"Kalau Mas mau...""Mana ada lelaki yang enggak mau kalau ditawari?" Arya terkekeh, yang malah membuat Laila semakin dibuat merinding. Geli. Sudah lama pula ia tidak seperti ini. Lagipula ia juga berani seperti ini karena Arya adalah Bara, suaminya... jika begini, masih tidak apa-apa kan? Tidak berdosa kan? Atau memang dia berdosa? Sekalipun dengan suami sendiri? Katakan pada Laila sekarang, apa ia berdosa atau tidak? Hanya karena ingatan Arya tidak ada, apa ia salah jika melakukan hal ini? "Mas janji bakal halalin kamu untuk yang kedua kalinya," ucap Arya sembari mengigit leher Laila, membuat sang empu mendesis. "Kita akan merayakan pernikahan kita, sayang..."Arya itu lelaki normal. Tidak akan kuat jika di hadapkan dengan hal beginian. Membuat Arya lagi-lagi mencium hingga menggigit leher jenjang Laila. "Memangnya Mas tahu tanggal pernikahan kita?""30 September, kan?"Deg! Jantung Laila semakin berdebum dibuatnya saat Arya mengatakan tanggal pernikahan yang memang benar pada
"Mas? Laila udah siapin baju buat Mas pakai ya? Kalau butuh sesuatu, Mas boleh--""Sayang... Mas mau pulang saja, ya? Mas lupa juga engga kunci rumah." Laila yang tengah membereskan beberapa barang-barang terhenti sudah. Ia melirik Arya yang malah tengah memainkan ponselnya. Dengan segera Laila mengambil ponsel tersebut dan duduk di depannya. "Mas kan sekarang udah tinggal di sini? Jadi, sekarang Mas harus di sini!?""Tapi---""Laila enggak mau tau! Mas harus tidur dengan Laila sekarang!"Dengan sigap Laila menarik Arya agar tidur di sampingnya. Sehabis salat Isya dengan lelaki itu yang pulang dari Masjid, membuat Laila menyuruhnya untuk ganti baju. "Ayo Mas!"Tubuh Arya terhempas jatuh menimpa Laila. "Pelan-pelan, La. Agresif bener..." Laila tertawa, dengan segera ia memeluk Arya dari samping. "Keras kepala banget sih? Kan jadi pengen atuh..."Arya bergeming. "Pengen apa?""Pengen nebang pohon!"Kening Arya mengernyit, sedang Laila sudah berdecak saja. "Ck! Mari tidur! Mas engg
"Eh, aden Bara? Eh maksud Mbok---""Kalau Mbok maunya bilang Bara, bilang Bara aja Mbok. Gpp kok." Arya, pria itu tersenyum saat sebuah seruan dari Mbok Eka yang memanggil namanya dengan Bara. Wanita paruh baya yang satu ini pasti selalu memanggilnya dengan nama Bara apabila mereka bertemu. Membuat Arya menawarkan diri agar Mbok Eka memanggilnya saja dengan nama Bara. "Sekarang Mbok enggak bakal bingung lagi. Jadi, panggilnya Bara aja."Mbok Eka nampak berbinar. "Baik, aden. Baik."Arya tersenyum yang jelas selalu menampilkan lesung pipitnya apabila dia tersenyum. Membuat Mbok Eka dibuat terpana pada majikannya ini. "Aden lagi apa? Kok malah berkutik dengan alat-alat dapur?"Arya tersenyum lebih dulu. "Aku lagi masakin makanan buat Laila Mbok.""Mau Mbok bantu? Biar aden juga enggak kesusahan?"Arya menggeleng. "Enggak usah Mbok. Aku ingin aku sendiri yang memasak untuk Laila.""Ah baiklah. Kalau begitu, Mbok permisi dulu ya? Mau beres-beres depan rumah."Arya mengangguk, tatapanny
"Mas? Mas kan jadi sopirnya Laila... dan juga asisten Laila bekerja. Apa Mas... enggak masalah?" Di dalam mobil, Laila melirik Arya yang tengah fokus mengemudi. Kedua jari telunjuk Laila ia remas untuk mengeluarkan segala rasa canggung. Tring! Sebuah pesan dari ponsel Laila tiba-tiba berbunyi, membuat Laila dengan segera mengalihkan tatapannya. [Assalamu'alaikum, Bu Laila? Maaf menganggu. Tapi saya ingin menginformasikan kalau sekretaris dari pihak Produk mengundurkan diri. Apa Anda bisa langsung ke sini hari ini? ]Satu pesan dari Akmal membuat Laila menghela nafas. Sekretaris pihak Produk, jelas sekretarisnya Akmal bekerja. Karena jabatan Akmal saat ini Manager produk yang tentu membutuhkan sekretaris. "Mas? Kantor itu punya kamu. Laila bisa saja ngembaliin ke Mas kembali. Bagaimana?"Arya menghela nafas pelan. "Enggak perlu. Mas akan ambil jadi asisten kamu."Laila nampak bergeming. "Mas ambil alih semuanya aja, ya? Mas kan pemilik resmi perusahaan Axa?""Memangnya, dulu kanto
"Ayo sayang..." Suara Arya membuyarkan lamunan Laila. Yang kemudian pria itu menggenggam tangan Laila dan berjalan menuju mobil. Arya tersenyum, membukakan pintu mobil agar Laila masuk. Menarik kepala Laila agar ia kecup lebih dulu. Arya dengan cepat masuk ke dalam mobil. Senyumnya tidak lepas dalam menatap Laila. "Ah iya. Maafkan Mas yang tadi ya? Mau dimaafkan, kan?"Laila melirik kemudian mengangguk antusias. "Apa sih yang enggak bisa dimaafkan oleh Laila akan kamu, Mas. Semuanya past Laila maafin. Tapi, ada tapinya nih..." Laila tersenyum kikuk, sedang Arya menaikan salah satu alisnya. "Sebagai gantinya, Mas enggak boleh ninggalin Laila lagi! Dan untuk ini?" Laila menunjuk cincin yang dipakaikan langsung oleh Arya. "Makasih ya? Laila suka banget..."Arya tersenyum tipis. "Iya sayang... Mas enggak bakal ninggalin kamu. Dan, sama-sama. Nanti, jangan sampai dilepas ya? Biar mereka yang lihat tahu kalau kamu milik seseorang! " Arya terkekeh."Dan karena Laila meminta Mas untuk tid
"Assalamu'alaikum?"Tok tok tok! "Assalamu'alaikum?""Kayak enggak ada orang, La?" Arya menoleh, Laila pun ikut menoleh menatapnya. "Gak tau juga. Tapi kemarin---""Wa'alaikumusaalam...""Ayah?!" Pekikan dari Sharu saat pintu terbuka membuat Arya dengan sigap merentangkan kedua tangannya--mensejajarkan tubuh dengan Sharu. "Putri Ayah..." Dengan berbinar Arya mencium semua wajah Sharu. Sungguh, ia merindukan putri yang selalu ia jaga ini. Laila ikut terharu saat melihat Arya begitu bahagia. "Sebelumnya terima kasih ya, Mbak. Udah mau kasih kesempatan buat Mas Arya bertemu dengan Sharu."Rania, perempuan itu hanya mengangguk sekilas."Seminggu kan?" tanya Arya yang mendapat respon dari Rania. "Akan aku pergunakan sebaik mungkin untuk menghabiskan waktu bersama Sharu. Makasih Rania, makasih udah memberi kesempatan."Rania mengangguk. "Terima kasih juga telah membesarkannya."Arya tersenyum,, lebih tepatnya pura-pura tersenyum. Mana mau ia melepaskan Sharu begitu saja, ia pastikan ba
"Asyam... ""Ya! Ini dia anggota baru kita. Namanya Asyam Young Bae, Partner Senior di tim kita... beri dia tepuk tangan."Suara ricuh dari tepuk tangan menggema memenuhi ruangan. Berbeda dengan Laila, ia menepuk tangan dengan tatapan melongo. Benar-benar tidak percaya. Asyam? Pria itu... berkedudukan dengan jabatan Senior? Yang mana jelas ada di atas dirinya! Mata Laila berkedip. Kedudukan dirinya saja di sini sebagai Association Attorney, sedangkan dia... Senior Partner?Benar-benar hebat! Kini tatapan Laila berbinar akan kehebatan Asyam dalam meraih jabatan. Pria itu benar-benar hebat, membuat Laila memberikan senyum dan tepuk tangan paling meriah kepada dirinya. Namun tiba-tiba tatapan tatapan matanya terkunci saat tatapan Asyam mengarah pada dirinya. Dia tersenyum tipis sangat tipis. **"Ayah? Bunda kapan pulangnya sih? Udah malam ini... tapi kok, dia belum pulang?""Sharu rindu Bunda Laila?"Sharu mengangguk. Tangannya sibuk memeluk boneka beruang berukuran besar. Karena mal
"Cepet tidur Mas... kenapa malah lihatin Laila kayak gitu coba?" Laila mengulum bibirnsaat Arya masih setia menatapnya. Pria itu setelah kembali dari kamar mandi terus saja menatap Laila dengan tatapan tak kasat mata. Ingin sekali Laila tertawa melihat muka jutek Arya saat ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Selain menerima takdir ini dengan lapang dada? Siapa yang tahu dirinya akan datang bulan lebih dulu coba? Menjadikan Arya kesal karenanya. "Sayang? Sini deh, di samping Laila." Laila menepuk sisi ranjangnya agar Arya tidur di samping. Namun karena masih kesal Arya mengalihkan pandangannya. "Sayang..." Dengan suara paling lembut Laila kembali bersuara. "Sini atuh ih? " Masih enggan beranjak dari kursi Laila dengan kesal ia membalikkan badannya--membelakangi Arya. "Laila tidur duluan aja deh! Capek!"Arya mendengkus kesal. Bukan ini yang ia mau! Ia mau Laila membujuknya dengan meminta maaf, tapi perempuan itu malah balik kesal kepadanya. Mana mau tidur lagi! Dengan kesal Arya
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,