Rena menyisir rambut panjangnya sehabis mandi. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Rena tampak cantik walau hanya mengenakan baju sederhana. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuannya.
Sejenak Rena menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut dan entah rasa apalagi.
Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Rena dari lamunan. segera diangkatnya.
"Hallo." Suara bariton itu begitu sering mengusiknya akhir-akhir ini. Walau malas dia terima juga. Takut jika ada hal penting yang akan disampaikan lelaki itu.
"Hallo?" Kembali suara itu terdengar lagi karena tak didapat jawaban. Wajah Rena terlihat malas menjawab.
"Iya," jawab Rena singkat.
"Aku jemput hari ini jam 7, bersiaplah!" pinta lelaki itu.
"Untuk apa? Aku lagi malas bepergian." Rena menjawab dengan enggan.
Terdengar hembusan napas kasar dari sebrang sana.
"Aku ingin membelikanmu baju untuk pernikahan kita nanti," jawabnya tenang.
"Apa harus?" tanya Rena ketus.
"Baiklah kalau kamu tidak bersedia. Lupakanlah!" jawab Dokter Fredy berusaha tetap tenang. Rena tersentak. Entah mengapa ada rasa sesal menyelusup.
"Bukan begitu. Oke, tapi sebentar saja!" jawab Rena akhirnya.
.
Tepat jam 7, mobil Dokter Fredy sudah terparkir di depan gang. Rena segera menghampiri. Seperti biasa Dokter Fredy membukakannya pintu dan menutupnya setelah Rena duduk dengan nyaman.
Rena terdiam selama perjalanan. Tak ada percakapan di antara mereka. Gadis bermata lentik itu hanya melihat pemandangan sepanjang jalan dari kaca jendela. Dokter Fredy sesekali meliriknya.
"Kamu mau kuliah jurusan apa nanti?" tanya Dokter Fredy memecah keheningan.
"Eh?" Rena menoleh. Dokter Fredy menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.
"Kamu minat di bidang apa? Kamu bisa konsultasikan dulu denganku," lanjut lelaki bertinggi badan 180 sentimeter itu. Rena menggeleng pelan.
"Atau mau aku pilihkan?" tanyanya lagi. Rena menoleh cepat.
"Kok maksa, sih? Kalau aku tidak mau gimana?" jawab Rena ketus.
"Lalu nanti kamu mau apa di rumah? Melayani aku seharian?" goda Dokter Fredy. Mata Rena membulat, mulutnya mencebik.
"Oke, aku mau ambil jurusan Akuntansi," jawab Rena cepat. Dokter Fredy manggut-manggut sambil terkekeh.
"Rena ... Rena .... Aku hanya becanda. Aku tidak mau kalau nanti kamu kesepian di rumah jika aku sedang praktek di rumah sakit."
"Memangnya di rumahmu tidak ada siapa-siapa? Istri? Anak?" tanya Rena menatap lelaki di sebelahnya. Dokter Fredy tertawa mendengar pertanyaan itu.
"Aku senang kamu mulai mau bertanya," ucapnya seraya menoleh. Pandangan mereka bertemu. Rena melengos gugup.
"Aku tinggal di rumah sendirian, hanya adikku yang tinggal di kota ini, dia kadang datang, tapi jarang. Seorang pembantu setiap hari datang untuk membersihkan rumah, siang juga sudah pulang lagi."
"Aku pernah menikah, tapi sudah lama bercerai." Ucapannya terhenti. Dokter Fredy terlihat jengah. Menyisakan sebuah tanda tanya besar di benak Rena.
"Ah, kita sudah sampai. Di sini selain bisa memesan, katanya banyak baju yang sudah siap pakai. Kau boleh memilih sesukamu," ucap Dokter Fredy seraya memarkir mobilnya di depan sebuah butik gaun pengantin. Dia turun lalu membukakan pintu untuk Rena. Sekilas gadis itu mencuri pandang lalu cepat membuang muka.
Seorang pelayan toko membukakan pintu mempersilakan mereka masuk. Dokter Fredy tersenyum ramah. Berbeda dengan Rena yang nampak tidak senang.
Deretan patung manekin yang memakai aneka gaun juga kebaya terlihat menarik perhatian Rena. Seumur hidupnya tidak pernah melihat gaun seindah itu. Sekilas Dokter Fredy bisa melihatnya. Dia tersenyum kecil. Dokter Fredy memilih sebuah kebaya modern lalu meminta Rena untuk mencobanya. Gadis itu melengos, kemudian memilih salah satu kebaya berwarna putih tulang. Dokter Fredy menarik napas panjang menahan kecewa. 'Sabar!' bisik hatinya.
Rena masuk ke kamar pas ditemani seorang gadis pelayan butik.
"Itu calon suaminya ya Mbak? Ganteng sekali ya?" tanya pelayan itu dengan senyum merekah. Rena menoleh sekilas.
"Ganteng apanya? Udah tua juga," jawab Rena datar.
"Masa sih udah tua, Mbak? Paling juga tiga puluhan," ungkap gadis itu seraya terkekeh. Rena hanya tersenyum kecil tak mau menanggapi. Mereka mulai mencoba kebaya yang Rena pilih. Begitu pas melekat di tubuh Rena yang langsing. Gadis itu merasa terpukau dengan penampilan yang tidak biasanya.
"Cantik sekali, Mbak. Masnya pasti suka." Mendengar itu membuat Rena jadi sebal, buru-buru dia melepaskan baju itu dan segera memakai bajunya kembali.
"Nggak akan diliatin ke Masnya dulu, Mbak?" tanya pelayan itu polos. Rena menggeleng cepat. "Tidak perlu," jawabnya agak ketus. Pelayan itu sepertinya mengerti, dan segera merapikan baju yang tadi Rena coba. "Wah, cowok ganteng begitu kok dijutekin ya? Padahal aku juga mau," desis gadis pelayan butik setengah berbisik. Rena menoleh. Gadis pelayan itu pun nyengir kuda. Rena memutar bola matanya, jengah.
Mereka akhirnya kembali ke luar.
"Bagaimana? Cocok?" Dokter Fredy segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Rena. Gadis itu diam enggan menjawab.
"Cocok sekali Pak. Mbak ini cantiiikkkkkk sekali pakai bajunya." Gadis pelayan itu berceloteh sedikit lebay. Dokter Fredy tertawa melihatnya.
"Ok, tolong dibungkus. Komplit dengan bawahannya!. Sekalian dengan yang tadi," pinta Dokter Fredy seraya memberikan sebuah kartu debit. Pelayan itu mengangguk. Rena menoleh, tapi lelaki berkemeja biru tua itu pura-pura tak melihat.
Tak berselang lama, gadis pelayan itu kembali dengan dua tas kertas ukuran besar. Dokter Fredy menerimanya, lalu mengajak Rena pulang.
"Kamu lapar?" tanya Dokter Fredy setelah berada di mobil. Rena menggeleng.
"Aku hanya ingin pulang, kasian adikku sendirian di rumah," jawab Rena. Dokter Fredy segera menginjak pedal gas tak ingin berdebat lagi dengan gadis di sampingnya.
"Kenapa kau membeli dua kebaya?" tanya Rena di tengah perjalanan. Dokter Fredy bergeming. Rena menatap lelaki di sampingnya, menanti jawaban. Merasa di perhatikan, Dokter Fredy menoleh sekilas.
"Aku suka. Kenapa? Tidak boleh?!" Dokter Fredy balik bertanya. Rena membuang napas kasar.
"Sepertinya kau selalu menggunakan uangmu untuk membeli segala sesuatu yang kau suka," sindir Rena. Dahi lelaki itu berkerut tak mengerti.
"Maksudnya?"
"Iya, kau selalu menggunakan uangmu untuk membeli sesuatu yang kau suka, dan memaksakannya pada orang lain. Seperti padaku saat itu. Kau membeli tubuhku, saat aku tidak punya pilihan lain saat itu," ucap Rena ketus.
Dokter Fredy menginjak rem secara mendadak, untung saja posisi mobilnya berada di kiri jalanan agak lengang.
"Sudah cukup! Jika kau tidak mau memakainya aku pun tidak memaksa. Mungkin suatu saat nanti aku bisa memberikannya pada putriku," jawab Dokter Fredy menahan emosi. Tangannya mencengkram handle setir mobilnya erat.
Rena menoleh. "Putrimu dari siapa? Aku? Heh, jangan mimpi!" cibir Rena.
Dokter Fredy tak ingin melanjutkan perdebatannya. Dia segera menginjak pedal gas dengan emosi. Hanya perlu setengah jam mereka pun sampai di depan gang menuju rumah Rena. Dokter Fredy segera turun untuk membukakan pintu bagi Rena, tapi gadis itu sudah turun duluan sebelum Dokter Fredy sampai.
Rena melenggang pergi tanpa berpamitan. Meninggalkan lelaki itu yang masih bergeming, memejamkan matanya lalu menarik napas panjang.
'Ini baru permulaan Dokter sialan!' bisik hati Rena.
"Bayu," panggil Rena ragu. Bocah yang sedang asyik membaca itu pun menoleh."Ya, Mbak?" jawabnya penasaran. Mata mereka bertemu."Mmh, Mbak mau menikah sebentar lagi," ucapnya lirih. Mata Bayu membulat."Menikah? Dengan siapa, Mbak? Kok aku nggak tau?" cerocos Bayu seraya mendekati kakaknya. Rena tersenyum tipis."Ada, nanti juga kamu tau. Tapi ...." Ucapan Rena terhenti. Dia terlihat ragu. "Kamu jangan bilang siapa-siapa ya, janji!" pinta Rena. Bayu mengangguk pasti."Nanti kita akan pindah dari sini. Kamu nanti pindah sekolah dan tinggal di asrama, sedangkan mbak ... nanti ikut suami." Rena memandang wajah adiknya lekat."Jadi kita nggak tinggal bersama, Mbak?" Wajah Bayu nampak kecewa. Rena menggeleng pelan. "Nanti, mbak akan jenguk kamu ke sana sering-sering, deh," bujuk Rena menghilangkan sedikit kekhawatiran di hati bocah sembilan tahun itu. Bayu mengangguk pasrah."Jadi kapan Mbak menikah?" Terdengar suara Bayu yang mulai ceria kembali. Rena tersenyum manis."Beberapa hari lagi
Dokter Fredy ternyata menyewa sebuah vila untuk acara pernikahannya. Vila dengan pemandangan sawah juga hutan yang asri begitu indah dipandang mata. Suara gemericik sungai menambah indah suasana. Sekilas sangat cocok untuk yang sedang berbulan madu. Sebuah taman disulap menjadi begitu indah dengan tenda yang dibentuk sedemikian rupa. Aneka makanan terhidang menggugah selera. Padahal tamu yabg hadir tidak sampai dua puluh orang. Rena datang beserta adiknya, dan Kiai Ahmad--guru ngaji Bayu--juga Kang Hafidz putra beliau yang Rena minta menjadi saksi pernikahannya. Tidak ada orang lain yang diundang. Terlebih karena lokasi pernikahan diadakan jauh di luar kota. Sedangkan dari pihak Dokter Fredy, nampak beberapa sahabat dekatnya saja yang hadir. Tidak ada satu pun keluarganya yang diberi tahu, sesuai permintaan Rena, jika mereka ingin menyembunyikan pernikahan itu. Entah sampai kapan. Dua orang dari kantor urusan agama sebagai pencatat pernikahan juga yang diminta sebagai wali hakim
"Dia sementara tinggal di sini, sampai nemuin tempat kost yang cocok," lanjut Fredy tegas. Dewi akhirnya mengangguk, tangannya menyuap sepotong sushi dengan sumpit kayu."Saya punya rekomendasi tempat kost yang bagus lho, Dok. Harganya emang agak mahal dikit, sih, tapi ... fasilitasnya oke banget. Kayanya cocok deh buat dia." Ucapan Dewi menghentikan jemari Dokter Fredy yang sedang fokus mengetik. "Ah, gak usah, Dew. Biar Rena di sini aja dulu. Emh, lagian orang tuanya udah nitipin dia sama saya. Biar Rena aja nanti yang mutusin mau kost di mana." Dokter Fredy terlihat gelagapan kembali. Suara bell dari ruang klinik menyelamatkan kegugupan Dokter Fredy. Dewi segera beranjak untuk membuka pintu. *** Rena selesai privat menjelang Magrib. Dia segera turun dari lantai dua. Saat keluar gedung, ternyata hujan mulai turun. Sayang, Rena lupa membawa payung. "Ah, sial. Aku harus nunggu hujan berenti," gumamnya, lalu duduk di kursi yang ada di depan gedung. Rena berniat menghubungi suamin
Rena segera mengendalikan dirinya. Dia tidak ingin terlihat cemburu di hadapan suaminya itu."Dianter sama Bang Arya," jawab Rena sambil berlalu. Sengaja dia menekankan nama "Bang Arya" dengan keras."Makan dulu, sini! Mumpung ada Dewi jug--""Gak laper!" potong Rena tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dewi terlihat heran melihat sikap Rena. Dia buru-buru menyelesaikan makan malamnya karena takut keburu hujan lagi."Saya pamit dulu ya, Dok. Terima kasih untuk makan malamnya," ujar Dewi dan meraih piringnya yang telah kosong lalu membawanya ke tempat cuci piring. Dia segera mencucinya lalu berpamitan sekali lagi. Dokter Fredy hanya mengangguk.Setelah kepergian Dewi, Dokter Fredy bangkit dan beranjak menuju kamar Rena. Mengetuk pintunya perlahan."Ren ... Rena, makan dulu," pinta Dokter Fredy halus. Namun, tak ada jawaban."Rena, tolong buka dulu pintunya." Suara lelaki itu agak meninggi. Walau malas, akhirnya Rena membuka pintu itu setengah."Ada apa? Aku cape, mau istirahat,"
"Mau kuanter gak, Ren?" tanya Dokter Fredy yang sedang duduk di ruang tengah. Rena menggeleng pelan."Gak usah. Kalau aku diantar jemput, nanti pada curiga," tolak Rena, kemudian berlalu dari hadapan suaminya. Dokter Fredy menghela napas kasar. 'Diantar orang lain mau, tapi sama suami sendiri gak mau,' pikirnya.Baru saja Rena keluar dan menutup pintu, sudah bertemu dengan perempuan yang semalam mengirim pesan padanya."Hai, Ren! Berangkat kursus ya?" sapa Dewi ramah seraya menaruh helmnya di kaca spion. Dia turun dari motornya lalu menghampiri Rena yang sedang memasukan kakinya ke sepatu. Rena menoleh sekilas."Eh iya, Mbak. Langsung masuk aja, Pak Dokter ada di dalam kok," jawab Rena. Dewi makin mendekat."Ren, sini deh. Mbak mau minta tolong. Bisa gak nanti kamu tanyain sama Dokter Fredy, dia lagi pengen apa saat ini?" Wajah Dewi nampak memelas. Kening Rena mengernyit."Maksudnya gimana, Mbak?" tanya Rena memastikan."Emh, Mbak mau ngasih hadiah buat Dokter Fredy, tapi ... setiap h
Pertanyaan yang membuat Rena tersentak."Eh, ng-nggak kok. Saya gak punya pacar. Apaan sih Pak Arya?!" Rena terlihat gugup. Arya terlihat manggut-manggut. Sebuah senyum tersungging di bibirnya."Oh ya, Ren, lusa aku ulang tahun. Aku mau ngadain syukuran di rumah. Kamu bisa dateng?" Sebuah undangan yang mencengangkan. Tanggal yang sama dengan suaminya, tapi sepertinya tidak ada acara apa-apa untuk memperingatinya."Eh, i-iya. Insya Allah saya datang. Jam berapa?""Malem sih ... abis Isya. Mau aku jemput?" tanya Arya lagi. Rena menggeleng cepat."Nggak usah, Pak. Saya minta alamatnya aja," jawab Rena. Arya mengangguk."Ok, nanti aku kirim alamatnya. Ayo kuantar pulang!"***Pasien terakhir terlihat keluar dari klinik Dokter Fredy. Dewi pun tampak segera bersiap untuk pulang saat Rena sampai di depan gerbang. Terlihat juga Arya yang melambaikan tangannya sebelum berlalu."Hai, Ren, jangan lupa yang aku minta tadi ya!" bisik Dewi seraya menuntun motornya ke luar. Rena balas dengan senyu
Hari ini Dewi begitu bersemangat. Sebelum berangkat kerja dia sempatkan dulu singgah ke mal untuk mencari hadiah.Dewi menyusuri area khusus laki-laki. Dia mengendap-ngendap seperti maling yang takut ketahuan. Menatap jejeran kotak-kotak kecil dengan gambar laki-laki berotot yang hampir telanjang. Mata Dewi memindai satu demi satu merek, model juga ukuran."Dia suka pakai merek apa ya? Terus ukurannya apa?" gumamnya pada diri sendiri."Kira-kira si Rena tau gak ya?" Dewi berpikir sejenak lalu dia ambil ponsel di sakunya. Dicarinya kontak Rena.[Ren, kamu tau gak Dokter Fredy suka pake merek apa? Ukurannya apa?] tanya Dewi di aplikasi chat. Tak lama dia mendapat balasan.[Wah, mana saya tau, Mbak. Lihat aja belum pernah.] (Bohong banget 'kan Rena?! Padahal sudah pernah merasakan. Author ngakak sendiri.)[Hmm, ya udah deh. Thank you ya, Ren. Sorry ganggu.][Iya, Mbak. gak papa,] balas Rena.Dewi menekuri sebuah kotak di tangannya. Gambar laki-laki dengan roti sobek di perutnya membuat D
Namun, harapan tinggal harapan saat tak dilihatnya sosok yang ditunggu."Saya sendirian, Dok." Dewi tersenyum manis."Oh iya, silakan kamu duduk di mana pun kamu mau. Ambil makanan sepuasnya." Dokter Fredy berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Dewi mengangguk kemudian berlalu ke meja di mana teman-temannya berkumpul. Ada beberapa orang bidan juga suster yang turut diundang.Sebuah langkah dengan high heels terdengar menggema. Semua sorot mata langsung tertuju pada sosok tinggi langsing dengan pakaian glamour yang baru saja memasuki restoran, lalu menghampiri meja di mana Dokter Fredy duduk. Lelaki itu terperangah kaget demi melihat pemandangan di depannya."Selamat malam semua. Maaf aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada mantan suamiku ini," ucapnya dengan lemah gemulai. Dokter Fredy terlihat jengah. Berulang kali dia membuang muka. Jika saja tak ingat banyak orang, sudah pasti diusirnya wanita itu. Lelaki itu berdiri lalu memberi tanda pada sang wanita agar men
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun
Malam itu Rena tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus saja memikirkan perkataan Bu Wulan. Dia kembali membayangkan, saat Dokter Fredy masih menjadi suaminya dan Rena sering kali menyakitinya. Namun, dengan kebesaran hatinya, lelaki itu selalu memaafkannya.Rena akui, dia begitu mencintai lelaki itu. Lelaki pertama yang menyentuhnya. Lelaki pertama yang memberinya harapan juga cinta. Haruskah dia melepaskannya begitu saja, hanya demi mempertahankan ego semata?Malam itu rena menangis dalam sujudnya, meminta petunjuk pada Sang Maha Pengasih untuk diberikan jalan terbaik untuknya juga mantan suaminya. Tak terasa dia jatuh terlelap. Dia mimpi berjalan-jalan dengan Dokter Fredy juga Raffa. Dalam mimpi itu Rena sedang duduk di sebuah kursi, dengan Raffa dalam gendongannya. Entah kenapa tiba-tiba ada sesosok penjahat yang datang membawa golok dan mengejar mereka. Rena segera bangkit berlari membawa Raffa. Sedangkan Dokter Fredy menghadang penjahat itu dan berkelahi. Dalam pergumulan itu D
Dokter Fredy segera bangkit dan menghampiri Rena. Dia berlutut di hadapan Rena. Tangannya menggenggam jemari Rena kuat.“Abang mohon, ampuni Abang, Ren.” Kali ini lelaki itu sudah tak bisa lagi menahan air mata yang sudah hampir tumpah sedari tadi. Dokter Fredy menangis sambil memeluk lutut mantan istrinya.“Berikan aku waktu untuk berpikir,”ucap Rena lirih.Dokter Fredy mendongak bahagia. Bagaikan ada hawa angin segar saat Rena mengucapkan itu. Sepertinya hati mantan istrinya itu sudah mulai luluh.“Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Sampai kapan pun,” lirih lelaki berkaos putih itu.Sepasang mata tua melihat diam-diam dari balik gorden pintu yang menuju ke ruang makan. Dia menyeka air mata yang mengalir tanpa bisa ditahan.“Semoga Tuhan menyatukan kembali cinta kalian, Nak.” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya.*Selina dan Andrew berjalan-jalan di sebuah mal. Mereka sengaja melakukan perjalanan agak jauh agar tidak ada yang mengenali.Tante yang 'merawat' Andrew, adalah seorang
Setahun berlalu, Rena masih saja menutup diri dari mantan suaminya. Walaupun Dokter Fredy berusaha semaksimal mungkin agar bisa bersama dengan sang anak—Raffa—tetapi semua itu belum bisa membuat hati Rena mencair. Dia tetap bersikap dingin.Setiap kali libur, Dokter Fredy selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Raffa di rumah ibunya. Jarak yang jauh tak menyurutkn niatnya untuk menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia telah abai di saat Raffa masih dalam kandungan, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan putera semata wayangnya itu. Terlebih semakin besar, anak itu semakin mirip dirinya.Hari Minggu, Dokter Fredy hendak mengajak puteranya berjalan-jalan. Dari pagi dia sudah meluncur ke rumah ibunya. Sesampainya di sana dilihatnya Raffa sedang belajar berjalan di teras depan. Dengan langkah yang masih terseok, Raffa melangkah dari sang ibu menuju omanya. Setelah berhasil mencapai omanya, Raffa tertawa renyah. Dokter Fredy memperhatian dari pintu gerbang. Terli