Rena mendapati sang ibu terkena kanker serviks stadium lanjut dan harus segera dioperasi. Namun, sayang, keterbatasan ekonomi membuatnya harus mengurungkan semua itu. Sebuah tawaran dia dapatkan dari dokter yang merawat sang ibu yang bersedia membayar semua biaya pengobatan ibunya Rena dengan imbalan kegadisannya. Rena marah, sedih dan merasa direndahkan. Namun, dia tak punya pilihan lain. Dengan perasaan hancur, dia menyerahkan kegadisannya pada sang dokter demi kesembuhan ibunya. Dalam ketidakberdayaan, rasa benci pun tumbuh dalam hati Rena pada sang dokter. Tawaran aneh dari sang dokter untuk menikah dimanfaatkan Rena untuk membalas dendamnya! Bagaimana kisah mereka? Apakah pernikahan mereka berakhir atau terus berlanjut?
View MoreBandung, 3 Maret 2008
"Bu, Rena pergi dulu ya," pamit gadis itu pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di sebuah sofa usang.
Tatapan wanita itu sayu, wajahnya yang pucat menyiratkan jika dia tidak sedang baik-baik saja.
"Bu, tangan Ibu dingin sekali. Ibu sakit?" tanyanya, saat mencium tangan itu dengan takzim. Wanita itu sedikit menarik sudut bibirnya lalu menggeleng pelan.
"Ibu, tidak apa-apa Ren. Mungkin Ibu hanya kecapaian," jawabnya lemah.
"Ya sudah, hari ini Ibu tidak usah jualan dulu ya? Ibu istirahat saja.
Bayu, nanti sambil berangkat sekolah, tolong kamu mampir ke rumahnya Bu Titin, dan bilang kalau hari ini Ibu tidak bisa menjajakan kue buatannya. Biar dijual sama yang lain," pinta Rena pada Ibu juga adiknya. Bayu mengangguk.
"Rena berangkat dulu ya, Bu. Mudah-mudahan hari ini banyak setrikaan yang Rena dapat, biar pendapatan Rena juga banyak. Jadi, kita bisa makan enak ya?" Ditanggapi senyuman getir dari sang Ibu. Gadis itu pun beranjak meninggalkan rumah.
Namun, baru beberapa langkah dia meninggalkan rumah, terdengar teriakan adiknya dari dalam rumah. Rena berbalik menghambur ke sumber suara.
"Ada apa Bayu?" tanyanya setengah berteriak.
"Ibu, Mbak!"
Rena menghambur pada ibunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Terlihat darah menetes dari sela pahanya.
"Kamu sekarang pergi sekolah, sebelum ke Bu Titin, tolong kamu panggilkan Ratna untuk nolong mbak bawa Ibu ke puskesmas," pinta Rena tanpa jeda. "Cepetan Bayu!" pintanya lagi. Anak itu mengangguk, lalu segera berlari ke luar setelah meraih tas usangnya di meja.
.
"Sudah berapa lama Ibu mengalami pendarahan?" tanya sang Dokter yang tengah berhadapan dengan Rena, sementara Bu Lastri masih terbaring lemah di brankar.
"Sudah beberapa bulan ini, Dok. Tapi Ibu mengira mungkin karena mau menopause jadi datang bulannya tidak berhenti. Apakah ada sesuatu yang serius, Dok?" tanya Rena penasaran.
"Hmm, saya pun belum bisa memastikan. Karena itu, Ibu Lastri harus dibawa ke rumah sakit besar untuk general check up. Jadi, sekarang saya berikan rujukan untuk melanjutkan pemeriksaan. Ini harus segera, karena kasihan, sepertinya Bu Lastri lemah karena kekurangan darah," jelas sang Dokter seraya menyerahkan selembar kertas yang telah ditandatanganinya.
Setelah itu, dengan menggunakan angkot Rena pun segera membawa ibunya ke rumah sakit di tengah kota. Beruntung, kemarin Rena baru menerima gajinya sebagai buruh setrika di laundry tak jauh dari rumahnya.
Tak besar memang, bulan ini Rena hanya mendapat satu juta rupiah. Namun, itu biasanya cukup untuk biaya hidup selama sebulan. Ditambah dengan penghasilan ibunya berjualan kue keliling. Sekarang, uang itu harus rela dia gunakan untuk berobat ibunya.
Setelah tiba di UGD, Bu Lastri segera ditangani tim dokter. Selang infus sudah terpasang di lengan kirinya. Nafasnya terlihat lemah. Mukanya semakin pucat.
.
Hari ke dua di rumah sakit, uang pegangan Rena sudah hampir habis. Itu pun hanya digunakan untuk membeli obat-obatan. Rena bahkan belum tahu berapa biaya yang harus dibayarnya nanti.
"Keluarga Bu Lastri," panggil seseorang yang membuyarkan lamunan gadis cantik itu. Rena menoleh.
"Iya, Sus?"
"Mbak dipanggil ke ruangan dokter Ferdy, sekarang. Ada yang harus disampaikan sama Mbak," ujar suster itu.
"Oh, iya, baik suster. Saya akan ke sana sekarang," jawab Rena lalu keluar dari ruangan dimana ibunya dirawat, menuju ruangan dokter yang di gedung sebelah.
Setelah menaiki lift, Rena sampai di lantai toga, di mana klinik kebidanan berada. Deretan ruangan dokter terlihat di sana. Rena menuju ruangan ujung, dimana tertulis nama Dr.Fredy Abizard A, SpOG.
Pelan Rena mengetuk pintunya. Terdengar sahutan dari dalam. Suara baritonnya sudah Rena hapal, karena beliaulah dokter yang menangani ibunya. Rena pun membuka pintu berwarna abu itu perlahan.
Dokter Fredy duduk seorang diri. 'Kemana suster yang biasa membantunya?' tanya Rena dalam hati. 'Oh, mungkin karena jadwal praktek sudah habis,' pikirnya lagi.
"Silakan duduk!" pinta Dokter Fredy. Rena menurut. Mereka pun duduk berhadapan. Hati Rena kebat-kebit, seakan menunggu putusan hakim. Dia takut dengan apa yang akan dikatakan oleh dokter itu. Namun, apa pun yang terjadi, dia harus siap menghadapinya.
"Mbak Rena, ada yang harus saya sampaikan saat ini. Tapi, tolong kuatkan hati untuk mendengarnya!" Dokter itu menjeda kalimatnya, lalu mengembuskan napasnya kasar.
"Ibu kamu, terkena kanker serviks stadium lanjut. Beliau harus segera dioperasi. Kalau tidak ... harapan hidupnya kecil sekali." Dokter itu menjeda kalimatnya demi melihat tatapan nanar yang ditunjukkan Rena.
Sebuah kabar yang begitu memukul jiwanya. Sebuah penyakit berbahaya tengah diderita ibunya. Kenyataan yang lebih pahit lagi, bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan ibunya, sedangkan untuk membeli obat ibunya hari ini, untuk makan dia dan adiknya pun entah cukup atau tidak.
"Ha-harus operasi, Dok? Kapan? Berapa biayanya?" berondong Rena. Terlihat jelas raut muka cemas dan bingung di wajahnya.
"Secepatnya! Dan untuk masalah biaya, bisa ditanyakan ke bagian administra--"
"Berapa, Dokter? Sejuta? Dua ju--"
"Puluhan juta!" potong Dokter Fredy membuat Rena makin lemas.
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments