"Rachel?" gumam Nara saat melihat wanita itu ada di rumah baru yang Keenan katakan akan menjadi tempat tinggal mereka sejak hari ini.
"Kenapa dia ada di sini?" batin Nara masih menatap lekat wanita yang menjadi madunya itu.
Keenan turun dari mobil dengan membawa koper dirinya dan juga milik Nara. Kemudian, lelaki itu mengikuti arah pandang Nara yang masih lekat menatap Rachel.
Tampak istri pertama Keenan tengah berdiri di ambang pintu, seperti akan menyambut kedatangan sang suami dan juga madunya.
"Dia juga akan tinggal di sini." Pelan dan lembut ucapan Keenan, tetapi mampu menyentak Nara. Seakan suara Keenan baru saja menggelegar di sanubarinya, hingga wanita itu tersentak kaget.
"Tinggal di sini?" tanya Nara menatap penuh pada suaminya.
"Iya, bersama kita," jawab Keenan menambahkan.
Nara berjalan mendahului Keenan, "
"Enghhh." Nara meregangkan otot-otot di seluruh tubuh, dan perlahan membuka kedua netranya—mencoba mengumpulkan nyawanya yang sempat berkecai tadi malam karena kelelahan beberes rumah baru bersama Rachel.Ya, kedua wanita yang memiliki suami yang sama itu dengan kompak membereskan rumah baru mereka, tanpa adanya bantuan pembantu. Hanya Keenan yang membantu keduanya untuk mengangkat barang-barang berat dan juga memasang atau meletakkan sesuatu di tempat yang tinggi.Nara mengambil dan memakai sweater untuk menutupi baju tidurnya yang sedikit menerawang. Wanita itu keluar kamar dan hendak pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama Keenan dan Rachel.Baru saja Nara membuka pintu dan sudah keluar selangkah dari kamarnya, pintu kamar sebelah terbuka bersamaan dengan Keenan yang keluar dari sana.Tentu saja Nara mengkerutkan keningnya dengan perasaan heran, "Kenapa kamu tidur di sa
Di dalam sebuah ruangan yang didominasi dengan warna putih, juga kental dengan bau obat-obatan yang begitu menusuk indera penciuman, seorang wanita tengah tergugu menangis dengan sangat memilukan. Tubuhnya bergetar hebat akibat tangisan itu, berkali-kali ia menghapus air matanya, berkali-kali juga cairan bening itu kembali keluar. Netranya yang berair menatap lekat pada sosok mungil yang tengah menghisap sumber nutrisi dari dadanya. "Maafkan Mama, Sayang." Tangannya yang rapuh mengelus lembut wajah bayi laki-laki yang baru saja ia lahirkan dengan penuh perjuangan. Bahkan, mengorbankan nyawanya sendiri. Wanita berwajah pucat itu berkali-kali mencium seluruh wajah bayi mungil yang ada di gendongannya saat ini. Dialah Faranisa Inara, terpaksa menjadi wanita kejam dengan meninggalkan bayinya demi perjanjian yang sudah ia buat bersama Keenan Dirgantara—suaminya dan Ra
"Dara sudah tidur?" tanya Darren setengah berbisik. Lelaki itu baru saja memasuki kamar Dara dan mendapati Yumna tengah berbaring memeluk putri mereka. "Papa, sini." Itu suara Dara. Tanpa perlu Nara repot-repot menjawab pertanyaan Darren, putrinya sendiri yang memberikan jawaban. Dara menyembul dari dalam pelukan sang mama untuk melihat papanya. "Dara mau tidur sama Mama dan Papa, boleh kan?" tanya Dara penuh harap, gadis kecil itu memasang wajah memelas disertai dengan puppy eyes yang membuat permintaanya tidak akan pernah bisa ditolak oleh kedua orang tuanya. Nara dan Darren sejenak saling tatap sebelum sama-sama mengangguk dengan senyum teduh mereka. "Ayo tidur." Darren mendekati ranjang Dara dan berbaring di samping kanan sang putri, sementara Nara di sebelah kiri. Darren memeluk kedua perempuan berbeda generasi yang begitu dicintainya, sementara Dara dan Nara saling berpelukan. "Jadi, ga
"Terima kasih udah hadir di dalam hidupku," gumam Nara memperhatikan wajah damai Darren—lelaki yang selalu ada untuknya, bahkan lelaki itu juga yang sudah membantu Nara menyembuhkan luka di hatinya. "Aku gak tau gimana hidupku jika tanpa kamu," gumamnya lagi. Tangan Nara bergerak menyentuh wajah Darren yang terpahat sempurna. Ingatannya melayang jauh pada kejadian saat dirinya melarikan diri dari rumah. "Tentu saja, aku akan menceraikannya setelah anak kita lahir!" Nara membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara, air mata pun mengalir deras dari pelupuk matanya saat kata-kata menyakitkan itu melesat bebas dari bibir Keenan tanpa keraguan. Tubuh
"Itu mama." Dara menunjuk Nara yang tengah duduk membelakangi mereka dengan tangan yang memegang ponsel bertengger di telinganya.Keenan mengikuti arah telunjuk Dara, "Itu mama kamu?" tanyanya memastikan."Iya," jawab Dara dengan senyum ceria. "Mama!" teriak Dara.Tatapan Keenan lekat menatap wanita yang membelakanginya, merasa tidak asing dengan sosok itu.Nara yang mendengar teriakan anaknya pun berbalik, tangannya masih menggenggam ponsel yang masih bertengger di telinganya.DegJantung Keenan berdebar kencang saat tatapannya menangkap sosok Nara di depan sana, wanita itu tidak menyadari kehadirannya."Dara," ucap Nara dengan senyum manis, hingga senyuman itu perlahan sirna ketika melihat sosok yang ada di sebelah putrinya.Jantung Nara berdebar tak menentu bersamaan dengan nafasnya ya
Di sebuah kamar hotel, Keenan duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang di mana seorang wanita tertidur pulas seperti bayi.Tatapan Keenan lekat pada wajah damai wanita yang tubuh mungilnya hanya terbalut selimut putih, tanpa sehelai pun busana membungkusnya."Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini," sesal Keenan menenggak habis minuman merahnya.Keenan meletakkan gelas bekas minumannya ke atas meja sofa dengan agak kasar hingga menimbulkan suara dentingan antara gelas dan meja yang sama-sama berbahan kaca.Wanita di atas ranjang sana tampak terusik oleh dentingan yang disebabkan oleh Keenan.Tubuh mungil itu meng
Darren langsung membawa Nara masuk ke kamar, khawatir Dara akan terbangun jika mereka duduk di luar dan tangisan Nara didengar oleh putri kecil mereka.Darren meraih gelas dan menuangkan air dari jug yang memang sengaja diletakkan di atas nakas karena ia dan Nara sering bangun malam hanya untuk minum. Jadi, mereka bisa minum tanpa harus jauh-jauh ke dapur."Minum dulu," ucap Darren memberikan gelas berisi air putih pada Nara.Wanita itu tidak menolak, langsung meminum dan menghabiskan cairan putih itu. Seakan ia benar-benar haus setelah melakukan perjalanan jauh.Tangisannya masih terdengar, meski sudah tidak se-histeris saat pertama kali memeluk Darren tadi. Tubuhnya juga sesekali bergetar karena sesenggukan, matanya memerah hampir membengkak, serta wajah yang sembab membuktikan wanita pemilik hati Darren itu sudah sangat lama menangis.Darren tidak melakukan apa pun
Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya."Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam."Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.