"Bayu," panggil Rena ragu. Bocah yang sedang asyik membaca itu pun menoleh.
"Ya, Mbak?" jawabnya penasaran. Mata mereka bertemu.
"Mmh, Mbak mau menikah sebentar lagi," ucapnya lirih. Mata Bayu membulat.
"Menikah? Dengan siapa, Mbak? Kok aku nggak tau?" cerocos Bayu seraya mendekati kakaknya. Rena tersenyum tipis.
"Ada, nanti juga kamu tau. Tapi ...." Ucapan Rena terhenti. Dia terlihat ragu. "Kamu jangan bilang siapa-siapa ya, janji!" pinta Rena. Bayu mengangguk pasti.
"Nanti kita akan pindah dari sini. Kamu nanti pindah sekolah dan tinggal di asrama, sedangkan mbak ... nanti ikut suami." Rena memandang wajah adiknya lekat.
"Jadi kita nggak tinggal bersama, Mbak?" Wajah Bayu nampak kecewa. Rena menggeleng pelan. "Nanti, mbak akan jenguk kamu ke sana sering-sering, deh," bujuk Rena menghilangkan sedikit kekhawatiran di hati bocah sembilan tahun itu. Bayu mengangguk pasrah.
"Jadi kapan Mbak menikah?" Terdengar suara Bayu yang mulai ceria kembali. Rena tersenyum manis.
"Beberapa hari lagi. Kita akan pergi ke luar kota," ucap Rena seraya memeluk adiknya.
Suara dering ponsel terdengar nyaring. Sebuah panggilan masuk dari sebuah nomor yang diberi nama Dokter Mesum. Rena mengangkatnya.
"Ya," ucap Rena singkat.
"Aku ingin mengajakmu juga adikmu keluar hari ini." Suara bariton itu terdengar meminta.
"Untuk?"
"Please, Rena. Aku hanya ingin lebih mengenal kalian berdua. Aku juga ingin membelikan beberapa baju buat adikmu," pinta Dokter Fredy memohon. Rena menghela napas seraya menatap adiknya yang selalu berpakaian sederhana.
"Siapa itu, Kak? Calon suami Kakak?" tanya Bayu semringah. Rena menjawab dengan senyuman.
"Itu adik kamu? Sini aku mau ngomong." Terdengar suara Dokter Fredy. Rena menyerahkan ponselnya pada Bayu.
"Ha-halo ...," ucap bayu ragu.
"Halo, kamu Bayu?" tanya Dokter Fredy. Bayu mengangguk, seolah lawan bicaranya bisa melihat.
"Ini, siapa?" Bayu balik bertanya.
"Aku Fredy, calon kakak ipar kamu. Kita belum pernah ketemu ya? Kamu bersedia kalau sekarang kita bertemu?" Dokter Fredy kembali bertanya. Bayu pun kembali mengangguk.
"Kok kamu diam aja?" Dokter Fredy penasaran karena tak didengarnya jawaban.
"Eh, i-iya, saya mau," jawab Bayu antusias.
"Ok, kalau gitu, aku jemput kalian sekarang. Bersiaplah! Kalau sudah, kalian langsung saja keluar rumah, ya!" pinta Dokter Fredy. Bayu pun tersenyum ceria.
Tidak perlu waktu lama mereka bersiap, kemudian langsung menuju ke jalan raya. Walaupun malas, tapi demi melihat senyuman di wajah adiknya, akhirnya Rena pun memaksakan pergi.
Terlihat mobil sport hitam milik Dokter Fredy sudah terparkir di pinggir jalan. Pemiliknya pun berdiri dengan gagah di sebelahnya. Senyum manis tersungging di bibirnya. Bayu pun berjalan penuh semangat.
Dokter Fredy membuka pintu belakang untuk Bayu. Kemudian Bayu pun naik. Tak lama Rena mau menyusul duduk di sebelah adiknya, tapi secepat kilat tangannya ditahan oleh lelaki tinggi itu.
"Kamu di depan, aku ini bukan sopir," bisik Dokter Fredy. Rena menoleh dengan sinis.
"Aku ingin di belakang sama adikku," jawab Rena.
"Ok, kalau gitu biar Bayu saja di depan," ucap Dokter Fredy seraya membuka kembali pintu belakang yang sudah ditutupnya.
"Bayu, kamu di depan sama abang ya?" pinta Dokter Fredy ramah. Bayu mengangguk antusias.
"Kenapa nggak Mbak Rena aja yang di depan?" tanya Bayu kemudian.
"Oh, mbakmu lagi pengen menyendiri. Lagian, abang kan pengen kenalan sama kamu," jawab Dokter Fredy.
"Dih, Abang! Cocoknya juga dipanggil om," gerutu Rena lirih seraya melirik sinis. Dokter Fredy tak menghiraukannya. Membiarkan gadis itu duduk di belakang sesuai keinginnnya. Mereka pun berangkat menuju mall terbesar di kota.
Mata Bayu seolah tak berkedip melihat pemandangan yang jarang sekali dilihatnya. Menatap takjub pada setiap hal yang menyilaukan pandangannya.
"Bayu, kalau kamu pengen sesuatu bilang sama abang ya!" pinta Dokter Fredy sesaat sebelum memarkirkan mobilnya. Bayu mengangguk kegirangan.
Mereka berkeliling mall, membeli beberapa baju untuk Bayu. Lalu setelah makan siang, Bayu meminta untuk bermain di arena permainan. Sungguh hari itu, hari yang teramat membahagiakan bagi bocah lelaki itu.
"Sini," ajak Dokter Fredy seraya meraih tangan Rena. Walau gadis itu berusaha melepaskan, tapi genggaman lelaki itu sungguh kuat.
"Mau ke mana?" tanya Rena.
"Sini dulu, sambil nunggu Bayu maen," ajak lelaki itu. Rena pun menurut. Mereka memasuki sebuah toko pakaian wanita.
"Mau ngapain sih?" tanya Rena masih dengan nada yang ketus.
"Lihat baju ini, kayanya ini cocok buat kamu," ucap Dokter Fredy seraya menunjuk sebuah dress sederhana. Kali ini Rena setuju, baju itu sungguh manis walaupun dengan model sederhana. Dress selutut dengan warna salem lembut dan kerah sabrina. Renda putih menghiasi bagian kerah, menambah manis tampilannya.
"Kamu coba ya?" pinta Dokter Fredy. Rena mengangguk setuju.
Tak berapa lama Rena telah keluar dari ruang ganti dengan malu-malu. Sungguh saat itu, waktu bagai berhenti berputar bagi Dokter Fredy. Pemandangan di depannya sungguh bagai sebuah pendulum yang menghipnotisnya.
"Fredy! Ternyata ini bener kamu." Sebuah panggilan menyadarkannya. Dokter Fredy menoleh ke sumber suara.
"Hey, Yudha. Ngapain kamu di sini?" tanya Dokter Fredy.
"Aku lagi jalan-jalan cari sesuatu. Tadi aku seperti melihat orang yang kukenal, ternyata benar itu kamu. Sama siapa?" tanya lelaki yang dipanggil Yudha.
"Eh, sama ... Rena, sini. Kenalin ini temen aku, Yudha." Dokter Fredy memalingkan wajah memanggil wanitanya. Rena tersenyum datar. Mereka bersalaman sekilas.
Mata lelaki bernama Yudha itu membulat sesaat setelah melihat Rena. Dokter Fredy menyadarinya, segera dia mengambil sebuah kartu dari dompetnya.
"Rena, bisa minta tolong kamu langsung ke kasir ya?" usirnya halus. Rena mengangguk dan menerima kartu itu.
"Pantas saja kau sampai tergila-gila dan berani bayar mahal. Ternyata dia mirip banget sama Selina. Kau masih terobsesi rupanya, Bro!" ucap Yudha sesaat setelah Rena berlalu. Dokter Fredy menyilangkan telunjuknya di bibir.
"Please, Yud, jangan dibahas. Sudahlah, itu urusanku." Dokter Fredy memelas. Yudha mengangguk setuju.
"Dua hari lagi jangan lupa, kamu jadi salah satu saksi pernikahanku dengan dia." Dokter Fredy mengingatkan.
"Ok, aku gak akan lupa, insya Allah aku datang," jawab Yudha kemudian berlalu.
Dokter Fredy ternyata menyewa sebuah vila untuk acara pernikahannya. Vila dengan pemandangan sawah juga hutan yang asri begitu indah dipandang mata. Suara gemericik sungai menambah indah suasana. Sekilas sangat cocok untuk yang sedang berbulan madu. Sebuah taman disulap menjadi begitu indah dengan tenda yang dibentuk sedemikian rupa. Aneka makanan terhidang menggugah selera. Padahal tamu yabg hadir tidak sampai dua puluh orang. Rena datang beserta adiknya, dan Kiai Ahmad--guru ngaji Bayu--juga Kang Hafidz putra beliau yang Rena minta menjadi saksi pernikahannya. Tidak ada orang lain yang diundang. Terlebih karena lokasi pernikahan diadakan jauh di luar kota. Sedangkan dari pihak Dokter Fredy, nampak beberapa sahabat dekatnya saja yang hadir. Tidak ada satu pun keluarganya yang diberi tahu, sesuai permintaan Rena, jika mereka ingin menyembunyikan pernikahan itu. Entah sampai kapan. Dua orang dari kantor urusan agama sebagai pencatat pernikahan juga yang diminta sebagai wali hakim
"Dia sementara tinggal di sini, sampai nemuin tempat kost yang cocok," lanjut Fredy tegas. Dewi akhirnya mengangguk, tangannya menyuap sepotong sushi dengan sumpit kayu."Saya punya rekomendasi tempat kost yang bagus lho, Dok. Harganya emang agak mahal dikit, sih, tapi ... fasilitasnya oke banget. Kayanya cocok deh buat dia." Ucapan Dewi menghentikan jemari Dokter Fredy yang sedang fokus mengetik. "Ah, gak usah, Dew. Biar Rena di sini aja dulu. Emh, lagian orang tuanya udah nitipin dia sama saya. Biar Rena aja nanti yang mutusin mau kost di mana." Dokter Fredy terlihat gelagapan kembali. Suara bell dari ruang klinik menyelamatkan kegugupan Dokter Fredy. Dewi segera beranjak untuk membuka pintu. *** Rena selesai privat menjelang Magrib. Dia segera turun dari lantai dua. Saat keluar gedung, ternyata hujan mulai turun. Sayang, Rena lupa membawa payung. "Ah, sial. Aku harus nunggu hujan berenti," gumamnya, lalu duduk di kursi yang ada di depan gedung. Rena berniat menghubungi suamin
Rena segera mengendalikan dirinya. Dia tidak ingin terlihat cemburu di hadapan suaminya itu."Dianter sama Bang Arya," jawab Rena sambil berlalu. Sengaja dia menekankan nama "Bang Arya" dengan keras."Makan dulu, sini! Mumpung ada Dewi jug--""Gak laper!" potong Rena tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dewi terlihat heran melihat sikap Rena. Dia buru-buru menyelesaikan makan malamnya karena takut keburu hujan lagi."Saya pamit dulu ya, Dok. Terima kasih untuk makan malamnya," ujar Dewi dan meraih piringnya yang telah kosong lalu membawanya ke tempat cuci piring. Dia segera mencucinya lalu berpamitan sekali lagi. Dokter Fredy hanya mengangguk.Setelah kepergian Dewi, Dokter Fredy bangkit dan beranjak menuju kamar Rena. Mengetuk pintunya perlahan."Ren ... Rena, makan dulu," pinta Dokter Fredy halus. Namun, tak ada jawaban."Rena, tolong buka dulu pintunya." Suara lelaki itu agak meninggi. Walau malas, akhirnya Rena membuka pintu itu setengah."Ada apa? Aku cape, mau istirahat,"
"Mau kuanter gak, Ren?" tanya Dokter Fredy yang sedang duduk di ruang tengah. Rena menggeleng pelan."Gak usah. Kalau aku diantar jemput, nanti pada curiga," tolak Rena, kemudian berlalu dari hadapan suaminya. Dokter Fredy menghela napas kasar. 'Diantar orang lain mau, tapi sama suami sendiri gak mau,' pikirnya.Baru saja Rena keluar dan menutup pintu, sudah bertemu dengan perempuan yang semalam mengirim pesan padanya."Hai, Ren! Berangkat kursus ya?" sapa Dewi ramah seraya menaruh helmnya di kaca spion. Dia turun dari motornya lalu menghampiri Rena yang sedang memasukan kakinya ke sepatu. Rena menoleh sekilas."Eh iya, Mbak. Langsung masuk aja, Pak Dokter ada di dalam kok," jawab Rena. Dewi makin mendekat."Ren, sini deh. Mbak mau minta tolong. Bisa gak nanti kamu tanyain sama Dokter Fredy, dia lagi pengen apa saat ini?" Wajah Dewi nampak memelas. Kening Rena mengernyit."Maksudnya gimana, Mbak?" tanya Rena memastikan."Emh, Mbak mau ngasih hadiah buat Dokter Fredy, tapi ... setiap h
Pertanyaan yang membuat Rena tersentak."Eh, ng-nggak kok. Saya gak punya pacar. Apaan sih Pak Arya?!" Rena terlihat gugup. Arya terlihat manggut-manggut. Sebuah senyum tersungging di bibirnya."Oh ya, Ren, lusa aku ulang tahun. Aku mau ngadain syukuran di rumah. Kamu bisa dateng?" Sebuah undangan yang mencengangkan. Tanggal yang sama dengan suaminya, tapi sepertinya tidak ada acara apa-apa untuk memperingatinya."Eh, i-iya. Insya Allah saya datang. Jam berapa?""Malem sih ... abis Isya. Mau aku jemput?" tanya Arya lagi. Rena menggeleng cepat."Nggak usah, Pak. Saya minta alamatnya aja," jawab Rena. Arya mengangguk."Ok, nanti aku kirim alamatnya. Ayo kuantar pulang!"***Pasien terakhir terlihat keluar dari klinik Dokter Fredy. Dewi pun tampak segera bersiap untuk pulang saat Rena sampai di depan gerbang. Terlihat juga Arya yang melambaikan tangannya sebelum berlalu."Hai, Ren, jangan lupa yang aku minta tadi ya!" bisik Dewi seraya menuntun motornya ke luar. Rena balas dengan senyu
Hari ini Dewi begitu bersemangat. Sebelum berangkat kerja dia sempatkan dulu singgah ke mal untuk mencari hadiah.Dewi menyusuri area khusus laki-laki. Dia mengendap-ngendap seperti maling yang takut ketahuan. Menatap jejeran kotak-kotak kecil dengan gambar laki-laki berotot yang hampir telanjang. Mata Dewi memindai satu demi satu merek, model juga ukuran."Dia suka pakai merek apa ya? Terus ukurannya apa?" gumamnya pada diri sendiri."Kira-kira si Rena tau gak ya?" Dewi berpikir sejenak lalu dia ambil ponsel di sakunya. Dicarinya kontak Rena.[Ren, kamu tau gak Dokter Fredy suka pake merek apa? Ukurannya apa?] tanya Dewi di aplikasi chat. Tak lama dia mendapat balasan.[Wah, mana saya tau, Mbak. Lihat aja belum pernah.] (Bohong banget 'kan Rena?! Padahal sudah pernah merasakan. Author ngakak sendiri.)[Hmm, ya udah deh. Thank you ya, Ren. Sorry ganggu.][Iya, Mbak. gak papa,] balas Rena.Dewi menekuri sebuah kotak di tangannya. Gambar laki-laki dengan roti sobek di perutnya membuat D
Namun, harapan tinggal harapan saat tak dilihatnya sosok yang ditunggu."Saya sendirian, Dok." Dewi tersenyum manis."Oh iya, silakan kamu duduk di mana pun kamu mau. Ambil makanan sepuasnya." Dokter Fredy berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Dewi mengangguk kemudian berlalu ke meja di mana teman-temannya berkumpul. Ada beberapa orang bidan juga suster yang turut diundang.Sebuah langkah dengan high heels terdengar menggema. Semua sorot mata langsung tertuju pada sosok tinggi langsing dengan pakaian glamour yang baru saja memasuki restoran, lalu menghampiri meja di mana Dokter Fredy duduk. Lelaki itu terperangah kaget demi melihat pemandangan di depannya."Selamat malam semua. Maaf aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada mantan suamiku ini," ucapnya dengan lemah gemulai. Dokter Fredy terlihat jengah. Berulang kali dia membuang muka. Jika saja tak ingat banyak orang, sudah pasti diusirnya wanita itu. Lelaki itu berdiri lalu memberi tanda pada sang wanita agar men
Riuh sorak sorai membahana seisi ruangan. Teriakan dari teman juga keluarganya terdengar riuh tiada henti. "Terima! Terima! Terima!"Sebuah genggaman lembut menyadarkan Rena. Saat menoleh terlihat Ratih tersenyum manis sambil mengangguk, seolah mengisyaratkan untuk menerima puteranya.Dalam kondisi bingung Rena hanya bisa tersenyum datar dan menerima sepotong kue tart dari Arya. Bukan karena tulus menerima orang yang dengan berani menembaknya di depan semua tamu, tapi Rena tak ingin mempermalukan Arya di depan banyak orang.Arya bangkit lalu meraih tangan kiri Rena. "Terima kasih," bisiknya lirih. Disambut tepuk tangan dari semua tamu yang hadir. Rena mengangguk pelan dan tersenyum hambar. 'Kenapa jadi begini?' pikirnya bingung.***Hampir jam sepuluh Rena baru pulang diantar Arya. Mobil Dokter Fredy sudah terparkir di garasi. Rena masuk sesaat setelah Arya berlalu.Rena membuka pintunya perlahan. Dalam cahaya temaram suaminya duduk di sofa ruang keluarga. Tidak begitu jelas, hanya te
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli