Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.
Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam.
"Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu.
"Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.
Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat.
"Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi.
"Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.
Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
"Darren," panggil Nara saat tidak mendapat respon apa pun dari sang suami setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya pada saat makan malam bersama Keenan. Bahkan, wajah lelaki itu tidak bisa ditebak. Tatapannya juga hanya terpaku pada wajah Nara, membuat sang istri salah tingkah. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa pun," ucap Nara dengan mata bergetar oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata dan berusaha ditahannya agar tidak merembes keluar. "Kamu belum makan apa pun, tapi tiba-tiba berada di ranjang dalam keadaan gak wajar. Bagaimana bisa?" tanya Darren. Nara merapatkan selimut ke tubuhnya, lalu beranjak duduk menghadap Darren. "Aku memang belum makan, tapi aku sudah minum dan setelah itu aku tidak ingat apa pun lagi," jawabnya mencoba membela diri. Meskipun merasa kecewa karena Darren seperti tidak mempercayai dirinya, tetapi Nara memak
"Aku sudah menikah."Faranisa Inara menghentikan kegiatan menghapus riasannya saat mendengar pengakuan Keenan Dirgantara—lelaki yang baru beberapa jam lalu menyandang status sebagai suaminya.Wanita yang biasa disapa Nara itu menatap sang suami yang tengah berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin. "Kamu sudah menikah?" Nara hanya ingin memastikan, dan berharap pendengarannya tadi salah menangkap pengakuan sang suami.Anggukan kepala Keenan menghempas jauh harapan wanita yang masih dibalut gaun pengantin bertabur berlian. Dunianya seakan runtuh mengetahui kenyataan itu—dirinya ternyata menjadi istri kedua dari pangeran bisnis Indonesia.Bahkan, pelaminan yang dijadikan singgasana saat mereka menjadi raja sehari pun belum diruntuhkan oleh wedding organizer. Tetapi Keenan sudah lebih dulu menghancurkan segala mimpi indah Nara tentang pernikahannya.
Kenan berjalan keluar dari kamar mandi dengan menyugar rambutnya yang basah. Netra sebiru laut miliknya, tertuju pada Nara yang tengah berbaring membelakangi dirinya. Nafas wanita itu tampak turun naik dengan teratur, membuat Keenan berpikir kalau istri mudanya itu sudah lebih dulu menjelajahi alam mimpi."Pasti dia capek," pikir Keenan, ia berjalan mendekati ranjang setelah meletakkan handuk yang ia gunakan pada tempatnya.Keenan tak ingin membangunkan Nara hanya untuk membicarakan masalah pernikahan mereka pada wanita yang tampak kelelahan jika hanya dilihat dari wajah damainya.Keenan yakin, Nara bukan hanya lelah fisiknya karena digunakan untuk berbagai kegiatan selama prosesi pernikahan berlangsung, terutama saat menyapa para tamu yang seperti kerumunan semut. Batin Nara pun, pastinya lelah menghadapi kenyataan pahit di hari pertama ia menyandang status baru dalam hidupnya—seorang istri."Maafkan aku," sesal Keenan masih setia menatap waj
Suara isak tangis yang begitu memilukan dari seorang wanita memecah kesunyian di dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebuah lampu tidur di atas nakas. Tubuh mungil yang tengah meringkuk di atas ranjang, tampak bergetar. Kelopak matanya tertutup rapat, tetapi melelehkan cairan bening, membasahi bantal yang menjadi penyangga kepalanya.Buliran keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya yang pucat dan terlihat lebih tirus dari hari-hari sebelumnya."Maafkan aku," lirihnya tersedu-sedu, semakin pilu. "Maafkan aku," ucapnya lagi.Faranisa Inara terus mengucapkan kata 'Maafkan aku', dalam tidurnya. Seperti sebuah mantra yang terus-menerus dilafalkan.Di sebelahnya, Darren tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menenangkan Nara seperti biasanya. Lelaki itu hanya berbaring menghadap Nara dengan tangannya mengelus lembut puncak kepala sang istri.Sejak pembicaraa
Mobil yang membawa Keenan dan Nara baru saja tiba di sebuah cafe terletak tidak jauh dari perusahaan yang Keenan kelola."Ayo turun," ajak Keenan pada Nara yang sejak mereka berkendara bersama tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Nara menuruti ajakan sang suami, tetapi gerakan tangannya membuka sabuk pengaman terhenti ketika mendengar telepon Keenan berbunyi."Kamu duluan, aja. Aku mau angkat telepon dulu," ucap Keenan. Lagi-lagi Nara hanya mengangguk patuh."Iya, aku dan Nara sudah sampai di Cafe Hug Me," ucap Keenan pada Rachel Aulia yang ada di balik earpiece bertengger pada telinganya."Aku masih dalam perjalanan, mungkin aku agak sedikit telat datangnya," ujar Rachel —istri pertama Keenan."Iya, gak papa. Kamu hati-hati aja di jalan, jangan terburu-buru. Aku dan
"Mas." Rachel menatap kepergian Nara dengan sendu. Wanita yang sudah resmi menjadi madunya itu pergi dengan meninggalkan luka mendalam di hatinya."Gak papa, Nara hanya butuh waktu. Semua yang dia alami, terlalu cepat untuknya," ucap Keenan menghibur istri tercinta. Meski ia sedikit kecewa dengan sikap Rachel saat berbicara dengan Nara."Kamu yakin, dia bisa dipercaya, Mas?" tanya Rachel ingin memastikan.Melihat tingkah Nara yang terlihat agak bar-bar seperti itu, membuat Rachel meragukan kalau wanita itu bisa dipercaya dan mau begitu saja memberikan darah dagingnya untuk orang lain."Semoga aja," jawab Keenan. "Nara itu sebenarnya baik, mungkin tadi tanpa sengaja kita menyinggungnya.""Menyinggung gimana? 'Kan dia yang udah nyinggung kita. Minta aku menyerahkan kamu buat dia, emangnya kamu barang, main serahin gitu aja? Kamu itu milik aku seorang! Terus bilang sedekah ana