Tak! Laila menyimpan makanan yang baru saja ia masak. Menyimpannya tepat di meja makan depan Arya. Suara hentakkan nya terdengar hingga membuat Arya langsung menatap sang pelaku. "Mas, kamu jangan duduk di situ!" ujar Laila saat melihat Arya duduk manis di tempat yang tidak seharusnya. Itu mengapa ia tadi sedikit menghentakkan makanan hanya untuk mengalihkan perhatian Arya. "Terus, harus di mana?" tanya Arya dengan kening bertaut. "Di sini!" tepuk Laila pada kursi yang memang seharusnya Arya duduki. Dia menggeser kursi itu sedikit ke belakang."Aku di sini saja La, itu kan kursi punya kamu. Sudah semestinya kamu duduk di sana." Arya menolak. Duduk di kursi pimpinan kepala rumah? Bukankah bukan haknya? Lagi pula ia adalah tamu, sangat tidak punya hak untuk duduk di sana.Namun Laila adalah Laila. Dia dengan segera menarik lengan Arya dan menyeretnya menuju kursi yang dulu Bara duduki. "Aku bilang di sini! Jadi harus di sini!" perintah Laila saat mendudukan Arya di kursi tersebut.
Arya masih bergeming dengan pikirannya sampai sebuah suara ketukan terdengar di balik pintu. "Mas Arya? Kamu lagi apa Mas? Perasaan sudah satu jam lho kamu di dalam?" tanya Laila membuat Arya mendengkus. Satu jam dari mana? Sepuluh menit saja tidak. Arya menghela nafas sejenak. Tidak, itu tidak benar. Laila ... dia bukan istrinya kan? Ya, dia belum menikah! "Mas?!""Iya, Laila. Sebentar..." Arya membuka pintu, menampilkan Laila yang menatap dengan raut cemas. "Kamu tidak apa-apa, kan? Lama bener?" ujar Laila sembari menilik-nilik tubuh Arya dari atas hingga bawah. "Laila, tolong. Jangan lihat aku seperti itu, aku jadi tidak nyaman," ucap Arya dengan memohon. Tatapan Laila benar-benar membuatnya tidak nyaman. Dan tentu salah tingkah. "Ah, iya. Sekarang kita makan lagi." Dengan sigap Laila menggenggam tangan Arya yang sontak dihempaskan pelan oleh Arya. "Laila? Bukankah kita bukan mahram? Kenapa kamu sering menyentuhku tanpa alasan apapun?" Laila mendongak, menatap Arya yang nam
"Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan, Mas? Tetap di sini atau mau pulang?" tanya Laila setelah barusan mereka saling berdiskusi. "Aku ingin pulang saja.""Eum, sekalian beresin ya? Nanti kan Mas Arya bakal pindah ke sini." Dengan pede Laila berujar seperti itu, membuat Arya berdecak saja. Arya beranjak dari duduknya keluar ruangan yang diikuti Laila setelahnya. "Mas, biar Laila antar ya?" tanya Laila yang mengikuti Arya dari belakang. "Tidak usah. Aku pulang sendiri saja," sela Arya tanpa menoleh ke belakang. Di sana Laila mengerucutkan bibirnya. Merasa sebal karena Arya lagi-lagi cuek padanya. "Tidak peduli! Pokoknya aku yang bakal antar Mas pulang!" Sebelum membuka pintu Laila lebih dulu mendahului Arya yang ingin membukanya. Dia berdiri tepat di depan Arya. "Atau bisa kamu yang ngendarai mobilnya? Ya?" tanya Laila dengan memelas. Seketika Arya memalingkan wajahnya, wajah imut itu malah membuat Arya salah tingkah. "Ekhm!" Arya berdehem untuk menetralkan jantungnya, kemudian
Di dalam perjalanan Arya benar-benar tidak bisa mengontrol diri, pelukan Laila dari belakang membuatnya menjadi salah tingkah saja. Membuat fokusnya selalu teralihkan akan hal itu. "Laila?" teriak Arya karena suara mesin motor yang lebih mendominasi. Dalam remang-remang Laila mendengar Arya memanggilnya. "Iya, Mas? Kau memanggikku?" tanya Laila dengan lebih mendekatkan kepalanya di pundak Arya. Jelas, hal itu semakin membuat Arya menegang untuk kian kalinya."Laila, pegangannya dipundak saja, jangan di perut!" teriak Arya di dalam helm."Apa Mas? Peluk? Iye deh ini peluk!" jawab Laila yang malah semakin memeluk Arya. "B-bukan gitu Laila, maksudku---""Iya ih! Ini juga udah erat Mas! Kurang depan ya?" teriak Laila semakin merapatkan dirinya ke depan. "Udah, sekarang yang kencang Mas!!"Di dalam helm yang tertutup itu Arya berdecak untuk beberapa kali. Memang ya, berbicara saat di atas motor malah ngelanturr jadinya. Udah meluk erat dagunya Laila bersandar pula dipundaknya. Namun t
Laila mengerjapkan matanya saat remang-remang ia mendengar sebuah suara. Membuka mata pelan hingga cahaya masuk ke dalam retina matanya. Terdiam sejenak saat matanya menatap langit-langit atap dinding, sampai sebuah ingatan membuat Laila tersadar, "Mas Arya?!" Nafas Laila tersengal, matanya kemudian melirik untuk menatap ke sekeliling. Yang nyatanya kamar dirinya sendiri. Apa? Kamarnya sendiri? Lalu Arya? Dengan sigap Laila menyibak selimut yang membungkus tubuhnya. "Mbok? Mas Arya di mana?" teriak Laila dari atas sana, hingga sebuah seruan di bawah sana terdengar. Dia Mbok Eka. "Non? Non udah sadar?" Mbok Eka langsung berlari terbirit ke atas--di mana Laila berada. "Alhamdulillah, akhirnya Non udah bangun juga," ucap Mbok Eka saat dirinya sudah berada di depan Laila. "Mbok? Siapa yang udah bawa Laila ke sini? Terus, Mas Bara?""Den Bara sendiri yang antar Non ke sini--eh maksudnya den Arya. Dia, yang bawa Non.""Terus, Laila pingsan selama berapa hari?""3 hari, Non. Itupun N
"K-kau ... istriku?" gumam Arya pelan. "Tidak!" Sedetik kemudian kepala Arya menggeleng. Tidak, mana bisa begitu? Ia bahkan tidak ingat bahwa dirinya sudah menikah. Tatapan Arya kembali menatap ponsel Laila yang sebelumnya ia pegang. Yang kemudian ia buka namun harus memasukan pin atau sidik jari. Tidak perlu pusing untuk membuka kunci tersebut karena dengan sigap Arya menarik pelan jempol Laila sebagai sidik jari. Dan berhasil! Layar ponsel Laila terbuka dengan menampilkan wallpaper dua orang berbeda gender yang saling berpelukan. Ah tidak, di foto tersebut Laila tengah mencium pipi pria itu. Sedang yang satunya memeluk Laila dengan mata yang nampak senang. Memang nampak romantis dan sangat serasi, membuat Arya semakin dibuat penasaran akan pria tersebut. Pria yang amat mirip dengannya. Yang membuat pikiran Arya berkecamuk. Semakin penasaran. Masih dalam posisi Laila di dalam dekapannya. Dengan penasaran Arya membuka galeri di HP tersebut, dan berapa terkejutnya dia saat melihat
"Mas?" Lirih. Laila bertanya dengan begitu lirih. Sedang Arya sudah senyum-senyum setelah berhasil mencium Laila. Arya sedikit mencondongkan kepalanya di telinga kiri Laila. "Setelah membuatku merasakan apa itu ciuman pertama, kamu ingin mencampakkannya dan beralih menggoda lelaki lain, hm?" bisik Arya tepat di telinga kiri Laila. Dia membisik agar tidak terdengar oleh Asyam. Arya semakin menarik pinggang Laila agar tetap menempel padanya. "Kamu kira, selama kau menggodaku terus-menerus, aku tidak tergoda karenanya? Jelas aku pria normal Laila. Aku---pria normal!"Kini yang dibuat ketar-ketir adalah Laila. Ia menelan salivanya pelan saat bisikan itu membuatnya merinding. Mengatup bibirnya rapat-rapat. "Jadi, jangan berusaha membuat orang lain jatuh cinta dengan bersikap genit kepada mereka."Arya kemudian melepas pegangannya dan sedikit memundurkan langkah. Tersenyum manis kemudian mencubit pelan pipi Laila yang masih termenung."Ayo pulang." Arya menggenggam lengan Laila dengan le
"Zahra? Are you okay?""Zahra?""Ah, iya? Kenapa Syam?" Asyam menghela nafas pelan, melirik Zahra yang sedari tadi melamun ke luar jendela. "Are you okay?""Ya. Seperti yang kamu lihat," jawab Laila dengan fokus kembali menatap luar jendela. Sebenarnya bagaimana ia akan baik-baik saja jika hatinya masih merasakan rasa sakit itu? Bagaimana ia baik-baik saja jika pria yang dia cintai malah dengan perempuan lain? Siapa yang baik-baik saja dengan semua itu? Siapapun akan merasakan sakit bukan? Apalagi sejak awal Arya nampak sudah menerimanya sebagai istri. Tapi apa? Semua kembali dihempaskan demikian jauh oleh pria itu. Tapi, apa ia bisa marah? Tidak. Mana bisa Laila marah pada lelaki yang dia cintai. Lagipula, tanpa ingatan apapun... memang akan susah untuk mengembalikan seperti mulanya. "Kamu tidak perlu memikirkan lelaki yang telah menyakiti kamu, Zahra. Kenapa harus memikirkan hal yang jelas membuatnya semakin sakit?" Asyam kembali bersuara. Namun tidak ada respon apapun dari Lai
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,