"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara.
"Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas.
"Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren.
Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata.
Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren.
Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri.
"Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
Hai-hai pembaca kesayanganku 🤗 Selamat datang dan selamat membaca, semoga suka dengan karyaku ini, ya. Jangan lupa berikan dukungan untuk Author biar semakin rajin dan semangat update bab terbaru. Btw, gimana tanggapan Darren, ya, pas tau Nara bersama Keenan berada di kamar yang sama?
"Darren," panggil Nara saat tidak mendapat respon apa pun dari sang suami setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya pada saat makan malam bersama Keenan. Bahkan, wajah lelaki itu tidak bisa ditebak. Tatapannya juga hanya terpaku pada wajah Nara, membuat sang istri salah tingkah. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa pun," ucap Nara dengan mata bergetar oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata dan berusaha ditahannya agar tidak merembes keluar. "Kamu belum makan apa pun, tapi tiba-tiba berada di ranjang dalam keadaan gak wajar. Bagaimana bisa?" tanya Darren. Nara merapatkan selimut ke tubuhnya, lalu beranjak duduk menghadap Darren. "Aku memang belum makan, tapi aku sudah minum dan setelah itu aku tidak ingat apa pun lagi," jawabnya mencoba membela diri. Meskipun merasa kecewa karena Darren seperti tidak mempercayai dirinya, tetapi Nara memak
"Aku sudah menikah."Faranisa Inara menghentikan kegiatan menghapus riasannya saat mendengar pengakuan Keenan Dirgantara—lelaki yang baru beberapa jam lalu menyandang status sebagai suaminya.Wanita yang biasa disapa Nara itu menatap sang suami yang tengah berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin. "Kamu sudah menikah?" Nara hanya ingin memastikan, dan berharap pendengarannya tadi salah menangkap pengakuan sang suami.Anggukan kepala Keenan menghempas jauh harapan wanita yang masih dibalut gaun pengantin bertabur berlian. Dunianya seakan runtuh mengetahui kenyataan itu—dirinya ternyata menjadi istri kedua dari pangeran bisnis Indonesia.Bahkan, pelaminan yang dijadikan singgasana saat mereka menjadi raja sehari pun belum diruntuhkan oleh wedding organizer. Tetapi Keenan sudah lebih dulu menghancurkan segala mimpi indah Nara tentang pernikahannya.
Kenan berjalan keluar dari kamar mandi dengan menyugar rambutnya yang basah. Netra sebiru laut miliknya, tertuju pada Nara yang tengah berbaring membelakangi dirinya. Nafas wanita itu tampak turun naik dengan teratur, membuat Keenan berpikir kalau istri mudanya itu sudah lebih dulu menjelajahi alam mimpi."Pasti dia capek," pikir Keenan, ia berjalan mendekati ranjang setelah meletakkan handuk yang ia gunakan pada tempatnya.Keenan tak ingin membangunkan Nara hanya untuk membicarakan masalah pernikahan mereka pada wanita yang tampak kelelahan jika hanya dilihat dari wajah damainya.Keenan yakin, Nara bukan hanya lelah fisiknya karena digunakan untuk berbagai kegiatan selama prosesi pernikahan berlangsung, terutama saat menyapa para tamu yang seperti kerumunan semut. Batin Nara pun, pastinya lelah menghadapi kenyataan pahit di hari pertama ia menyandang status baru dalam hidupnya—seorang istri."Maafkan aku," sesal Keenan masih setia menatap waj
Suara isak tangis yang begitu memilukan dari seorang wanita memecah kesunyian di dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebuah lampu tidur di atas nakas. Tubuh mungil yang tengah meringkuk di atas ranjang, tampak bergetar. Kelopak matanya tertutup rapat, tetapi melelehkan cairan bening, membasahi bantal yang menjadi penyangga kepalanya.Buliran keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya yang pucat dan terlihat lebih tirus dari hari-hari sebelumnya."Maafkan aku," lirihnya tersedu-sedu, semakin pilu. "Maafkan aku," ucapnya lagi.Faranisa Inara terus mengucapkan kata 'Maafkan aku', dalam tidurnya. Seperti sebuah mantra yang terus-menerus dilafalkan.Di sebelahnya, Darren tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menenangkan Nara seperti biasanya. Lelaki itu hanya berbaring menghadap Nara dengan tangannya mengelus lembut puncak kepala sang istri.Sejak pembicaraa
Mobil yang membawa Keenan dan Nara baru saja tiba di sebuah cafe terletak tidak jauh dari perusahaan yang Keenan kelola."Ayo turun," ajak Keenan pada Nara yang sejak mereka berkendara bersama tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Nara menuruti ajakan sang suami, tetapi gerakan tangannya membuka sabuk pengaman terhenti ketika mendengar telepon Keenan berbunyi."Kamu duluan, aja. Aku mau angkat telepon dulu," ucap Keenan. Lagi-lagi Nara hanya mengangguk patuh."Iya, aku dan Nara sudah sampai di Cafe Hug Me," ucap Keenan pada Rachel Aulia yang ada di balik earpiece bertengger pada telinganya."Aku masih dalam perjalanan, mungkin aku agak sedikit telat datangnya," ujar Rachel —istri pertama Keenan."Iya, gak papa. Kamu hati-hati aja di jalan, jangan terburu-buru. Aku dan
"Mas." Rachel menatap kepergian Nara dengan sendu. Wanita yang sudah resmi menjadi madunya itu pergi dengan meninggalkan luka mendalam di hatinya."Gak papa, Nara hanya butuh waktu. Semua yang dia alami, terlalu cepat untuknya," ucap Keenan menghibur istri tercinta. Meski ia sedikit kecewa dengan sikap Rachel saat berbicara dengan Nara."Kamu yakin, dia bisa dipercaya, Mas?" tanya Rachel ingin memastikan.Melihat tingkah Nara yang terlihat agak bar-bar seperti itu, membuat Rachel meragukan kalau wanita itu bisa dipercaya dan mau begitu saja memberikan darah dagingnya untuk orang lain."Semoga aja," jawab Keenan. "Nara itu sebenarnya baik, mungkin tadi tanpa sengaja kita menyinggungnya.""Menyinggung gimana? 'Kan dia yang udah nyinggung kita. Minta aku menyerahkan kamu buat dia, emangnya kamu barang, main serahin gitu aja? Kamu itu milik aku seorang! Terus bilang sedekah ana
Nara mengatur napasnya yang memburu, ingatan masa lalu bersama Keenan dan Rachel terus mengganggu di alam bawah sadar hingga ia tidak bisa tidur dengan nyenyak.Berbagai kenangan terus bermunculan di dalam ingatannya, tetapi bukan kenangan indah yang singgah, melainkan kenangan menyakitkan yang pernah ditorehkan oleh pasangan suami istri itu padanya.Setelah beberapa saat terduduk di ranjang, Nara ke kamar mandi—membersihkan diri—dan buru-buru berangkat ke butik untuk menyelesaikan pesanan kliennya.Setelah berpakaian rapi menggunakan blouse biru muda dipadukan dengan celana putih, Nara keluar dari kamarnya. Tas tangan dan heels memperindah penampilannya, semakin terlihat elegan dengan make up tipis seperti biasa yang melekat di wajah cantiknya.Nara tidak langsung keluar dari apartemen atau pun pergi ke dapur seperti pagi-pagi sebelum dirinya dan Darren saling tak bicara, wan
"Ngapain kau ke sini?" tanya Nara saat melihat lelaki yang tidak ingin dilihatnya berada di ruang tunggu butik yang selama ini menjadi tempatnya mengalirkan hobi sekaligus mengais rejeki."Bertemu denganmu, ngapain lagi?" jawab lelaki yang tak lain dan tak bukan ialah Keenan Anggara—mantan suami—pemberi luka terbesar di dalam hati Faranisa Inara."Pergi!" tegas Nara mengusir Keenan. Kemudian wanita itu berlenggang meninggalkan ruang tunggu menuju ruangannya.Sedangkan Keenan berjalan mengikuti Nara dari belakang, "Kamu udah sarapan?" tanyanya lembut, tetapi tidak mendapat respon apa pun dari Nara.Wanita itu hanya terus berjalan sampai ke ruangannya dan bergegas mengunci pintu. Namun, Keenan sudah lebih