"K-kau ... istriku?" gumam Arya pelan. "Tidak!" Sedetik kemudian kepala Arya menggeleng. Tidak, mana bisa begitu? Ia bahkan tidak ingat bahwa dirinya sudah menikah. Tatapan Arya kembali menatap ponsel Laila yang sebelumnya ia pegang. Yang kemudian ia buka namun harus memasukan pin atau sidik jari. Tidak perlu pusing untuk membuka kunci tersebut karena dengan sigap Arya menarik pelan jempol Laila sebagai sidik jari. Dan berhasil! Layar ponsel Laila terbuka dengan menampilkan wallpaper dua orang berbeda gender yang saling berpelukan. Ah tidak, di foto tersebut Laila tengah mencium pipi pria itu. Sedang yang satunya memeluk Laila dengan mata yang nampak senang. Memang nampak romantis dan sangat serasi, membuat Arya semakin dibuat penasaran akan pria tersebut. Pria yang amat mirip dengannya. Yang membuat pikiran Arya berkecamuk. Semakin penasaran. Masih dalam posisi Laila di dalam dekapannya. Dengan penasaran Arya membuka galeri di HP tersebut, dan berapa terkejutnya dia saat melihat
"Mas?" Lirih. Laila bertanya dengan begitu lirih. Sedang Arya sudah senyum-senyum setelah berhasil mencium Laila. Arya sedikit mencondongkan kepalanya di telinga kiri Laila. "Setelah membuatku merasakan apa itu ciuman pertama, kamu ingin mencampakkannya dan beralih menggoda lelaki lain, hm?" bisik Arya tepat di telinga kiri Laila. Dia membisik agar tidak terdengar oleh Asyam. Arya semakin menarik pinggang Laila agar tetap menempel padanya. "Kamu kira, selama kau menggodaku terus-menerus, aku tidak tergoda karenanya? Jelas aku pria normal Laila. Aku---pria normal!"Kini yang dibuat ketar-ketir adalah Laila. Ia menelan salivanya pelan saat bisikan itu membuatnya merinding. Mengatup bibirnya rapat-rapat. "Jadi, jangan berusaha membuat orang lain jatuh cinta dengan bersikap genit kepada mereka."Arya kemudian melepas pegangannya dan sedikit memundurkan langkah. Tersenyum manis kemudian mencubit pelan pipi Laila yang masih termenung."Ayo pulang." Arya menggenggam lengan Laila dengan le
"Zahra? Are you okay?""Zahra?""Ah, iya? Kenapa Syam?" Asyam menghela nafas pelan, melirik Zahra yang sedari tadi melamun ke luar jendela. "Are you okay?""Ya. Seperti yang kamu lihat," jawab Laila dengan fokus kembali menatap luar jendela. Sebenarnya bagaimana ia akan baik-baik saja jika hatinya masih merasakan rasa sakit itu? Bagaimana ia baik-baik saja jika pria yang dia cintai malah dengan perempuan lain? Siapa yang baik-baik saja dengan semua itu? Siapapun akan merasakan sakit bukan? Apalagi sejak awal Arya nampak sudah menerimanya sebagai istri. Tapi apa? Semua kembali dihempaskan demikian jauh oleh pria itu. Tapi, apa ia bisa marah? Tidak. Mana bisa Laila marah pada lelaki yang dia cintai. Lagipula, tanpa ingatan apapun... memang akan susah untuk mengembalikan seperti mulanya. "Kamu tidak perlu memikirkan lelaki yang telah menyakiti kamu, Zahra. Kenapa harus memikirkan hal yang jelas membuatnya semakin sakit?" Asyam kembali bersuara. Namun tidak ada respon apapun dari Lai
Karena Zidna meminta Arya untuk diantarkan ke pondok, membuat Arya dengan cepat mengantarkan perempuan itu.Kini mobil itu sudah terparkir di halaman yang tidak jauh dari pondok. Pondok pesantren Assalam, itulah namanya. "Dek, aku langsung pulang saja ya? Maaf engga bisa nyempetin buat bertemu sama Kang Imam. Nanti, kalau Kang Imam nanyain, bilang aja aku ada urusan," ucap Arya setelah keduanya keluar dari dalam mobil. "Memangnya Mas mau ke mana?" tanya Zidna dengan kening bertaut. "Tidak biasanya Mas langsung pergi sebelum bertemu dengan Mas Imam.""Aku khawatir sama Sharu, Dek. Rindu juga sama dia. Setelah diambil ibunya hampir satu minggu, membuat aku sangat merindukannya," jawab Arya dengan sopan. "Tapi Mas udah bicara sama pengacara itu, kan?Apa katanya?"Arya menghela nafas pelan. Itulah alasan ia ingin cepat-cepat pergi. Ia melupakan bahwa Laila tengah bersama pria lain. "Udah dibicarain. Makannya gak punya waktu untuk sekarang. Maaf ya. Dan tolong, sampaikan salam aku ke Ka
"Den, makan dulu ya? Mbok udah masakin kesukaan aden--eh maksudnya..." Suara Mbok Eka berseru saat Arya keluar dari kamar tempat salat. Keningnya mengernyit saat Mbok Eka tidak melanjutkan ucapannya. "Sembari nunggu non, aden bisa makan dulu ya. Maaf kalo nanti masakan Mbok engga enak."Arya tersenyum tipis. "Enggak Bi. Aku enggak enak kalau tuan rumahnya engga ada. Laila juga belum pulang."Wajah Mbok Eka nampak sendu. Berpikir bahwa di depannya ini jelas tuan rumah. Tapi, bagaimana caranya agar dia mengatakan itu kepada Arya? KrruuyukkkSuara dari perut Arya menggema. Membuat suasana mendadak hening dan... "Ppffftt..." Mbok Eka tidak bisa lagi menahan tawanya. Tawanya lepas bersamaan Arya yang menunduk malu. Benar-benar situasi yang memalukan! Perutnya malah berbunyi begitu keras. "Kalau non Laila tahu tamunya menahan lapar, nanti dia marah sama Mbok. Bisa-bisa Mbok dipecat sama non Laila. Jadi, aden makan saja ya? Jangan malu kok, anggap aja ini rumah aden sendiri," ucap Mbok E
"Kalau aku bukan Bara? Melainkan Arya? Bagaimana" tanya Arya kemudian. "Apa bedanya? Sama-sama satu jiwa dan satu tubuh kok. Yang membedakannya... Mas Bara itu lebih seksi. Sedang Mas Arya itu... seperti putri malu, sekali kena sentuh--""Oh, jadi mulai membanding-bandingkan?" Arya memotong ucapan Laila. Membuat sang empu segera menggeleng. "Bukan gitu, hanya saja...""Kamu mau aku kayak gimana?" tanya Arya langsung, membuat Laila berkedip untuk beberapa saat. "Memangnya bisa?"Arya mengangguk. "Katakan saja?""Ehm... Laila maunya kamu itu memiliki cinta luar biasa seperti Mas Bara. Yang selalu bercanda, romantis, suka cium duluan, dan... tentu nampak seksi apabila sedang berdua. Namun juga, Laila mau kamu seperti Mas Arya yang pengertian, memiliki sikap lemah lembut dan tentu memiliki sabar walau hanya setipis tisu dibagi dua.""Aku akan berusaha menjadi seperti itu. Tapi, apa kamu juga akan menuruti apa yang aku mau?""Memangnya, apa yang Mas mau?""Aku cuman mau kamu enggak berh
"Bukan cemburu lagi, tapi kesel sama Mas Aryanya!"Arya terkekeh. "Ya udah. Jangan marah atuh, Mas kan lakuin itu emang enggak sadar.""Maksud Mas?" "Ya... Mas kadang suka gitu, La. Kalau lihat orang yang Mas kenal dan dia terluka, Mas enggak bisa diam saja. Sebisa mungkin Mas bakal nolongin. Pun sama halnya dengan perkara lain. Kadang Mas emang enggak sadar kalau di hadapkan dengan perasaan yang Mas sendiri enggak tahu apa itu. Sama kamu juga Mas kadang suka enggak sadar.""Enggak sadar? Itu berarti perkataan barusan? Mas enggak sadar juga?" Nada kesal Laila mulai memuncak. Suara yang nampak menahan kesal Laila tujukan saat Arya berkata tidak sadarkan diri. Yang benar saja? Mana ada hal seperti itu bisa dijadikan alasan? "Perkataan yang mana?" tanya Arya tanpa melirik Laila. "Mas?!" Benar saja. Laila mulai kesal dengan mendentingkan sendoknya di atas piring. "Yang benar saja? Yang tadi? Saat kamu mengatakan bahwa aku adalah istri kamu. Kamu sadar kan?""Eum... "Jawaban Arya ber
"Kalau Mas mau...""Mana ada lelaki yang enggak mau kalau ditawari?" Arya terkekeh, yang malah membuat Laila semakin dibuat merinding. Geli. Sudah lama pula ia tidak seperti ini. Lagipula ia juga berani seperti ini karena Arya adalah Bara, suaminya... jika begini, masih tidak apa-apa kan? Tidak berdosa kan? Atau memang dia berdosa? Sekalipun dengan suami sendiri? Katakan pada Laila sekarang, apa ia berdosa atau tidak? Hanya karena ingatan Arya tidak ada, apa ia salah jika melakukan hal ini? "Mas janji bakal halalin kamu untuk yang kedua kalinya," ucap Arya sembari mengigit leher Laila, membuat sang empu mendesis. "Kita akan merayakan pernikahan kita, sayang..."Arya itu lelaki normal. Tidak akan kuat jika di hadapkan dengan hal beginian. Membuat Arya lagi-lagi mencium hingga menggigit leher jenjang Laila. "Memangnya Mas tahu tanggal pernikahan kita?""30 September, kan?"Deg! Jantung Laila semakin berdebum dibuatnya saat Arya mengatakan tanggal pernikahan yang memang benar pada