Darren langsung membawa Nara masuk ke kamar, khawatir Dara akan terbangun jika mereka duduk di luar dan tangisan Nara didengar oleh putri kecil mereka.
Darren meraih gelas dan menuangkan air dari jug yang memang sengaja diletakkan di atas nakas karena ia dan Nara sering bangun malam hanya untuk minum. Jadi, mereka bisa minum tanpa harus jauh-jauh ke dapur.
"Minum dulu," ucap Darren memberikan gelas berisi air putih pada Nara.
Wanita itu tidak menolak, langsung meminum dan menghabiskan cairan putih itu. Seakan ia benar-benar haus setelah melakukan perjalanan jauh.
Tangisannya masih terdengar, meski sudah tidak se-histeris saat pertama kali memeluk Darren tadi. Tubuhnya juga sesekali bergetar karena sesenggukan, matanya memerah hampir membengkak, serta wajah yang sembab membuktikan wanita pemilik hati Darren itu sudah sangat lama menangis.
Darren tidak melakukan apa pun, selain memeluk dan mengelus punggung wanita tercintanya. Ia juga tidak tahu harus mengatakan apa pun, karena yang dibutuhkan Nara saat ini hanya pelukan. Bukan kata-kata penghibur.
"Maafkan aku." Kata pertama yang mampu lolos dari bibir mungil Nara. Sejak tadi ia menguatkan diri untuk mengucapkan mantra itu, tetapi lidahnya terasa kelu dan bibirnya begitu berat untuk bisa terbuka hingga mengeluarkan suara.
"Kenapa minta maaf, hmmm?" Darren melerai pelukannya, memegang kedua bahu Nara dan menatap ke dalam netra wanita yang memenuhi hati dan pikirannya. Mencoba menyelami apa yang ada di dalam netra wanita itu, tampak sendu.
Nara menunduk, tidak berani bertatapan langsung dengan lelaki yang selalu memahami dirinya dalam kondisi apa pun.
"Gak papa kalau belum mau cerita, kamu tenangkan dirimu dulu, ya," ujar Darren lembut.
Lihatlah. Ini yang Nara sukai dari Darren. Lelaki itu tidak pernah memaksakan kehendaknya pada Nara. Selalu menunggu sampai Nara siap dalam hal apa pun juga.
"Makasih," ujar Nara menatap manik mata Darren. Kemudian, tatapannya turun ke bibir seksi milik lelaki itu. Nara membawa wajahnya mendekati wajah Darren dan menyatukan bibir mereka, membuat Darren kebingungan.
Pasalnya, setelah lima tahun kenal dan berhubungan dengan Nara, ini kali pertama wanita itu berinisiatif memulai pertemuan dua bibir.
Meski bingung, Darren menyukainya. Lelaki itu mengikuti permainan bibir dan lidah Nara yang tampak berbeda dari biasa. Wanita itu lebih agresif.
Nara hanya ingin menghapus jejak Keenan dari bibirnya. Entah kenapa, wanita itu merasa jijik dan bersalah. Dengan cara ini, sedikit banyak bisa mengurangi rasa jijiknya pada diri sendiri dan rasa bersalah pada Darren karena sudah disentuh oleh Keenan.
Lama bibir keduanya saling berpagutan hingga mereka membutuhkan oksigen yang kian menipis. Darren dan Nara memisahkan bibir mereka. Meraup oksigen sebanyak-banyaknya, menyatukan dahi dan hidung mereka.
"Aku selalu bersyukur karena kehadiranmu," ucap Nara kembali merengkuh tubuh yang selalu memberikan ketenangan padanya. Nara memejamkan matanya, mendengarkan irama jantung Darren yang mengalun merdu hingga mengantarkannya ke alam mimpi.
"Aku lebih bersyukur karena kamu menerima kehadiranku," balas Darren mengecup puncak kepala Nara lebih lama dari biasanya.
"Sayang," panggilnya saat mendengar dengkuran halus dari Nara, nafas wanita itu juga tampak turun naik dengan teratur.
"Bisa-bisanya kamu tertidur setelah membangunkan adikku," keluh Darren tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Nara memang selalu begitu, setiap kali habis menangis ia akan tertidur di dalam pelukan Darren.
"Lihat aja, lain kali aku tidak akan membiarkanmu tidur," ujar Darren dengan senyum miringnya.
Perlahan Darren mengangkat tubuh Nara, membaringkannya dia atas kasur. Kemudian, lelaki itu beranjak ke walk in closet untuk mengambil pakaian tidur Nara dan menggantinya agar pujaan hatinya bisa tidur dengan nyenyak.
"Selamat malam, Sayang." Darren mencium dahi Nara, turun ke mata, hidung, pipi dan berakhir mengecup mesra bibir yang selalu menjadi vitamin untuknya.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucap Darren menyibak anak rambut yang menutupi wajah ayu Nara. "Kumohon, jangan menangis lagi untuk alasan apa pun! Tangisanmu melukainhatiku.". Darren ikut berbaring di samping Nara dan memeluk pinggang wanita itu hingga ia juga turut menyusul Nara ke alam mimpi.
Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya."Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam."Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.
Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu."Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam."Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu."Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat."Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi."Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
"Darren," panggil Nara saat tidak mendapat respon apa pun dari sang suami setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya pada saat makan malam bersama Keenan. Bahkan, wajah lelaki itu tidak bisa ditebak. Tatapannya juga hanya terpaku pada wajah Nara, membuat sang istri salah tingkah. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa pun," ucap Nara dengan mata bergetar oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata dan berusaha ditahannya agar tidak merembes keluar. "Kamu belum makan apa pun, tapi tiba-tiba berada di ranjang dalam keadaan gak wajar. Bagaimana bisa?" tanya Darren. Nara merapatkan selimut ke tubuhnya, lalu beranjak duduk menghadap Darren. "Aku memang belum makan, tapi aku sudah minum dan setelah itu aku tidak ingat apa pun lagi," jawabnya mencoba membela diri. Meskipun merasa kecewa karena Darren seperti tidak mempercayai dirinya, tetapi Nara memak
"Aku sudah menikah."Faranisa Inara menghentikan kegiatan menghapus riasannya saat mendengar pengakuan Keenan Dirgantara—lelaki yang baru beberapa jam lalu menyandang status sebagai suaminya.Wanita yang biasa disapa Nara itu menatap sang suami yang tengah berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin. "Kamu sudah menikah?" Nara hanya ingin memastikan, dan berharap pendengarannya tadi salah menangkap pengakuan sang suami.Anggukan kepala Keenan menghempas jauh harapan wanita yang masih dibalut gaun pengantin bertabur berlian. Dunianya seakan runtuh mengetahui kenyataan itu—dirinya ternyata menjadi istri kedua dari pangeran bisnis Indonesia.Bahkan, pelaminan yang dijadikan singgasana saat mereka menjadi raja sehari pun belum diruntuhkan oleh wedding organizer. Tetapi Keenan sudah lebih dulu menghancurkan segala mimpi indah Nara tentang pernikahannya.
Kenan berjalan keluar dari kamar mandi dengan menyugar rambutnya yang basah. Netra sebiru laut miliknya, tertuju pada Nara yang tengah berbaring membelakangi dirinya. Nafas wanita itu tampak turun naik dengan teratur, membuat Keenan berpikir kalau istri mudanya itu sudah lebih dulu menjelajahi alam mimpi."Pasti dia capek," pikir Keenan, ia berjalan mendekati ranjang setelah meletakkan handuk yang ia gunakan pada tempatnya.Keenan tak ingin membangunkan Nara hanya untuk membicarakan masalah pernikahan mereka pada wanita yang tampak kelelahan jika hanya dilihat dari wajah damainya.Keenan yakin, Nara bukan hanya lelah fisiknya karena digunakan untuk berbagai kegiatan selama prosesi pernikahan berlangsung, terutama saat menyapa para tamu yang seperti kerumunan semut. Batin Nara pun, pastinya lelah menghadapi kenyataan pahit di hari pertama ia menyandang status baru dalam hidupnya—seorang istri."Maafkan aku," sesal Keenan masih setia menatap waj
Suara isak tangis yang begitu memilukan dari seorang wanita memecah kesunyian di dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebuah lampu tidur di atas nakas. Tubuh mungil yang tengah meringkuk di atas ranjang, tampak bergetar. Kelopak matanya tertutup rapat, tetapi melelehkan cairan bening, membasahi bantal yang menjadi penyangga kepalanya.Buliran keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya yang pucat dan terlihat lebih tirus dari hari-hari sebelumnya."Maafkan aku," lirihnya tersedu-sedu, semakin pilu. "Maafkan aku," ucapnya lagi.Faranisa Inara terus mengucapkan kata 'Maafkan aku', dalam tidurnya. Seperti sebuah mantra yang terus-menerus dilafalkan.Di sebelahnya, Darren tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menenangkan Nara seperti biasanya. Lelaki itu hanya berbaring menghadap Nara dengan tangannya mengelus lembut puncak kepala sang istri.Sejak pembicaraa