Rena dan Dokter Fredy tengah menikmati sarapan, saat suara bell terdengar. Bu Darmi—pembantu baru di rumah itu—yang sedang membersihkan rumah segera membuka pintu. Terdengar suara yang tak asing di telinga lelaki yang tengah menyantap semangkuk oat dengan susu.“Di mana Fredy?” Sebuah suara wanita terdengar tegas. “Pak Dokter ada di dalam sedang sarapan, Bu.” Bu Darmi mengambil tas besar yang berda di di belakang wanita anggun itu.Dokter Fredy dan Rena menghentikan suapannya. Rena tetap duduk di tempatnya, sedangan Dokter Fredy segera beranjak ke asal suara yang menanyakan dirinya. Saat dia tahu siapa yang datang, segera diraih tangannya lalu diciumnya takzim. “Kenapa Ibu datang tiba-tiba? Dan kenapa tidak meminta aku saja untuk menjemput?” Dokter Fredy menuntun ibunya untuk duduk di sofa ruang tengah.“Bagamana kamu mau mikirin ibu? Dirimu sendiri saja tidak kau perhatikan. Inget usiamu itu udah empat puluh, masih saja kau betah melajang.” Dokter Fredy hanya diam di depan ibunya.
Arya bangkit, menjulurkan tangannya meraih jemari Rena. Mereka melangkah ke ruang keluarga hendak pamitan pada si empunya rumah.Dengan sopan, Arya berpamitan pada Dokter Fredy juga ibunya. Bu Wulan menyambut uluran tangan Arya dengan ramah. Sebliknya dengan DOkter Fredy, pandangan matanya setajam elang. Seakan ingin menembus isi hati Arya.Tangan Arya kembali terulur pada Dokter Fredy. Namun, kali ini lelaki tinggi itu tidak menepisnya. Dia terima uluran tangan Arya. Jabatan tangan itu terlihat erat, sangat erat malah. Membuat Arya meringis kesakitan.“Rena, ingat, jangan lama!” ucap Dokter Fredy dengan pandangan tajam tetap pada Arya.“Hush! Kamu ini, kaya gak tau anak muda aja. Biarin mereka nyari jodoh di usia muda. Jangan kaya kamu, udah umur segini masih aja betah melajang,” sindir Bu Wulan. Dokter Fredy melengos.“Sana kalian. Hati-hati ya.” Bu Wulan melambaikan tangan, mengusir. Arya tampak bagai seorang yang telah memenangkan pertempuran.*Arya menuntun Rena memasuki pintu r
Meja makan kini lebih ramai dengan kehadiran Bu Wulan. Mulutnya yang cerewet menambah ramai suasana rumah yang selama ini selalu sepi. Mereka duduk bertiga. Rena duduk bersebelahan dengan Bu Wulan, sedangkan Dokter Fredy duduk di seberang ibunya.Berkali-kali Dokter Fredy mencuri pandang pada istrinya. Bu Wulan yang hendak mengambil makanan, beberpa kali memergokinya.“Hei, Fredy. Kamu ngapain larak-lirik sama si Rena? Suka kamu sama dia, hah?” tanyanya tegas. Dokter Fredy yang tengah meneguk air langsung terbatuk. Untung saja air di mulutnya tidak menyembur.“Dia itu sudah punya pacar. Kenapa kamu gak terima aja itu si Dewi? Katanya kemarin kamu minta dia belikan celana dalam? Kamu mau kasih dia isinya, apa?”Kali ini tidak hanya Dokter Fredy yang tersedak karena tengah mengunyah makanan, Rena pun sama. Bu Wulan merasa aneh, dua orang di samping dan di depannya terbatuk-batuk mendengar ucapannya.“Kalian ini kenapa sih? Kaya lihat hantu saja!” rutuknya.“Lagi makan jangan ngobrol, Bu
“Kau tidak punya adab. Apa kau ingat saat aku tak punya pilihan, dan kau memanfaatkan keadaanku itu?” Rena mencoba mengingatkan. Dia bangit berdiri hendak meninggalkan suaminya yang masih terpaku.“Dan satu lagi. Kau terlalu tua untukku!”DEG!Sebuah perkataan yang sungguh menghancurkan hatinya. Bukan karena apa, tapi Rena mengatakan suatu kebenaran yang tidak bisa diubah. Dokter Fredy tertunduk lemah.Keesokan harinya Bu Wulan meminta Rena untuk menelepon Dewi agar datang pagi-pagi. Demi permintaan bakal calon ibu mertuanya, Dewi dengan semangat menurutinya.Bu Wulan mengajak Dewi belanja ke pasar modern yang tak jauh dari rumah, tanpa mengajak Rena. Sepulang dari pasar, Bu Wulan langsung mengajak Dewi memasak. Wanita sepuh itu dengan telaten mengajari Dewi memasak. Dari membuat gulai kepala kakap, gado-gado, juga balado telur, yang menurut Bu Wulan itu adalah makanan favorit puteranya.“Dewi, tambahkan santan ke gulainya.” Terdengar suara Bu Wulan di dapur. Rena hanya bisa memperhat
“Fredy, hari Minggu besok kita jalan-jalan. Sudah lama Ibu pengen ke pantai. Tolong luangkan waktu. Jangan lupa kasih tau Dewi dari sekarang,” ujar Bu Wulan saat tengah menikmati makan malam.Dokter Fredy tak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan dan melanjutkan suapannya. Rena melirik ke arah ibu mertuanya. Bu Wulan sepertinya sadar sedang diperhatikan. Dia kemudian menoleh ke arah Rena.“Kenapa? Kamu mau ikut?” tanyanya. Rena melengos, terlihat kikuk karena kepergok.“Kamu boleh ikut, ajak pacar kamu kalau mau,” ucapnya tegas. Rena mengangguk ragu.Bu Wulan memang terlihat tegas, tapi wajahnya menyiratkan ketulusan. Wanita yang berpostur tinggi montok ini, masih terlihat segar di usianya yang sudah tak muda lagi.Beberapa hari kemudian, mereka bersiap untuk berangkat ke pantai. Dokter Fredy sengaja menyewa mobil untuk traveling lengkap dengan sopirnya. Tas-tas mereka sudah rapi berjejer di bagian belakang. Bu Wulan tampak semringah melihat kehadiran Dewi. Rencananya untuk menjodoh
“Hai, kalian ke sini juga? Ayo kita naik perahu!” ajak Arya. Dokter Fredy merasa diselamatkan. Dewi meloncat girang. Rena hanya tersenyum datar.Gelombang ombak membuat perahu bergoyang hebat. Beberapa kali tanpa sadar Dokter Fredy meraih tangan Rena yang sempat menjerit karena takut. Tanpa disadari dua pasang mata memperhatikan itu dengan curiga. Walaupun memang saat tangan kekar itu meraihnya, Rena segera menepisnya.Berulang kali menerima penolakan dari Rena, Dokter Fredy mulai menerima, jika gadis itu benar-benar tidak menginginkannya. Dia teringat nasihat dan permintaan ibunya yang ingin segera ia menikah dan punya anak. Dokter Fredy berpikir untuk mencoba dekat dengan Dewi, wanita yang telah bertahun-tahun memberikan perhatian padanya..“Wah, lihat ada penjual bunga!” pekik Dewi saat tengah berjalan-jalan sore di sekitar pantai. Seorang gadis kecil dengan sebuah keranjang di tangannya menyodorkan pada Dewi juga Dokter Fredy. Lelaki itu mengambil sekuntum mawar merah lalu diber
Suara azan Subuh samar-samar terdengar dari masjid tak jauh dari resort. Rena menggeliat pelan. Sebuah tangan melingkar di perutnya. Rena menoleh, dan ia pun tersenyum saat dilihat wajah suaminya mendengkur halus di belakang telinganya. Perlahan Rena melepaskan tangan itu dan membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Rena menjerit kecil saat menyadari tak sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Sebuah tangan menariknya. Rena terjungkal kembali di atas kasur. Ciuman hangat bertubi-tubi mendarat di pipinya. Rena mendengkus saat sang suami mengedipkan matanya menggoda.“Mau ke mana?” tanyanya nakal.“Mau mandi, udah Subuh itu.” Rena mencubit pinggang suaminya. Dokter Fredy meringis. “Mandi bareng ya?” godanya lagi dengan tangan makin dieratkan.“Ish, apaan sih?” Rena memutar bola matanya. “Lah, kenapa?” Dokter Fredy mengendus-endus telinga Rena. “Malu.” Wajah Rena merona merah. Dokter Fredy menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. “Lho, kenapa malu? Aku kan sudah lihat semuanya,
Setelah makan malam, Rena segera mencuci piring kotor. Makan malam terbaik yang pernah gadis itu alami selama hidupnya. Senyum manis tak henti-hentinya terkembang di bibirnya saat sang suami beberapa kali menyuapinya. Tanpa menghiraukan keberadaan sang ibu yang melihat tingah laku mereka yang seperti pengantin yang baru saja menikah. “Ibu tidur duluan ya,” ujar Bu Wulan sambil mengulum senyum, saat melihat anaknya mendekati sang istri yang tengah asyik mencuci piring, lalu memeluknya dari belakang. Tanpa menunggu jawaban, Bu Wulan segera bangkit dan beranjak ke kamarnya. “Sini, aku bantuin beresin piringnya,” ujar Dokter Fredy. Rena melirik suaminya. Tangannya masih membilas piring yang sudah ia sabuni sebelumnya.“Kenapa harus cepat-cepat sih? Tenang aja.” Rena menaruh piring di tangannya ke rak yang berada di samping kirinya.“Soalnya masih ada yang harus kita lakukan selanjutnya,” ucap Dokter Fredy sembari tersenyum nakal.“Apaan emangnya?” kening Rena mengerut. Lelaki berkaos pu
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli