Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
“A-apa ya-ng akan k--au lakukan Bara ...?” Dengan susah payah Laila meneguk salivanya saat Bara mulai mendekatinya dengan kancing yang terus ia buka."Melakukan hal yang seharusnya dilakukan," jawab Bara. “Jangan mendekat!” teriak Laila saat Bara semakin mendekat. "Berhenti Bara?! Aku bilang jangan mendekat?!" teriak Laila sembari melempar sebuah benda yang entah apa. Laila ketakutan, dia melempari barang yang ada di sekitarnya. Semakin dilempar semakin keras pula suara nyaring itu terdengar. Namun sayang, tidak ada satupun benda yang mengenai Bara. Tangis Laila pecah dengan tubuh yang masih bergerak mundur, “Bara, aku bilang berhenti di sana!”Laila, si gadis berhijab itu kini tidak bisa kemana-mana lagi saat tangan Bara mengukungnya disudut tembok dengan sangat kasar.Laila terus saja memberontak ingin dikeluarkan dengan air mata yang terus merembes.“Jangan berani kamu sentuh saya, brengsek!” teriak Laila marah yang diiringi dengan tangisnya.Bara terkekeh mendengar gaya Laila ya
Hafsah Laila Azzahra. Gadis tulen dengan segala kesederhanaan yang dimiliknya. Gadis bermanik mata hitam dengan pakaian yang selalu menutup tubuhnya menjadikannya terkesan anggun dan menawan. Tak lupa memiliki gingsul di bagian kanannya. Hidup dengan kekayaan yang sangat sederhana menjadikan seorang Laila mensyukuri atas setiap pemberian dari sang Maha Pencipta. Bahkan sekolah pun ia lakukan hanya karena mendapat beasiswa akan prestasinya. Dan semua itu ia berhasil sampai dirinya menginjak di fakultas kampus terkenal.Menginjak semester 3, Laila semakin difokuskan dengan kegiatan-kegiatan yang ada di kampusnya. Hal itu ia lakukan untuk mencapai cita-cita. Lagian, sebentar lagi ia akan menginjak semester 4, menjadikan ia harus lebih bersemangat dalam hal apapun lagi.Namun, sampai pada tragedi malam itu, malam di mana Laila yang akan dilecehkan ditukar dengan sebuah pernikahan yang tidak ia harapkan sama sekali. Apalagi dengan lelaki itu, yang tak lain ialah Praditya Albara, seorang le
"Laila? Kemarin kamu ke mana aja sih?" tanya Dena. "Ada kok," jawab Laila tanpa menoleh. Pandangannya hanya fokus berpura-pura mengamati Dosen yang sedang menjelaskan, "Ck! Iya, aku juga tau kamu ada. Maksudku, pas malam itu kok kamu ninggalin aku sih? Dan ya, kenapa lagi kemarin gak masuk kampus?" Dena terus saja menanyakan hal yang menurut Laila tidak perlu menjawab, lagian saat mendengar kata 'malam itu' membuat moodnya hancur."Lagian kenapa sih kamu kepo-kepo amat!" ketus Laila, masih pura-pura memperhatikan. Percayalah, moodnya benar-benar hilang.Dena mendekatkan wajahnya sedikit dengan Laila, "Laila?" kesal Dena padahal kan niatnya cuman bertanya, "Jangan bilang kalau kamu pulang sama seorang lelaki?"Tak!Dengan kesal Laila menggeplak punggung tangan Dena sedikit keras. "Heyy yang di belakang sana! " teriak pak Dosen menggelegar. Telunjuknya ia arahkan kepada bangku Laila."Mampus! Dosen Killer lagi," gumam Laila yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua."Salah kamu ini,
Hari ini Laila mendapatkan jadwal pagi di kampusnya. Lagi-lagi niatnya untuk memberitahu Uminya terus ia urungkan. Hal itu justru membuat Laila semakin resah. Pasalnya sudah puluhan panggilan dari Bara tidak Laila angkat, ia tahu bahwa Bara terus menelfonnya hanya untuk menanyakan tentang keputusan dari orang tuanya."Bismillah. Aku harap aku tidak bertemu dengan Bara untuk saat ini," gumam Laila memohon penuh harap.Tidak lama kini Laila sudah berada di kampus. Kampus ini nampak sepi, ah sepertinya Laila terlalu pagi untuk datang ke sini. Laila berjalan melewati beberapa koridor. Matanya sesekali menatap ke depan dan menunduk. Namun kali ini, tepat Laila menatap ke depan, tak jauh dari sana ia melihat Shaka yang tengah berjalan ke arahnya.Demi apa, hati Laila mendesis tak karuan. Walau belum terlalu dekat, tapi ada rasa dag dig dug saat melihatnya. Tatapan Laila semakin menunduk dengan bibir bawah yang ia gigit.Shaka Muhammad Fatih. Siapa yang tidak mengenal sosok lelaki tersebut?