.
Darah segar bercampur air hujan juga tampak mengalir di betis Nara, membuat lelaki itu semakin panik.
"Ke rumah sakit, cepat!" perintah Darren pada supirnya.
"Dokter, tolong selamatkan dia," pinta Darren.
"Apa yang terjadi?" tanya dokter mulai memeriksa keadaan Nara.
"Gak tau, saya menemukannya di jalan dalam keadaan yang sudah berdarah," terang Darren.
Setelah memeriksa dan menyampaikan keadaan Nara yang sedang kritis, dokter langsung membawa wanita malang itu ke ruang operasi.
"Kondisinya benar-benar kritis, Tuan. Hanya satu orang di antara mereka yang bisa selamat," ucap dokter penuh sesal.
"Selamatkan ibunya, dok," sahur Darren setelah beberapa saat terdiam untuk memikirkan solusi.
Darren pikir, tidak masalah kehilangan anak selama ibunya masih selamat. Wanita itu masih bisa hamil lagi.
Namun, Nara yang dalam keadaan setengah sadar meminta dokter menyelamatkan anaknya.
"Se—lamatkan a—nak sa—ya, dok—ter," ucap Nara terbata menahan sakit sebelum ia kembali pingsan.
"Darren!" teriak Nara dari dalam kamar mandi menyentak Darren dari lamunannya. "Tolong ambilin handuk!"
*****
Dara berlarian memasuki restoran saat netranya menangkap sang mama dari kejauhan.
Namun, karena tidak memperhatikan sekitarnya, Dara malah bertabrakan dengan seorang lelaki dewasa.
Nara mendongak untuk melihat wajah lelaki yang ditabraknya.
"Awww!" ringis gadis kecil itu memegang kepalanya dan berpura-pura kesakitan agar tidak dimarahi oleh lelaki itu karena berjalan tidak hati-hati.
Keenan—lelaki yang ditabrak oleh Dara hanya tersenyum gemas, "Hei, cantik," sapanya menunduk dana mensejajarkan posisinya dengan Dara. "Kamu gak papa?" tanyanya kemudian.
Dara menurunkan tangannya dari kepala, "Dara gak papa, Om. Maaf, ya," ucapnya dengan cengiran.
"Gak papa, lain kali hati-hati, ya," peringat Keenan penuh kelembutan. "Di mana papa dan mamamu? Biar Om anterin."
"Itu mama." Dara menunjuk Nara yang tengah duduk membelakangi mereka dengan tangan yang memegang ponsel bertengger di telinganya.
"Itu mama." Dara menunjuk Nara yang tengah duduk membelakangi mereka dengan tangan yang memegang ponsel bertengger di telinganya.Keenan mengikuti arah telunjuk Dara, "Itu mama kamu?" tanyanya memastikan."Iya," jawab Dara dengan senyum ceria. "Mama!" teriak Dara.Tatapan Keenan lekat menatap wanita yang membelakanginya, merasa tidak asing dengan sosok itu.Nara yang mendengar teriakan anaknya pun berbalik, tangannya masih menggenggam ponsel yang masih bertengger di telinganya.DegJantung Keenan berdebar kencang saat tatapannya menangkap sosok Nara di depan sana, wanita itu tidak menyadari kehadirannya."Dara," ucap Nara dengan senyum manis, hingga senyuman itu perlahan sirna ketika melihat sosok yang ada di sebelah putrinya.Jantung Nara berdebar tak menentu bersamaan dengan nafasnya ya
Di sebuah kamar hotel, Keenan duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang di mana seorang wanita tertidur pulas seperti bayi.Tatapan Keenan lekat pada wajah damai wanita yang tubuh mungilnya hanya terbalut selimut putih, tanpa sehelai pun busana membungkusnya."Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini," sesal Keenan menenggak habis minuman merahnya.Keenan meletakkan gelas bekas minumannya ke atas meja sofa dengan agak kasar hingga menimbulkan suara dentingan antara gelas dan meja yang sama-sama berbahan kaca.Wanita di atas ranjang sana tampak terusik oleh dentingan yang disebabkan oleh Keenan.Tubuh mungil itu meng
Darren langsung membawa Nara masuk ke kamar, khawatir Dara akan terbangun jika mereka duduk di luar dan tangisan Nara didengar oleh putri kecil mereka.Darren meraih gelas dan menuangkan air dari jug yang memang sengaja diletakkan di atas nakas karena ia dan Nara sering bangun malam hanya untuk minum. Jadi, mereka bisa minum tanpa harus jauh-jauh ke dapur."Minum dulu," ucap Darren memberikan gelas berisi air putih pada Nara.Wanita itu tidak menolak, langsung meminum dan menghabiskan cairan putih itu. Seakan ia benar-benar haus setelah melakukan perjalanan jauh.Tangisannya masih terdengar, meski sudah tidak se-histeris saat pertama kali memeluk Darren tadi. Tubuhnya juga sesekali bergetar karena sesenggukan, matanya memerah hampir membengkak, serta wajah yang sembab membuktikan wanita pemilik hati Darren itu sudah sangat lama menangis.Darren tidak melakukan apa pun
Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya."Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam."Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.
Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu."Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam."Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu."Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat."Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi."Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
"Darren," panggil Nara saat tidak mendapat respon apa pun dari sang suami setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya pada saat makan malam bersama Keenan. Bahkan, wajah lelaki itu tidak bisa ditebak. Tatapannya juga hanya terpaku pada wajah Nara, membuat sang istri salah tingkah. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa pun," ucap Nara dengan mata bergetar oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata dan berusaha ditahannya agar tidak merembes keluar. "Kamu belum makan apa pun, tapi tiba-tiba berada di ranjang dalam keadaan gak wajar. Bagaimana bisa?" tanya Darren. Nara merapatkan selimut ke tubuhnya, lalu beranjak duduk menghadap Darren. "Aku memang belum makan, tapi aku sudah minum dan setelah itu aku tidak ingat apa pun lagi," jawabnya mencoba membela diri. Meskipun merasa kecewa karena Darren seperti tidak mempercayai dirinya, tetapi Nara memak