"Itu mama." Dara menunjuk Nara yang tengah duduk membelakangi mereka dengan tangan yang memegang ponsel bertengger di telinganya.
Keenan mengikuti arah telunjuk Dara, "Itu mama kamu?" tanyanya memastikan.
"Iya," jawab Dara dengan senyum ceria. "Mama!" teriak Dara.
Tatapan Keenan lekat menatap wanita yang membelakanginya, merasa tidak asing dengan sosok itu.
Nara yang mendengar teriakan anaknya pun berbalik, tangannya masih menggenggam ponsel yang masih bertengger di telinganya.
Deg
Jantung Keenan berdebar kencang saat tatapannya menangkap sosok Nara di depan sana, wanita itu tidak menyadari kehadirannya.
"Dara," ucap Nara dengan senyum manis, hingga senyuman itu perlahan sirna ketika melihat sosok yang ada di sebelah putrinya.
Jantung Nara berdebar tak menentu bersamaan dengan nafasnya yang memburu ketika tatapannya dan juga Keenan bertemu. Tangannya yang menggenggam ponsel luruh ke bawah, tidak lagi mendengar panggilan Darren dari sambungan telepon. Wanita itu berusaha mengatur detak jantung dan deru nafasnya, berusaha bersikap biasa saja. Profesional.
Keenan memimpin tangan mungil Dara berjalan mendekat ke arah wanita yang dirindukannya setengah mati.
Setelah berada di depan Nara, Keenan langsung memeluk tubuh wanita itu.
Nara membeku, hingga beberapa saat kemudian tersadar dan berusaha mendorong tubuh Keenan.
"Maaf, Tuan. Tidak seharusnya anda memeluk saya di depan anak saya, apalagi ini di tempat umum," ujar Nara berbicara dingin pada Keenan.
Seakan tersentak dari khayalannya, Keenan langsung melepaskan pelukannya dari Nara.
"Anak?" ulang Keenan. Lelaki itu menatap Dara lalu beralih ke Nara.
Entah baru tersadar atau malah baru ingat kalau Nara adalah ibu dari anak yang bertabrakan dengannya.
"Izinkan saya bicara dengan anak saya dulu sebelum meeting kita dimulai, Pak," ucap Nara sopan, kemudian wanita itu mengambil alih Nara dari genggaman tangan Keenan.
"Dara ke sini sama siapa?" tanya Nara yang berjongkok di depan putrinya.
"Dara sama Kak Lyla disuruh sama papa langsung ke sini," jawab Dara. "Papa gak bisa jemput karena masih ada satu pasien lagi," imbuhnya.
"Iya, tadi papa udah ngabarin Mama dia agak telat datangnya. Terus di mana Kak Lyla?"
"Ke toilet," jawab Dara. "Tadi Dara liat Mama, makanya Dara lari duluan gak sengaja nabrak Om ini," jelasnya kemudian.
"Oh, ya udah. Dara duduk di sini dulu nungguin Kak Lyla sama papa datang, ya," pinta Nara membawa Dara duduk di sebuah meja yang sudah reservasinya. Bersebelahan dengan meja yang akan ia dan Keenan gunakan untuk meeting. "Kalau Dara sama kak Lyla mau makan duluan, makan aja. Nanti mama makan sama papa."
"Mama mau meeting sebentar sama om ini," tambahnya.
"Oke, Mama," sahut Dara patuh.
"Anak pintar," puji Nara meninggalkan kecupan hangat di puncak kepala Dara.
"Mari, Pak," ujar Nara sopan. Wanita itu memberi jalan untuk Keenan menuju ke meja mereka.
Keenan dan Nara duduk berhadapan. Sebelum memulai, Nara terlebih dulu mengenalkan dirinya sebagai perancang busana dari perusahaan yang akan mengimpor busana ke perusahaan milik Keenan.
"Bisakah kita bicara lebih dulu," pinta Keenan menyela penjelasan Nara mengenai busana yang akan dia rancang.
"Maaf, Pak. Saya di sini tidak untuk membicarakan hal-hal pribadi, tetapi untuk memenuhi tanggung jawab saya dalam pekerjaan," tolak Nara sopan.
Keenan kecewa mendengar jawaban Nara, tetapi lelaki itu memilih diam saat Nara kembali melanjutkan persentasenya sampai selesai.
"Apa ada tambahan atau Bapak mau mengubah rancangannya?"
"Tidak, saya setuju dengan semua yang sudah kamu atur," jawab Keenan.
"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas perhatiannya, semoga kerja sama kita ini berjalan lancar," ujar Nara mengulurkan tangan pada Keenan sebagai bentuk formalitas dalam bekerja.
Keenan terdiam, sebelum menerima uluran tangan Nara. Lelaki itu tidak melepaskan genggaman tangannya dari Nara dengan tatapan lekat pada wanita itu.
"Maaf, Pak." Nara berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Keenan.
"Kumohon, beri aku kesempatan untuk berbicara denganmu, Nara." Sudah tidak ada lagi sikap formal yang ditunjukkan Keenan pada Nara.
Memang sejak awal lelaki itu tidak berniat bersikap bahkan berbicara formal pada mantan istrinya itu. Sungguh mengganggu dan menyiksa, ia terpaksa melakukannya demi keprofesionalan dalam bekerja.
Maaf, saya tidak bisa," tolak Nara. "Saya ada janji dengan …." Ucapan Nara menggantung saat netranya bertemu dengan netra Darren.
Wanita itu buru-buru melepaskan tangannya dari Keenan, khawatir Darren salah paham.
"Permisi." Nara mengangguk sopan pada Keenan lalu meninggalkan lelaki itu dan menghampiri Darren.
"Darren," panggil Nara pelan.
"Sudah selesai?" Darren berdiri dan menyambut kedatangan Nara yang hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas darinya.
"Darren," panggil Nara lagi, Darren mengerti maksud panggilan wanita tercintanya itu.
"Gak papa, aku ngerti," ucap Darren mengecup puncak kepala Nara dengan mesra.
Nara langsung masuk ke dalam pelukan Darren, "Terima kasih," ucapnya terharu. "Dan maaf," imbuhnya menyesal.
"Kenapa meminta maaf, hmmm?" Darren membalas pelukan Nara, beberapa saat kemudian melerai pelukannya.
"Jangan menangis di sini, kamu gak mau menunjukkan kelemahanmu, bukan?"
Nara mengangguk, dan buru-buru menghapus sedikit cairan yang sempat menggenang di pelupuk matanya.
"Ayo makan, aku sudah sangat lapar," ucap Darren menghibur Nara.
Lelaki itu menarik kursi di sebelahnya dan membiarkan Nara duduk di sana. "Makanlah, aku memesankan makanan kesukaanmu," ucapnya.
"Makasih," ucap Nara tulus.
"Kamu udah lama sampai?" tanya Nara, wanita itu memang tidak tahu kapan Darren sampai.
"Sudah, kamu terlalu serius sampai gak sadar aku sampai," jawab Darren.
"Maaf," ucap Nara.
"Berhenti meminta maaf, Sayang. Kamu gak salah," ucap Darren mengelus kepala Nara dengan penuh kasih sayang.
Darren mengelap sudut bibir Nara yang belepotan dengan jari ibunya, kemudian lelaki itu mengecup jarinya bekas bibir Nara.
"Ih, jorok," ujar Nara menatap aneh pada Darren.
"Biarin, manis," sahut Darren tak peduli.
"Mama, Papa, jangan bermesraan di depan Dara dan kak Lyla dong," protes Dara yang langsung menarik perhatian dua sejoli yang beberapa saat lalu saling bertatapan dan melempar senyuman.
"Kasihan kak Lyla yang jomblo," ucap Dara dengan polosnya membuat Darren dan Nara tertawa, tak terkecuali Lyla yang menjadi bahan tertawaan mereka.
Interaksi antara Darren dan Nara tak luput dari pandangan Keenan. Lelaki itu ingin lebih lama lagi menatap wajah Nara yang dirindukannya, tapi melihat kemesraan wanita itu dengan lelaki lain membuat hati Keenan terbakar. Dan dirinya tidak sanggup lebih lama lagi berada di sana, menjadi saksi hidup kemesraan wanita yang sudah resmi menjadi mantan istrinya.
Darren melirik Keenan yang beranjak pergi, kemudian tatapannya beralih ke arah Nara yang sibuk dengan makanannya. Wanita itu sedikitpun tidak melihat ke arah Keenan, membuat Darren diam-diam bernafas lega.
Di sebuah kamar hotel, Keenan duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang di mana seorang wanita tertidur pulas seperti bayi.Tatapan Keenan lekat pada wajah damai wanita yang tubuh mungilnya hanya terbalut selimut putih, tanpa sehelai pun busana membungkusnya."Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini," sesal Keenan menenggak habis minuman merahnya.Keenan meletakkan gelas bekas minumannya ke atas meja sofa dengan agak kasar hingga menimbulkan suara dentingan antara gelas dan meja yang sama-sama berbahan kaca.Wanita di atas ranjang sana tampak terusik oleh dentingan yang disebabkan oleh Keenan.Tubuh mungil itu meng
Darren langsung membawa Nara masuk ke kamar, khawatir Dara akan terbangun jika mereka duduk di luar dan tangisan Nara didengar oleh putri kecil mereka.Darren meraih gelas dan menuangkan air dari jug yang memang sengaja diletakkan di atas nakas karena ia dan Nara sering bangun malam hanya untuk minum. Jadi, mereka bisa minum tanpa harus jauh-jauh ke dapur."Minum dulu," ucap Darren memberikan gelas berisi air putih pada Nara.Wanita itu tidak menolak, langsung meminum dan menghabiskan cairan putih itu. Seakan ia benar-benar haus setelah melakukan perjalanan jauh.Tangisannya masih terdengar, meski sudah tidak se-histeris saat pertama kali memeluk Darren tadi. Tubuhnya juga sesekali bergetar karena sesenggukan, matanya memerah hampir membengkak, serta wajah yang sembab membuktikan wanita pemilik hati Darren itu sudah sangat lama menangis.Darren tidak melakukan apa pun
Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya."Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam."Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.
Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu."Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam."Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu."Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat."Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi."Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
"Darren," panggil Nara saat tidak mendapat respon apa pun dari sang suami setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya pada saat makan malam bersama Keenan. Bahkan, wajah lelaki itu tidak bisa ditebak. Tatapannya juga hanya terpaku pada wajah Nara, membuat sang istri salah tingkah. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa pun," ucap Nara dengan mata bergetar oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata dan berusaha ditahannya agar tidak merembes keluar. "Kamu belum makan apa pun, tapi tiba-tiba berada di ranjang dalam keadaan gak wajar. Bagaimana bisa?" tanya Darren. Nara merapatkan selimut ke tubuhnya, lalu beranjak duduk menghadap Darren. "Aku memang belum makan, tapi aku sudah minum dan setelah itu aku tidak ingat apa pun lagi," jawabnya mencoba membela diri. Meskipun merasa kecewa karena Darren seperti tidak mempercayai dirinya, tetapi Nara memak
"Aku sudah menikah."Faranisa Inara menghentikan kegiatan menghapus riasannya saat mendengar pengakuan Keenan Dirgantara—lelaki yang baru beberapa jam lalu menyandang status sebagai suaminya.Wanita yang biasa disapa Nara itu menatap sang suami yang tengah berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin. "Kamu sudah menikah?" Nara hanya ingin memastikan, dan berharap pendengarannya tadi salah menangkap pengakuan sang suami.Anggukan kepala Keenan menghempas jauh harapan wanita yang masih dibalut gaun pengantin bertabur berlian. Dunianya seakan runtuh mengetahui kenyataan itu—dirinya ternyata menjadi istri kedua dari pangeran bisnis Indonesia.Bahkan, pelaminan yang dijadikan singgasana saat mereka menjadi raja sehari pun belum diruntuhkan oleh wedding organizer. Tetapi Keenan sudah lebih dulu menghancurkan segala mimpi indah Nara tentang pernikahannya.