Selesai salat Subuh Rena langsung memasak untuk bekal suaminya makan siang. Sementara Dokter Fredy tampak sedang bersiap berangkat kerja. Setelah menata makanan ke dalam wadah belak, Rena juga menata makanan untuk sarapan. “Sarapan dulu, Sayang,” teriak Rena dari ruang makan. Dokter Fredy masih sibuk memakai kaus kaki.“Nanti aja aku makan di kantin. Takut telat mau ada tindakan dulu sebelum praktek di klinik,” ucapnya lalu beranjak pergi.“Eh, ini bekalnya, Sayang,” ujar Rena sambil mengejar suaminya ke luar. Dokter Fredy berhenti lalu meraih tas bekal yang diberikan istrinya. Rena segera meraih tangan kanan suaminya lalu diciumnya takzim. Dia masih berdiri mematung menunggu sang suami mengecup keningnya. Namun, sang suami malah terlihat buru-buru naik ke mobilnya. Rena tersenyum hambar sambil melambaikan tangannya. Dokter Fredy hanya membalas lambaian tangan Rena kemudian segera berlalu.*Mobil Dokter Fredy berbelok ke arah perumahan elit, lalu berhenti di depan sebuah rumah mega
Sikap Dokter Fredy pada Rena makin hari semakin tak acuh. Tak pernah sarapan dan makan malam di rumah. Tak ada ciuman sebelum berangkat kerja atau pun sebelum tidur. Dan mulai sering pulang tengah malam. Malam itu, Rena begitu bergairah. Sebagai seorang istri, dia menginginkan sentuhan suaminya. Dia kembali memakai lingeri yang seminggu yang lalu dibelikan suaminya. Rena sudah siap menyambutnya ranjang. Namun, dia harus menelan kekecewaan saat sang suami menolaknya secara halus. Alasan cape dan lelah yang terlontar dari mulut suaminya. Rasa sakit akan penolakan membuatnya terjaga sepanjang malam. Dia hanya bisa menatap suaminya yang terlelap di sampingnya. Saat tengah malam, ponsel suaminya yang berada di atas nakas terlihat menyala karena panggilan masuk. Karena diseting silent sehingga tidak terdengar suara. Rena melirik sekilas. Terlihat nama Selina di sana. Ada apa malam-malam menelpon segala? Pikirnya. Namun, ia tak berani membangunkan sang suami. Setelah beberapa kali panggi
Seminggu berlalu, tidak tampak perubahan pada suaminya. Lelaki itu tetap saja bersikap dingin pada Rena. Walaupun memang Dokter Fredy sudah tidak bolos lagi dari prakteknya di rumah sakit, tetapi kini ia belum membuka praktek lagi di rumah.Setelah hari itu, hampir setiap hari menelepon rumah sakit untuk menanyakan keberadaan suaminya. Setiap hari lelaki itu praktek. Namun, saat off di rumah sakit Dokter Fredy tetap berangkat dari rumah.Hari ini Rena berencana akan mengikuti kepergian sang suami. Setelah Doter Fredy berangkat, beberapa saat kemudian, dengan menyewa ojek, Rena mengikuti mobil suaminya dari belakang.Dari ujung jalan yang terhalang rimbunnya pohon bidara, Rena melihat dengan jelas saat sang suami menjemput wanita yang dijumpainya di restoran saat itu. Dengan begitu mesranya dia membukakan pintu bagi wanita itu, tak jauh beda saat lelaki itu melakukannya untuk Rena. Walau hati berdebar panas, Rena berusaha berpikir dengan otak dingin.Beberapa saat kemudian mobil itu me
Rena merasa begitu bodoh karena telah menganggap lelaki itu benar-benar jatuh cinta padanya. Semua kebaikannya ternyata palsu, hanya untuk membayar keberadaanya di sisi lelaki itu. Rena luruh terduduk di pinggir jalanan sepi. Dia menangis tertahan. Walau air matanya bercucuran, tapi suaranya ia tahan hingga tak terdengar.Melihat penumpangnya menangis, Mamang Ojek merasa heran. Ia kemudian memajukan motornya mendekati Rena.“Mbak, kenapa nangis?” tanyanya khawatir. Mendengar itu Rena segera bangit dan menghapus air matanya.“Ah, nggak Mang. Saya kelilipan. Ayo kita pulang saja,” jawab Rena kikuk.*Rena duduk terdiam sendiri di kamarnya yang dulu. Kamarnya saat ia masih belum bisa menerima kehadiran sang suami. Semua kejadian itu kembali terbayang di pikirannya. Saat tiap hari ia bersikap judes dan tak acuh pada sang suami. Lelaki itu dulu begitu terlihat memujanya, tapi kenapa sekarang berubah 180 derajat? Apakah ini balasan untuknya karena telah berbuat buruk pada sang suami? Rena t
Rena tersadar dari lamunannya saat sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Dia menatap benda pipih itu sekilas, lalu mengambilnya perlahan. Saat dibuka, sebuah chat dari nomor gak dikenal masuk ke ponselnya.[ Rena, aku ingin bertemu denganmu. Aku tunggu di kafe Milano, jam 4 nanti. Selina]Mata Rena terperangah saat melihat siapa pengirim pesan tersebut. Jantungnya berdebar tak karuan."Mau apa, dia?" gumam Rena.Walau hatinya enggan, tetapi rasa penasaran lebih mendominasi. Rena berencana datang ke tempat itu.Pukul tiga, Rena sudah bersiap. Dia mondar-mandir, memikirkan tentang apa yang akan dikatakan pada wanita itu.Dengan menggunakan taksi online, Rena pergi ke kafe yang berjarak tujuh kilometer dari rumahnya. Saat turun dari taksi, jantungnya makin berdebar. Entah dia harus bersikap seperti apa saat berhadapan dengan perempuan yang telah merebut hati suaminya. Rena menarik napas dalam. Seolah ingin menghilangkan sesak di dadanya yang kian sempit.Rena berjalan tegap ke dalam kafe
Sebelum pulang ke rumah, Dokter Fredy menyempatkan diri mampir ke apartemen Selina. Setelah sebelumnya wanita itu menangis dan merengek di telepon mengabarkan kejadian tadi sore dengan Rena. Selina mengadu telah ditampar dan dipermalukan di depan umum.Saat sampai di apartemen Selina, wanita itu menghambur dengan manja ke arah Dokter Fredy. Lelaki itu membelai punggung Selina pelan, untuk menenangkan."Kau tau, Eric? Tadi aku hanya mengatakan padanya agar dia tidak mempersulit hubungan kita. Aku mohon padanya agar mau segera bercerai darimu, tapi ... tapi ... dia malah menampar dan menyiramku dengan minuman," ujar Selina diselingi tangis."Kenapa kau menemui dia segala, sih?" ucap Dokter Fredy, lirih, seraya mengelus punggung wanita dalam pelukannya."Aku hanya ingin dia mengerti bahwa kita saling mencintai." Selina merengek manja."Ya, sudah. Kamu tidak perlu lagi menemuinya, biar semua aku yang selesaikan," bujuk Dokter Fredy. Selina mengangguk. Jari-jarinya mulai menari nakal di d
Hari itu. Pagi-pagi setelah salat dan ngaji, Rena sudah bersiap menyiram bunga di halaman. Koleksi anggrek suaminya sudah hampir seminggu tidak disiram.Walaupun kepalanya sedikit pusing karena semalam terlalu lama menangis hingga jatuh tertidur, Rena memaksakan diri merawat tanaman kesayangan sang suami. Walaupun hatinya sakit dengan sang pemilik tanaman dan juga pemilik hatinya, Rena tetap merasa bertanggung jawab atas bunga-bunga itu.Biasanya, setiap sore, dua hari sekali dia dan suaminya merawat tanaman itu bersama. Membuang bagian-bagian yang sudah mati dan memberi pupuk pada tiap pot itu. Namun, kini suasana itu tak ada lagi. Sang suami lebih memilih mampir ke tempat selingkuhannya daripada mengurus tanaman yang sudah sejak lama dirawatnya.Rena tertegun saat mau melangkah mengambil selang air. Dia melihat sepatu wanita di samping pintu. Sebuah high heels, barang yang jelas bukan miliknya. Rena melirik ke dalam rumah. Menatap sekilas ke kamar suaminya yang pintunya masih tertut
Selina mendekat pada Dokter Fredy dan bergelayut mesra di tangannya."Jangan kau terlalu percaya diri bahwa Eric akan menyesali jika menceraikanmu, Rena," ujar Selina."Jawab pertanyaanku, Bang. Apa kau tidak akan menyesalinya? Apa kau tidak akan memintaku kembali?" tantang Rena."Jika kau jawab tidak, maka aku akan menerimanya. Hari ini juga aku akan keluar dari rumah ini tanpa kau minta."Dokter Fredy mengangguk."Ya, aku tidak akan pernah memintamu kembali. Aku memintamu untuk menerima perceraian ini," ucap Dokter Fredy lirih. Rena mengangguk pelan."Baik, aku akan pergi. Tapi ingat, kepergianku tidak akan pernah kembali. Camkan itu!" ucap Rena tegas. Dia berbalik dan melangkah ke kamarnya.Dia membereskan semua barang yang telah dikeluarkan oleh Dokter Fredy dari kamarnya. Rena meraih tas besar dan mengisi dengan barang-barangnya.Selina tersenyum penuh kemenangan sambil memeluk mesra lelakinya. Dokter Fredy membalas pelukan itu dengan lebih erat.Tak lama, Rena keluar dari kamarn
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli