Dia berjalan terseok ke arah pintu dan segera membukanya. Matanya terperangah saat melihat orang yang berada di balik pintu."Bapak? Maaf, sepertinya hari ini saya tidak bisa masuk. Mungkin pesan saya tidak sampai," ucap Rena parau. Tubuhnya limbung, untung saja dengan sigap Rendy menahan tubuh kurus itu."Ayo kita ke dokter," ujar Rendy. Rena menggeleng. "Tidak usah, Pak. Nanti juga baikan.""Kamu ngeyel, ya. Kondisi sudah begini masih saja bandel. Ayo saya antar kamu ke dokter."Akhirnya Rena pun menurut. Dia memang sudah merasa tidak kuat, tapi rasa canggung terhadap atasannya itu membuatnya malu.Rena berjalan dipapah oleh Rendy menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Untung saja jaraknya tidak jauh.Rendy segera membawa pegawainya itu ke klinik terdekat. Sebuah klinik kecil. Namun terlihat nyaman. Beberapa pasien terlihat sedang mengantri. Rendy segera mendaftar, sementara Rena duduk di kursi penunggu. Beberapa saat kemudian nama Rena dipanggil. Rendy dengan hati-hati mem
Dua bulan berlalu, Rena mengalami morning sickness yang cukup berat. Rendy dan Dewi membantunya melewati masa-masa terberat dalam kehidupan Rena. Kondisi tubuh yang ringkih, tanpa seorang suami. Beruntung ada Rendy juga Dewi yang mau menyiapkan segala kebutuhan Rena.Sekilas Dewi bisa melihat sikap Rendy yang begitu perhatian pada Rena. Dia bisa menyimpulkan jika lelaki itu menaruh rasa pada Rena. Rendy memang orang yang baik, tetapi sebuah rasa memang sulit untuk disembunyikan. Terlebih, baik pada seorang wanita yang sedang hamil yang bukan anaknya."Ren, kamu gak papa ninggalin toko?" tanya Dewi pada Rendy di suatu sore."Nggak, kok. Kan di toko masih ada yang jaga. kasian Rena, dia hidup sendiri. Aku tidak mau sampai dia merasa ingin membunuh janinnya lagi," ungkap Rendy."Apa? Dia mau menggugurkan janinnya?" Dewi tersentak kaget, saat mendengar penuturan dari Rendy."Iya. Dia sempat berpikir begitu. Aku bisa mengerti kondisinya. Karena itu, aku menawarkan pada dia untuk menikah de
"Tidak usah memikirkan pendapat orang lain, Rena. Yang menjalani hidup itu, kan, kita. Kalau boleh saya minta, panggil saja saya Mas," pinta Rendy dengan wajah memerah. Rena bisa melihat itu. Dia sungguh merasa tidak enak dengan semua kebaikan Rendy. Namun, jauh di dasar hatinya, dia masih belum bisa melupakan mantan suaminya.Pandangan Rena tersentak, saat melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang juga memasuki area parkir. Rena hendak bersembunyi, tapi wanita di seberang sana sudah keburu melihatnya. Selina melangkah mendekat pada Rena."Hai, Rena, apakabar?" ucapnya berbasa-basi. "Wah ... wah ... sepertinya kamu sedang hamil?" tanyanya seraya menatap bergantian pada Rena dan Rendy."Perasaan kamu baru saja cerai dari Eric, tapi kehamilanmu sudah sebesar ini. Apa jangan-jangan kamu jual diri lagi?" telisik Selina dengan tatapan mengejek. Rena melengos."Rena?" sapa Dokter Fredy yang ternyata mengekori Selina. Sekilas dia pun menatap heran pada perut Rena yang hanya berbalut dres
Kehamilan Rena kini sudah menginjak bulan kedelapan. Dia mulai kesusahan bergerak. Rendy sudah tidak mengizinkan lagi Rena untuk bekerja. Bahkan dengan tulus dia membelikan segala perlengkapan bayi yang belum ada.Setiap pagi Rendy sengaja mampir ke kontrakan Rena hanya untuk mengantarkan makanan. Walau Rena sudah sering menolaknya, tetapi Rendy tetap bersikukuh.Di dalam hatinya, Rena merasa tidak nyaman dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh Rendy. Terlebih lagi, laki-laki itu sudah berulang kali melamarnya. Namun, dengan berat hati Rena menolaknya dengan halus. Dia masih merasa trauma dengan segala hal tentang cinta.Walaupun Rena seringkali menunjukkan penolakan, tetapi Rendy tidak patah arang. Dia berpikir, jika wanita itu akan luluh seiring berjalannya waktu. Dia percaya, jika setiap kebaikannya itu akan meninggalkan kesan baik dalam hati Rena.Kehamilan Rena tampak sehat. Hampir setiap minggu Dewi memeriksa kondisi kehamilan Rena. Memberikannya vitamin dan juga dukungan moril.S
Selama tinggal di kediaman Bu Wulan, Rena diperlakukan dengan baik sekali. Bu Wulan menyiapkan sebuh kamar yang cukup besar untuk Rena juga calon bayinya. Peralatan bayi juga sudah dipersiapkan dengan lengkap, ditambah lagi dengan perlengkapan yang dibelikan oleh Rendy.Rena sengaja tidak menanyakan jenis kelamin, setiap dia memeriksa kandungannya. Biar menjadi kejutan pada saatnya nanti.“Mau laki-laki atau perempuan, sama saja. Aku udah kebelet nimang cucu,” ujar Bu Wulan saat mengantar Rena ke dokter kandungan.“Bapakmu itu, dokter kandungan, tapi dia sama sekali tidak pernah merawatmu. Biar oma saja yang merawatmu.” Bu Wulan mengelus perut Rena yang sudah membuncit. Melihat itu, hati Rena benar-benar tersentuh. Walapun dicampakkan oleh sang suami, tetapi masih banyak orang yang menyayanginya. Matanya mulai berembun.“Terima kasih, Ibu,” ucap Rena lirih. Bu Wulan menoleh.“Lha, kamu ini tidak perlu berterima kasih. Aku seharusnya yang minta maaf karena kelakuan anakku itu, kamu dan
Di sebuah hotel mewah di hari yang sama, Dokter Fredy dan Selina pun sedang berbahagia. Mereka melakukan akad nikah dengan meriah. Dilanjutkan dengan resepsi yang tak kalah mewah.Di atas pelaminan dengan aneka bunga hidup. Dokter Fredy tampak gagah dengan tuksedo abu-abu dan kemeja putih. Tak kalah dari suaminya, Selina pun tampil cantik dengan gaun pengantin putih bak puteri raja. Rambutnya disanggul dengan riasan minimalis, tetapi dia tampak memukau. Pada dasarnya Selina memang sangat cantik.Deretan tamu undangan datang silih berganti. Menikmati jamuan dengan aneka hidangan lezat.Panggilan alam, memaksa Dokter Fredy untuk bernjak sebentar dari kursi pelaminan dan pergi ke toilet. Saat memasuki gang menuju ke sana, sebuah tangan menjegalnya.“Hai, Fredy. Kamu nikah gak undang-undang aku,” ucapnya dengan nada manja. Dokter Fredy tersentak kaget saat melihat kehadiran orang yang tidak diduganya.“Amy? Ngapain kamu di sini?” tanyanya ketus.“Aku di sini mau melihat mantan suamiku men
Selina keluar dari kamar mandi dengan menggunakan lingerie yang sangat menggoda. Warna merah menyala begitu kontras saat menempel di kulitnya yang putih mulus. Dia memandangi punggung suaminya yang berdiri di balkon. Dia menghampirinya perlahan, lalu memeluknya dari belakang.“Sayang,” ucapnya lirih.“Aku bahagia karena kini kita sudah bersama. Tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita,” lanjutnya dengan wajah menempel di punggung suaminya. Dokter Fredy bergeming. Malam ini bukanlah malam pertama bagi mereka. Telah mereka lalui puluhan malam dalam jurang perzinahan. Dan kini, saat mereka telah resmi menjadi suami istri, Dokter Fredy malah merasa jijik.Jijik saat membayangan para lelaki itu menikmati tubuh indah Selina. Jijik dengan semua kebohongan yang dibuatnya. Membuat cerita rekayasa seolah dia trauma karena diperkosa. Padahal, dia menikmati bergelimangan harta dari para lelaki durjana.Perlahan Dokter Fredy melepaskan tangan Selina dari perutnya. Tanpa memandangnya Dokter Fredy k
Sehari di rumah sakit, Rena sudah diperbolehkan pulang, karena kondisi Rena dan bayinya memang sehat.Bu Wulan, Rendy dan Dewi sudah siap mengantar kepulangan Rena ke rumah sang mantan mertua.Segala administrasi sudah diselesaikan oleh Bu Wulan. Dia terlihat sudah tidak sabar untuk menggendong sang cucu tercinta."Dewi, bisa minta tolong bantu Rena dorong kursi roda, ya," pinta Bu Wulan.Namun, malah Rendy yang dengan sigap segera mendekat ke arah wanita yang baru melahirkan itu."Duh ... duh ... Rendy, kamu semangat amat," goda Dewi. Yang digoda tampak tersenyum malu-malu."Sama, Mbak Dewi aja, Pak," tolak Rena."Emangnya kalau sama saya, kenapa?" tanya Rendy."Gak apa-apa, Pak. Cuman saya ... merasa gak enak saja," jawab Rena. Rendy sepertinya paham. Dia segera menggeser posisinya dan membiarkan Dewi untuk membantu Rena berjalan ke arah kursi roda."Hati-hati, Ren. Ayo, pegangan sama saya," ujar Dewi sambil meraih punggung Rena."Mbak, ini jahitannya gak akan apa-apa, kan?" tanya Re
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli