Suara azan Subuh samar-samar terdengar dari masjid tak jauh dari resort. Rena menggeliat pelan. Sebuah tangan melingkar di perutnya. Rena menoleh, dan ia pun tersenyum saat dilihat wajah suaminya mendengkur halus di belakang telinganya. Perlahan Rena melepaskan tangan itu dan membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Rena menjerit kecil saat menyadari tak sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Sebuah tangan menariknya. Rena terjungkal kembali di atas kasur. Ciuman hangat bertubi-tubi mendarat di pipinya. Rena mendengkus saat sang suami mengedipkan matanya menggoda.“Mau ke mana?” tanyanya nakal.“Mau mandi, udah Subuh itu.” Rena mencubit pinggang suaminya. Dokter Fredy meringis. “Mandi bareng ya?” godanya lagi dengan tangan makin dieratkan.“Ish, apaan sih?” Rena memutar bola matanya. “Lah, kenapa?” Dokter Fredy mengendus-endus telinga Rena. “Malu.” Wajah Rena merona merah. Dokter Fredy menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. “Lho, kenapa malu? Aku kan sudah lihat semuanya,
Setelah makan malam, Rena segera mencuci piring kotor. Makan malam terbaik yang pernah gadis itu alami selama hidupnya. Senyum manis tak henti-hentinya terkembang di bibirnya saat sang suami beberapa kali menyuapinya. Tanpa menghiraukan keberadaan sang ibu yang melihat tingah laku mereka yang seperti pengantin yang baru saja menikah. “Ibu tidur duluan ya,” ujar Bu Wulan sambil mengulum senyum, saat melihat anaknya mendekati sang istri yang tengah asyik mencuci piring, lalu memeluknya dari belakang. Tanpa menunggu jawaban, Bu Wulan segera bangkit dan beranjak ke kamarnya. “Sini, aku bantuin beresin piringnya,” ujar Dokter Fredy. Rena melirik suaminya. Tangannya masih membilas piring yang sudah ia sabuni sebelumnya.“Kenapa harus cepat-cepat sih? Tenang aja.” Rena menaruh piring di tangannya ke rak yang berada di samping kirinya.“Soalnya masih ada yang harus kita lakukan selanjutnya,” ucap Dokter Fredy sembari tersenyum nakal.“Apaan emangnya?” kening Rena mengerut. Lelaki berkaos pu
Wangi bawang bersatu dengan minyak panas menguar menciptakan aroma yang begitu menggoda. Semakin membuat Dokter Fredy kelaparan sepulang tugasnya di rumah sakit. Dia mendekat ke arah istrinya yang asyik mengaduk sayuran dalam wajan.Sudah seminggu ini Rena berhenti dari kursusnya. Dia merasa tidak nyaman jika terus bertemu dengan Arya. Walaupun Dokter Fredy tak pernah memintanya, tetapi Rena tak ingin membuat hubungannya semakin rumit dengan kehadiran Arya. “Masak apa, Sayang? Sepertinya enak,” tanya Dokter Fredy. Rena menoleh sekilas. “Sudah pulang, Sayang? Ini aku bikin cah kangkung sama ayam teriyaki. Cepet ganti baju, kita makan bersama,” pinta Rena. Lelaki itu tersenyum manis, mengecup kening istrinya sekejap lalu beranjak ke kamarnya untuk mandi dan ganti pakaian. Selesai mandi, ternyata semua hidangan sudah tersaji di meja makan. Perutnya sudah bertalu-talu minta diisi. Rena menyendok nasi merah, kangkung juga ayam teriyaki ke atas piring lalu menaruhnya di depan sang suami.
“Kita cari restoran timur tengah. Aku mau makan daging kambing biar jooss …,” bisiknya di dekat telinga Rena. Mendengar itu Rena langsung mencubit pinggang suaminya.“Terus aja gitu! Malu banyak orang,” umpat Rena. Dokter Fredy terkikik.“Nah kebetulan banget ada, ayo kita ke sana,” ajak Dokter Fredy. Rena mengangguk.Mereka pun memasuki sebuah restoran timur tengah. Dokter Fredy sengaja memilih tempat duduk lesehan agar lebih nyaman. Dia memesan seporsi besar nasi Mandhi juga Kebbeh Laham, yaitu olahan daging ambing dengan rempah. Dua gelas Qishr melengapi menu mereka.Lelaki itu terlihat makan dengan lahap. Mungkin karena sudah membayangkan efek dari daging kambing itu nantinya.Tak lama dua orang masuk ke restoran itu. Seorang wanita dengn paras cantik dan seorang wanita tua. Dari ambang pintu wanita itu matanya tak pernah lepas menatap lelaki yang tengah asyik menyantap olahan kambing di depannya. Wanita itu mendekat.“Erick,” panggilnya lirih. Dokter Fredy yang kebetulan membelak
Selesai salat Subuh Rena langsung memasak untuk bekal suaminya makan siang. Sementara Dokter Fredy tampak sedang bersiap berangkat kerja. Setelah menata makanan ke dalam wadah belak, Rena juga menata makanan untuk sarapan. “Sarapan dulu, Sayang,” teriak Rena dari ruang makan. Dokter Fredy masih sibuk memakai kaus kaki.“Nanti aja aku makan di kantin. Takut telat mau ada tindakan dulu sebelum praktek di klinik,” ucapnya lalu beranjak pergi.“Eh, ini bekalnya, Sayang,” ujar Rena sambil mengejar suaminya ke luar. Dokter Fredy berhenti lalu meraih tas bekal yang diberikan istrinya. Rena segera meraih tangan kanan suaminya lalu diciumnya takzim. Dia masih berdiri mematung menunggu sang suami mengecup keningnya. Namun, sang suami malah terlihat buru-buru naik ke mobilnya. Rena tersenyum hambar sambil melambaikan tangannya. Dokter Fredy hanya membalas lambaian tangan Rena kemudian segera berlalu.*Mobil Dokter Fredy berbelok ke arah perumahan elit, lalu berhenti di depan sebuah rumah mega
Sikap Dokter Fredy pada Rena makin hari semakin tak acuh. Tak pernah sarapan dan makan malam di rumah. Tak ada ciuman sebelum berangkat kerja atau pun sebelum tidur. Dan mulai sering pulang tengah malam. Malam itu, Rena begitu bergairah. Sebagai seorang istri, dia menginginkan sentuhan suaminya. Dia kembali memakai lingeri yang seminggu yang lalu dibelikan suaminya. Rena sudah siap menyambutnya ranjang. Namun, dia harus menelan kekecewaan saat sang suami menolaknya secara halus. Alasan cape dan lelah yang terlontar dari mulut suaminya. Rasa sakit akan penolakan membuatnya terjaga sepanjang malam. Dia hanya bisa menatap suaminya yang terlelap di sampingnya. Saat tengah malam, ponsel suaminya yang berada di atas nakas terlihat menyala karena panggilan masuk. Karena diseting silent sehingga tidak terdengar suara. Rena melirik sekilas. Terlihat nama Selina di sana. Ada apa malam-malam menelpon segala? Pikirnya. Namun, ia tak berani membangunkan sang suami. Setelah beberapa kali panggi
Seminggu berlalu, tidak tampak perubahan pada suaminya. Lelaki itu tetap saja bersikap dingin pada Rena. Walaupun memang Dokter Fredy sudah tidak bolos lagi dari prakteknya di rumah sakit, tetapi kini ia belum membuka praktek lagi di rumah.Setelah hari itu, hampir setiap hari menelepon rumah sakit untuk menanyakan keberadaan suaminya. Setiap hari lelaki itu praktek. Namun, saat off di rumah sakit Dokter Fredy tetap berangkat dari rumah.Hari ini Rena berencana akan mengikuti kepergian sang suami. Setelah Doter Fredy berangkat, beberapa saat kemudian, dengan menyewa ojek, Rena mengikuti mobil suaminya dari belakang.Dari ujung jalan yang terhalang rimbunnya pohon bidara, Rena melihat dengan jelas saat sang suami menjemput wanita yang dijumpainya di restoran saat itu. Dengan begitu mesranya dia membukakan pintu bagi wanita itu, tak jauh beda saat lelaki itu melakukannya untuk Rena. Walau hati berdebar panas, Rena berusaha berpikir dengan otak dingin.Beberapa saat kemudian mobil itu me
Rena merasa begitu bodoh karena telah menganggap lelaki itu benar-benar jatuh cinta padanya. Semua kebaikannya ternyata palsu, hanya untuk membayar keberadaanya di sisi lelaki itu. Rena luruh terduduk di pinggir jalanan sepi. Dia menangis tertahan. Walau air matanya bercucuran, tapi suaranya ia tahan hingga tak terdengar.Melihat penumpangnya menangis, Mamang Ojek merasa heran. Ia kemudian memajukan motornya mendekati Rena.“Mbak, kenapa nangis?” tanyanya khawatir. Mendengar itu Rena segera bangit dan menghapus air matanya.“Ah, nggak Mang. Saya kelilipan. Ayo kita pulang saja,” jawab Rena kikuk.*Rena duduk terdiam sendiri di kamarnya yang dulu. Kamarnya saat ia masih belum bisa menerima kehadiran sang suami. Semua kejadian itu kembali terbayang di pikirannya. Saat tiap hari ia bersikap judes dan tak acuh pada sang suami. Lelaki itu dulu begitu terlihat memujanya, tapi kenapa sekarang berubah 180 derajat? Apakah ini balasan untuknya karena telah berbuat buruk pada sang suami? Rena t
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli