Sebelum pulang ke rumah, Dokter Fredy menyempatkan diri mampir ke apartemen Selina. Setelah sebelumnya wanita itu menangis dan merengek di telepon mengabarkan kejadian tadi sore dengan Rena. Selina mengadu telah ditampar dan dipermalukan di depan umum.Saat sampai di apartemen Selina, wanita itu menghambur dengan manja ke arah Dokter Fredy. Lelaki itu membelai punggung Selina pelan, untuk menenangkan."Kau tau, Eric? Tadi aku hanya mengatakan padanya agar dia tidak mempersulit hubungan kita. Aku mohon padanya agar mau segera bercerai darimu, tapi ... tapi ... dia malah menampar dan menyiramku dengan minuman," ujar Selina diselingi tangis."Kenapa kau menemui dia segala, sih?" ucap Dokter Fredy, lirih, seraya mengelus punggung wanita dalam pelukannya."Aku hanya ingin dia mengerti bahwa kita saling mencintai." Selina merengek manja."Ya, sudah. Kamu tidak perlu lagi menemuinya, biar semua aku yang selesaikan," bujuk Dokter Fredy. Selina mengangguk. Jari-jarinya mulai menari nakal di d
Hari itu. Pagi-pagi setelah salat dan ngaji, Rena sudah bersiap menyiram bunga di halaman. Koleksi anggrek suaminya sudah hampir seminggu tidak disiram.Walaupun kepalanya sedikit pusing karena semalam terlalu lama menangis hingga jatuh tertidur, Rena memaksakan diri merawat tanaman kesayangan sang suami. Walaupun hatinya sakit dengan sang pemilik tanaman dan juga pemilik hatinya, Rena tetap merasa bertanggung jawab atas bunga-bunga itu.Biasanya, setiap sore, dua hari sekali dia dan suaminya merawat tanaman itu bersama. Membuang bagian-bagian yang sudah mati dan memberi pupuk pada tiap pot itu. Namun, kini suasana itu tak ada lagi. Sang suami lebih memilih mampir ke tempat selingkuhannya daripada mengurus tanaman yang sudah sejak lama dirawatnya.Rena tertegun saat mau melangkah mengambil selang air. Dia melihat sepatu wanita di samping pintu. Sebuah high heels, barang yang jelas bukan miliknya. Rena melirik ke dalam rumah. Menatap sekilas ke kamar suaminya yang pintunya masih tertut
Selina mendekat pada Dokter Fredy dan bergelayut mesra di tangannya."Jangan kau terlalu percaya diri bahwa Eric akan menyesali jika menceraikanmu, Rena," ujar Selina."Jawab pertanyaanku, Bang. Apa kau tidak akan menyesalinya? Apa kau tidak akan memintaku kembali?" tantang Rena."Jika kau jawab tidak, maka aku akan menerimanya. Hari ini juga aku akan keluar dari rumah ini tanpa kau minta."Dokter Fredy mengangguk."Ya, aku tidak akan pernah memintamu kembali. Aku memintamu untuk menerima perceraian ini," ucap Dokter Fredy lirih. Rena mengangguk pelan."Baik, aku akan pergi. Tapi ingat, kepergianku tidak akan pernah kembali. Camkan itu!" ucap Rena tegas. Dia berbalik dan melangkah ke kamarnya.Dia membereskan semua barang yang telah dikeluarkan oleh Dokter Fredy dari kamarnya. Rena meraih tas besar dan mengisi dengan barang-barangnya.Selina tersenyum penuh kemenangan sambil memeluk mesra lelakinya. Dokter Fredy membalas pelukan itu dengan lebih erat.Tak lama, Rena keluar dari kamarn
Rena berencana mencari kerja untuk menghidupi dirinya di kemudian hari. Dia sudah tidak mau lagi mengandalkan uang pemberian dari sang suami. Rena betul-betul ingin lepas dari masa lalu bersama lelaki itu.Pagi-pagi Rena sudah bersiap untuk berangkat mencari pekerjaan. Pekerjaan apapun akan dia terima, asalkan halal. Dia tidak malu jika seandainya harus kembali menjadi tukang setrika seperti dulu. Yang penting dia bisa bebas dari Dokter Fredy.Hanya dengan stelan celana jeans dan kaos, juga make up yang minimalis, tapi Rena tampil cantik sekali.Setelah mengunci kamar kontrakkannya, Rena bergegas hendak menuju jalan raya. Namun, baru beberapa langkah, dirinya melihat seseorang yang begitu dihapalnya. Orang itu pun tampak kaget saat melihat keberadaan Rena di sana."Mbak Dewi?""Rena? Kenapa ada di sini?" tanya Dewi heran.Rena pun akhirnya menceritakan masalah hidupnya pada Dewi. Tentang kehadiran Selina, tentang perubahan suaminya, juga tentang rencana gugatan cerai yang akan dilaya
Rena celingak-celinguk saat sudah sampai di lantai dua mal yang disebutkan oleh Dewi tadi. Ternyata toko itu merupakan sebuah butik dengan koleksi baju dengan merek ternama. Ada juga koleksi lingerie di deretan sebelah kanan. Rena sempat teringat dengan kejadian terakhir kali. Saat dirinya ditinggalkan setelah membeli beberapa lingerie."Mbak cari apa?" tanya seorang gadis penjaga toko. Rena tersentak kaget dan kembali sadar dari lamunannya."Emh, anu ... saya cari Pak Rendy," jawab Rena gugup."Oh, mau ke Pak Rendy. Silakan ikut saya," ajak pelayan toko itu menuju ke arah meja di sebelah kasir."Pak Rendy, ada yang cari Bapak," ujar pelayan toko itu. Lelaki yang tengah serius dengan laptopnya itu menoleh. Rena mengaangguk sopan. Ternyata lelaki bernama Rendy itu masih muda. Tidak sesuai dugaannya. Awalnya Rena menyangka jika Rendy itu seumuran dengan suaminya."Silakan duduk, Mbak.Temennya Dewi ya? Siapa namanya?" tanyanya setelah mengambilkan sebuah kursi untuk Rena."Saya, Rena, Pa
Hari kelima di minggu ketiga Rena bekerja, dia kebagian jaga toko sore hingga malam. Dikarenakan tidak ada teman shif, akhirnya Rendy yang menemani sebagai penjaga kasir.Rena fokus belajar saat Rendy mengajarinya cara menjadi kasir. Rendy menyukai cara kerja Rena yang cekatan dan mudah paham dengan apa yang diajarkan. Selain itu, Rena terlihat jujur, terlebih lagi memiliki wajah yang cantik. Diam-diam Rendy menaruh rasa pada Rena."Salinan bon jangan sampai hilang untuk nanti laporan," ujar Rendy. Rena mengangguk."Mampir dulu ke sini, yuk, Sayang. Lihat! Sepertinya koleksi di toko ini bagus-bagus." Terdengar suara seseorang dari arah pintu masuk. Rendy menoleh pada sepasang pria dan wanita yang masuk ke tokonya."Ren, ada pelanggan datang. Kamu temani dulu mereka," pinta Rendy pada Rena. Rena pun menoleh pada pasangan yang baru datang. Matanya terbelalak saat dia melihat siapa yang datang. Orang yang begitu ingin dihindarinya."Kok, diem, Ren?" tegur Rendy. Rena tersadar dari rasa k
"Ayo! Kok kamu malah melamun. Mau tidur di sini?" goda Rendy. Rena kembali sadar dan menggeleng pelan.**"Kamu lapar, gak, Ren? Kita makan dulu, yuk!" ajak Rendy saat sudah di dalam mobil. Rena menoleh pada lelaki di belakang kemudi."Saya tidak lapar, Pak. Terima kasih," jawab Rena."Apa kamu keberatan jika menemani saya makan dulu? Saya lapar sekali." Rendy beralasan, karena sebenarnya dia menyadari jika suasana hati Rena sedang tidak baik. Dia ingin sedikit menghiburnya."Ah, tidak, Pak. Silakan saja jika Bapak mau makan dulu," jawab Rena. Rendy tersenyum bahagia, karena wanita di sebelahnya menerima tawarannya.Akhirnya Rendy memilih sebuah restoran khas sunda. Dia sengaja memesan banyak makanan untuk Rena.Sesaat setelah menikmati makanan di depannya, Rendi melirik pada Rena yang hanya memainkan sendok di piringnya. Nafsu makannya hilang seketika, saat melihat gadis di depannya malah melamun."Ren....""Eh, iya, Pak?" Rena tampak kaget dengan teguran Rendy."Boleh saya tanya ses
Dia berjalan terseok ke arah pintu dan segera membukanya. Matanya terperangah saat melihat orang yang berada di balik pintu."Bapak? Maaf, sepertinya hari ini saya tidak bisa masuk. Mungkin pesan saya tidak sampai," ucap Rena parau. Tubuhnya limbung, untung saja dengan sigap Rendy menahan tubuh kurus itu."Ayo kita ke dokter," ujar Rendy. Rena menggeleng. "Tidak usah, Pak. Nanti juga baikan.""Kamu ngeyel, ya. Kondisi sudah begini masih saja bandel. Ayo saya antar kamu ke dokter."Akhirnya Rena pun menurut. Dia memang sudah merasa tidak kuat, tapi rasa canggung terhadap atasannya itu membuatnya malu.Rena berjalan dipapah oleh Rendy menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Untung saja jaraknya tidak jauh.Rendy segera membawa pegawainya itu ke klinik terdekat. Sebuah klinik kecil. Namun terlihat nyaman. Beberapa pasien terlihat sedang mengantri. Rendy segera mendaftar, sementara Rena duduk di kursi penunggu. Beberapa saat kemudian nama Rena dipanggil. Rendy dengan hati-hati mem
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli