Sudah seminggu sejak kejadian itu, Nara menjadi lebih pendiam daripada hari-hari biasanya. Wanita itu juga belum menceritakan kejadian yang menimpanya saat makan malam bersama Keenan. Nara terlalu takut melakukannya, takut dengan respon yang akan diberikan Darren padanya.
"Pagi," sapa Nara pada Dara dan Darren yang sudah menunggunya di meja makan seperti biasa untuk ritual sarapan pagi.
Ketiganya menikmati sarapan mereka dengan hening, tidak ada yang membuka suara termasuk Dara yang biasanya tak pernah diam.
Gadis kecil itu mendadak jadi pendiam melihat mamanya juga diam.
"Aku pergi dulu," ujar Nara langsung beranjak dari posisinya duduk.
Meninggalkan meja makan, melupakan ritualnya sebelum berangkat kerja yaitu mencium kedua pipi chubby putrinya, juga mencium punggung tangan Darren dan mendapatkan balasan ciuman dari kedua orang tersayangnya itu.
Melihat kepergian mamanya, mata Dara berkaca-kaca. Bahkan, tanpa izin air matanya menetes membasahi pipi.
"Dara kenapa, Sayang?" tanya Darren duduk menghadap sang putri.
"Mama marah, ya, sama Dara?" tanyanya polos.
"Enggak, mama gak marah sama Dara," jawab Darren.
"Tapi kenapa mama gak nyapa Dara? Mama juga gak nyium pipi Dara kayak biasanya," ujar Dara mengutarakan isi hatinya.
"Mama cuma capek, Sayang. Pekerjaannya di butik pasti banyak, jadi mama banyak pikiran, itu sebabnya mama gak ngomong apa-apa sama Dara," ucap Darren memberi alasan agar anaknya itu tidak berpikir yang bukan-bukan.
"Nanti Papa bilangin ke mama, ya biar gak lupa nyium kamu kayak tadi," imbuhnya membujuk, Dara hanya mengangguk dengan senyum kecil.
"Ya, udah. Jangan nangis lagi, dong," ujar Darren. "Nanti tambah jelek," imbuhnya menggoda sang putri, membuatnya cemberut.
Setelah itu, Darren membantu Dara berkemas dan mengantarkannya sekolah karena Lyla—baby sitter Dara tidak masuk bekerja hari ini.
Kemudian, Darren pergi ke rumah sakit untuk melanjutkan aktifitas hariannya sebagai dokter anak. Lelaki itu menjadi idaman banyak wanita di rumah sakit, baik itu dari kalangan sesama dokter, suster, maupun pasien.
Namun, mereka semua harus mengalami patah hati massal saat Nara datang ke rumah sakit dan mengetahui dialah wanita beruntung yang bertahta di hati Darren.
Tak hanya bertahta di hati Darren, Nara juga beruntung karena bisa menikah dengan lelaki lemah lembut dan perhatian seperti Darren.
"Selamat pagi, Dokter," sapa seorang suster yang berpas-pasan dengannya di koridor rumah sakit.
Darren hanya membalasnya dengan enyum ramah, begitu juga ketika ada beberapa dokter dan suster lainnya yang menyapa dirinya.
Darren masuk ke dalam ruangannya, meraih ponsel dan mengirimkan pesan pada Nara untuk mengajaknya makan siang bersama. Sudah seminggu belakangan mereka tidak melakukannya karena Nara selalu menghindar dengan berbagai alasan.
Seperti sebelumnya, hari ini Nara juga menolak ajakan Darren dengan alasan sibuk.
Darren langsung menghubungi wanita itu, menunggu panggilannya terjawab.
"Assalamualaikum." Salam dari Nara membuka percakapan melalui sambungan telepon itu.
"Waalaikumsalam," sahut Darren lembut. "Kamu beneran sibuk sampe gak bisa makan siang bersama aku dan Dara?" tanya Darren to the point, tanpa berbasa-basi.
Ia tidak punya waktu banyak untuk melakukannya, jam kerjanya sebentar lagi akan tiba.
"Iya, aku gak bisa ke mana-mana. Harus menyelesaikan pesanan klien, deadline-nya dua hari lagi," jawab Nara.
"Baiklah, kalau gitu kita makan di ruangan kamu aja," putus Darren. "Tolong, jangan menolak," ucapnya cepat sebelum Nara menolak.
Benar saja, wanita itu memang berniat menolak ajakannya. Nara melakukan berbagai cara untuk menghindari Darren.
"Apa pun masalah kamu, tidak akan selesai hanya dengan menghindar. Aku bisa memberikan waktu untukmu berpikir, sebanyak waktu yang kamu butuhkan. Tapi Dara tidak bisa, dia tidak mengerti dengan permasalahan yang dialami orang dewasa," ujar Darren panjang lebar, Nara hanya diam mendengarkan.
Rasa bersalah seketika menyeruak masuk memenuhi relung hatinya.
"Dara sampa menangis melihatmu hanya diam, tidak bicara apa pun padanya, tidak juga mengecup pipinya," ungkap Darren sendu.
"Benarkah?" tanya Nara kental dengan rasa bersalahnya.
"Hmmm." Darren hanya bergumam sebagai jawaban.
"Maafkan aku," sesalnya.
"Minta maaflah padanya," sahut Darren.
"Aku juga bersalah padamu," ucap Nara.
"Aku mengerti," sahut Darren. "Tapi bisakah kamu bicarakan padaku, apa masalahmu? Kita bisa mengatasinya bersama-sama. Tolong libatkan aku dalam setiap masalah yang kamu hadapi," pinta Darren.
Nara diam.
Darren menghela nafas, memasang senyum meski tau Nara tidak bisa melihatnya. "Gak papa kalau belum mau cerita," ucap Darren menyembunyikan kekecewaannya. "Aku tutup dulu, ya. Aku ada pasien," ucapnya, kemudian memberikan salam dan menutup telepon tanpa menunggu balasan dari Nara yang semakin merasa bersalah pada Darren.
Tidak seharusnya ia mendiamkan Darren yang tidak bersalah padanya.
Nara tengah fokus dengan pekerjaannya saat seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa izin.Nara menoleh ke arah pintu, menghela nafas dan memasang wajah masam saat melihat tamu tak diundang itu."Mau apa kau ke sini?" tanya Nara dingin, tatapannya tajam."Aku merindukanmu, Sayang," jawab Keenan duduk di depan Nara tanpa persetujuan wanita itu."Kamu gak merindukanku?" tanya Keenan, Nara memilih diam tak menanggapi ucapan Keenan.Menganggap Keenan makhluk tak kasap mata yang suaranya tidak terdengar dan kehadirannya tidak terlihat."Kenapa gak mengangkat telepon dan gak balas pesanku, hmmm?" tanya Keenan lagi."Aku kan mau tau, siapa laki-laki yang selalu bersamamu dan kenapa kalian tinggal bersama. Lalu, siapa anak kecil yang ada di antara kalian?" cecar Keenan.Namun, lagi-lagi pertanyaannya
Setelah makan siang bersama suami dan anaknya, Nara pulang ke rumah bersama mereka. Wanita itu memutuskan melanjutkan pekerjaannya di rumah, khawatir Keenan akan kembali mengganggu jika ia kembali ke butik. Darren juga memutuskan kembali ke rumah mengingat dirinya tidak memiliki jadwal lagi. Ia ingin menyelesaikan masalah antara dirinya dan Nara. Lebit tepatnya, masalah yang terjadi pada Nara dan Keenan hingga membuat wanita itu menjadi lebih pendiam. Bahkan, tidak berbicara pada putrinya sendiri. "Dara, kamu ke kamar dulu, ya, sama Mbak Lyla. Bobo siang," ujar Darren lembut pada Dara yang ada di gendongannya. "Papa sama mama mau bicara sebentar," ucapnya memberi pengertian. Dan beruntungnya, putrinya itu anak baik dan pintar, juga pengertian. Ia mengangguk patuh dan berontak minta diturunkan oleh Darren. "Papa jangan marahin mama, ya," ucap Dara setelah ber
"Kenapa diam?" tanya Darren menaikkan sebelah alisnya. "Ayo, lakukan. Jangan membuang waktu terlalu lama," imbuhnya menahan senyuman melihat wajah cemberut Nara. "Katakan, apa yang harus aku lakukan," ujar Nara. "Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan mengetahui keinginanmu," imbuhnya dengan wajah cemberut dan bibirnya manyun yang membuat Darren semakin gemas. "Apa pun yang kamu lakukan, aku pasti senang," sahut Darren. Nara memutar bola matanya dengan malas, suaminya itu paling bisa membuatnya senang hanya dengan kata-kata. Nara pun menekan rasa malunya, beranjak dari posisi duduk di sofa, berpindah ke pangkuan Darren. Lelaki itu cukup terkejut dan terpana dengan tindakan Nara, tapi tak bisa dipungkiri … ia senang dan sangat menyukai perlakuan sang istri. "Kamu yang menggodaku lebih dulu, jangan salahkan aku kalau aku gak akan membiarka
"Darren," panggil Nara saat tidak mendapat respon apa pun dari sang suami setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya pada saat makan malam bersama Keenan. Bahkan, wajah lelaki itu tidak bisa ditebak. Tatapannya juga hanya terpaku pada wajah Nara, membuat sang istri salah tingkah. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa pun," ucap Nara dengan mata bergetar oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata dan berusaha ditahannya agar tidak merembes keluar. "Kamu belum makan apa pun, tapi tiba-tiba berada di ranjang dalam keadaan gak wajar. Bagaimana bisa?" tanya Darren. Nara merapatkan selimut ke tubuhnya, lalu beranjak duduk menghadap Darren. "Aku memang belum makan, tapi aku sudah minum dan setelah itu aku tidak ingat apa pun lagi," jawabnya mencoba membela diri. Meskipun merasa kecewa karena Darren seperti tidak mempercayai dirinya, tetapi Nara memak
"Aku sudah menikah."Faranisa Inara menghentikan kegiatan menghapus riasannya saat mendengar pengakuan Keenan Dirgantara—lelaki yang baru beberapa jam lalu menyandang status sebagai suaminya.Wanita yang biasa disapa Nara itu menatap sang suami yang tengah berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin. "Kamu sudah menikah?" Nara hanya ingin memastikan, dan berharap pendengarannya tadi salah menangkap pengakuan sang suami.Anggukan kepala Keenan menghempas jauh harapan wanita yang masih dibalut gaun pengantin bertabur berlian. Dunianya seakan runtuh mengetahui kenyataan itu—dirinya ternyata menjadi istri kedua dari pangeran bisnis Indonesia.Bahkan, pelaminan yang dijadikan singgasana saat mereka menjadi raja sehari pun belum diruntuhkan oleh wedding organizer. Tetapi Keenan sudah lebih dulu menghancurkan segala mimpi indah Nara tentang pernikahannya.
Kenan berjalan keluar dari kamar mandi dengan menyugar rambutnya yang basah. Netra sebiru laut miliknya, tertuju pada Nara yang tengah berbaring membelakangi dirinya. Nafas wanita itu tampak turun naik dengan teratur, membuat Keenan berpikir kalau istri mudanya itu sudah lebih dulu menjelajahi alam mimpi."Pasti dia capek," pikir Keenan, ia berjalan mendekati ranjang setelah meletakkan handuk yang ia gunakan pada tempatnya.Keenan tak ingin membangunkan Nara hanya untuk membicarakan masalah pernikahan mereka pada wanita yang tampak kelelahan jika hanya dilihat dari wajah damainya.Keenan yakin, Nara bukan hanya lelah fisiknya karena digunakan untuk berbagai kegiatan selama prosesi pernikahan berlangsung, terutama saat menyapa para tamu yang seperti kerumunan semut. Batin Nara pun, pastinya lelah menghadapi kenyataan pahit di hari pertama ia menyandang status baru dalam hidupnya—seorang istri."Maafkan aku," sesal Keenan masih setia menatap waj
Suara isak tangis yang begitu memilukan dari seorang wanita memecah kesunyian di dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebuah lampu tidur di atas nakas. Tubuh mungil yang tengah meringkuk di atas ranjang, tampak bergetar. Kelopak matanya tertutup rapat, tetapi melelehkan cairan bening, membasahi bantal yang menjadi penyangga kepalanya.Buliran keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya yang pucat dan terlihat lebih tirus dari hari-hari sebelumnya."Maafkan aku," lirihnya tersedu-sedu, semakin pilu. "Maafkan aku," ucapnya lagi.Faranisa Inara terus mengucapkan kata 'Maafkan aku', dalam tidurnya. Seperti sebuah mantra yang terus-menerus dilafalkan.Di sebelahnya, Darren tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menenangkan Nara seperti biasanya. Lelaki itu hanya berbaring menghadap Nara dengan tangannya mengelus lembut puncak kepala sang istri.Sejak pembicaraa
Mobil yang membawa Keenan dan Nara baru saja tiba di sebuah cafe terletak tidak jauh dari perusahaan yang Keenan kelola."Ayo turun," ajak Keenan pada Nara yang sejak mereka berkendara bersama tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Nara menuruti ajakan sang suami, tetapi gerakan tangannya membuka sabuk pengaman terhenti ketika mendengar telepon Keenan berbunyi."Kamu duluan, aja. Aku mau angkat telepon dulu," ucap Keenan. Lagi-lagi Nara hanya mengangguk patuh."Iya, aku dan Nara sudah sampai di Cafe Hug Me," ucap Keenan pada Rachel Aulia yang ada di balik earpiece bertengger pada telinganya."Aku masih dalam perjalanan, mungkin aku agak sedikit telat datangnya," ujar Rachel —istri pertama Keenan."Iya, gak papa. Kamu hati-hati aja di jalan, jangan terburu-buru. Aku dan