"Laila? Kemarin kamu ke mana aja sih?" tanya Dena.
"Ada kok," jawab Laila tanpa menoleh. Pandangannya hanya fokus berpura-pura mengamati Dosen yang sedang menjelaskan,"Ck! Iya, aku juga tau kamu ada. Maksudku, pas malam itu kok kamu ninggalin aku sih? Dan ya, kenapa lagi kemarin gak masuk kampus?" Dena terus saja menanyakan hal yang menurut Laila tidak perlu menjawab, lagian saat mendengar kata 'malam itu' membuat moodnya hancur."Lagian kenapa sih kamu kepo-kepo amat!" ketus Laila, masih pura-pura memperhatikan. Percayalah, moodnya benar-benar hilang.Dena mendekatkan wajahnya sedikit dengan Laila, "Laila?" kesal Dena padahal kan niatnya cuman bertanya, "Jangan bilang kalau kamu pulang sama seorang lelaki?"Tak!Dengan kesal Laila menggeplak punggung tangan Dena sedikit keras."Heyy yang di belakang sana! " teriak pak Dosen menggelegar. Telunjuknya ia arahkan kepada bangku Laila."Mampus! Dosen Killer lagi," gumam Laila yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua."Salah kamu ini, Laila!" seru Dena ikut memelankan suarnya"Tidak bisa mendengar ya?" ulang Pak Dosen dengan muka yang tengah jengkel.Karena merasa emosi, Pak Dosen itu melangkah dengan raut wajah yang sangat kesal.Sedetik kemudian Pak Dosen menjewer telinga seseorang membuat sang empu meringis kesakitan. Hal itu sontak membuat Laila dan Dena terkejut, tapi sedetik kemudian mereka langsung bernafas lega. Karena ternyata kemarahan Pak Dosen bukan pada keduanya."Ad--dudu--du pak, sakit pak! " Mohon seseorang itu karena Pak Dosen terus menjewernya dengan ditarik cukup keras."Lagi-lagi kamu Jery! Sekali lagi kamu mengobrol saat jam pelajaran saya!" Tatapan Dosen itu begitu tajam, "jangan harap kamu bisa lolos dari saya!" ucapnya penuh penekanan beserta semburan hujan yang mengenai wajah Jery. Tentu hal itu membuat seisi kelas langsung menatap jijik.Siapa yang tidak mengenal Pak Dosen yang satu ini, Dian Herdian itulah nama dosen tersebut.Dijuluki dosen killer juga manusia hujan. Ya. Selain pemarah Pak Dian juga selalu meciptakan hujan air liur, lebih tepatnya selalu mengeluarkan semburan hujan dari dalam mulutnya kala berbicara. Makannya setiap mahasiswa di kampus sana akan berhati-hati jika berhadapan dengan dosen yang satu ini.Berbeda dengan Jerry, ia mengutuk dirinya sendiri karena telah melakukan kesalahan. Alhasil beginilah jadinya, ia harus mengambil buku dan simpan di depan mukanya agar tidak terkena cipratan air hujan dari Pak Dian."I-iya pak. Jerry janji gak bakal bicara saat pelajaran Bapak. Tapi lepasin dulu pak telinga saya. Takut copot!" Ampun Jerry dibalik wajahnya yang setengah ditutup oleh buku.Pak Dian melepaskan jewerannya, namun tatapannya menatap tajam Jerry. "Buka! Pakek tutup-tutup segala! Jangan seolah kamu itu udah pintar Jerry!" ujar Pak Dian dengan mengambil buku yang sedari tadi Jerry simpan di depan wajahnya.Astaga demi apa? Jerry langsung melebarkan matanya. Pak Dian tidak tahu saja kalau dia sedang bersembunyi dari cipratan yang tengah diciptakannya. Ah, Pak Dian memang seperti itu, gak pernah nyadar!Hanya berselang menit, akhirnya pelajaran Pak Dian selesai juga. Para mahasiswa-mahasiswi tentunya langsung berhambur keluar menuju kantin, ada pula yang masih dikelas."Laila! Cuslahh kita ke kantin, aku lapar banget soalnya," seru Dena dengan menarik tangan Laila agar berdiri."Na, enggak dulu deh. Kamu aja sendiri ya?" Sungguh, Laila takut jika nanti bertemu dengan sosok semalam itu."Laila ihh, kok kamu tega gitu sih. Ayolah..." Dena kembali menarik tangan Laila. Laila yang ditarik seperti itu menghela nafas panjang, berharap bahwa nanti ia tidak bertemu dengan lelaki yang kini sangat ia benci. Ya, semenjak malam itu Laila benar-benar membencinya.Tak perlu lama untuk mereka sampai di kantin. Dena memesan makanan seperti biasa, tapi Laila? Bahkan untuk makan saja selera makannya hilang jika dalam keadaan tegang seperti ini."Laila, kamu beneran gak mau mesen. Enak lho ini Sa. Bakso mercon dengan anak-anaknya," ujar Dena saat ia sudah duduk dengan makanan yang ia simpan di atas meja.Laila hanya bergeming, tidak terlalu menanggapi ucapan Dena."Gak ah, cepetan deh makannya, Na.""Eh, kamu itu kenapa sih? Kaya dikejar-kejar setan gitu?" gerutu Dena tidak terima. Pasalnya, makan saja belum, tapi Laila sudah menyuruhnya untuk cepat-cepat."Bukan gitu..." cemas Laila. "Arrgghh ... kamu enggak tau kalau aku takut jika bertemu Bara!" teriak Laila dalam hatinya. Tentu saja, masa iya dirinya harus berteriak seperti itu di depan Dena, mana berani dia."Hei, calon kakak ipar.""Uhuk!" Dena langsung tersedak saat mendengar kata itu. Bahkan tanpa sengaja Dena langsung menelan bakso kecil yang barusan ia masukan ke dalam mulutnya. Alhasil, bakso itu masuk tanpa kunyahan sedikitpun."Eh, eh, Na. Minum dulu," panik Laila dengan menyodorkan minuman ke Dena.Dengan rasa perih karena tersedak Dena langsung minum dengan begitu tandas, bahkan kini matanya sudah mengeluarkan air mata."Eee-maaf ya, sengaja," ujar Jay menampilkan sederetan gigi berwarna kuning-putih itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Laila yang kesal siap memprotes, namun dengan cepat mulutnya kembali terkatup saat mendapati pasukan geng Bara berjalan ke arahnya. Menciptakan teriakan-teriakan dari kaum hawa, merasa bahwa mereka lah yang akan didatangi oleh Bara."Nah ... calon suamimu udah nongol juga!" seru Jaya yang langsung duduk di kursi. "Bos, karena gue bakal punya kakak ipar baru, jadi lo harus traktir kita semua!" seru Jay lagi saat geng Bara sudah ikut duduk di sana.Laila menggerutu dalam hatinya, harapannya untuk tidak bertemu dengan Bara pupus sudah. Sedangkan Dena? Bahkan dia tidak tau sebenarnya apa yang telah terjadi.Apalagi kini kantin beramai-ramai berkumpul untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi. Menimbulkan ke-irian melihat Bara duduk di hadapan gadis yang tidak tahu siapa."Gak ada traktir-traktiran! Di sini gue lagi ngumpulin uang buat halalin Laila." Bara tidak tahu saja kalau ucapan barusannya itu membuat seisi kantin benar-benar ricuh. Apalagi kaum hawa yang langsung panas mendengar hal itu. Apa Bara tidak menyadari kalau ucapannya itu membuat kaum hawa patah hati?Laila yang mendengar itu tentu menggertakan giginya emosi. Bukannya merasa baper, justru dirinya seperti tengah dipermalukan. "Na, kita pergi aja. Ayo!" bisik Laila kepada Dena.Dena yang memang juga takut dengan geng Bara ini sontak langsung menganggukkan kepalanya."Baru aja calon suami duduk, udah main kabur aja," celetuk Bara membuat Laila dan Dena mengurungkan niat. Ditatapnya Bara yang hanya menampilkan raut wajah santainya."Heh, Bara? Maaf-maaf aja nih ya..." ucap Dena menahan rasa takut. "Mungkin kau salah bicara! Siapa juga yang mau nikah sama kamu?" ucapan Dena sinis.Bara melirik Dena dan Laila bergantian. Namun tatapan intens nya mengarah penuh pada Laila, "Sayang? Jadi kamu belum memberitahu kepada sahabatmu ini kalau kita akan sege--""Cukup Bara!" Laila mulai berdiri menahan kekesalan dihatinya. "Urusanmu hanya denganku, jangan membuat semua urusan ini kamu perbesar,Bara!" tegas Laila dengan sorot mata tajamnya."Laila!?" Bara ikut berdiri menatap Laila, "Kita bakal melangsungkan pernikahan ini 5 hari yang akan datang. So, buat apa di sembunyi-sembunyiin lagi?"Brak!Suara gebrakan meja terdengar keras."Apa?!" sontak yang berada di sana langsung melongo tidak percaya."Bara! Hentikan omong kosong ini!" sergah Laila mengeram. Bara benar-benar membuat emosinya terporak-porandakan."Omong kosong?" tanya Bara dengan terkekeh. Ia menatap Laila dengan tatapan tidak percaya. "Laila, lo gak lupa sama malam itu kan?" Bara tersenyum smirik saat mengatakan itu. Tentu hal itu membuat Laila mengepalkan tangannya kuat - kuat. Nafasnya bahkan ikut tersengal-sengal menahan emosi."Heh, Bara?! Apa maksud kamu?" Dena yang merasa tidak terima sahabatnya dipojokkan seperti ini membuatnya tidak bisa untuk tidak diam.Benar-benar. Kantin dibuat ricuh seketika. Tatapan yang melihat acara drama di depannya membuat mereka mati penasaran apa yang sebenarnya telah terjadi."Lebih baik kamu urus aja perempuan-perempuan lain. Bukankah itu hobby kamu?!" Lagi-lagi ucapan Dena begitu menusuk. "Aku peringatin ya Bara... kami sebagai seorang perempuan, enggak bakal mau sama kamu! Sama lelaki yang sukanya mainin cewe dan kasar! Lebih baik kamu pergi jauh-jauh deh! Cari wanita yang lebih bergairah buat kau isi di atas ranjang!" tekan Dena begitu tajam juga menusuk. Membuat kantin semakin heboh, saling berbisik satu-sama lainnya.Tak kalah emosi Dena menarik lengan Laila, sedangkan Bara tersenyum meremehkan saat Dena menarik tangan Laila"Gue pastiin kalau ucapan lo itu salah besar!" teriak Bara membuat langkah Dena terhenti. "Karena dalam jarak dekat ini...sahabat lo itu bakal nikah sama gue."Dena mengepalkan tangannya. Tanpa membalas jawaban Bara, ia kembali menarik tangan Laila agar menjauh dari sana."Laila, kamu enggak usah mikirin ucapan pria g*la itu ya? Kelakuannya emang kaya gitu, jadi jangan dimasukin hati," ucap Dena sembari mengusap bahu Laila saat mereka sudah berada di dalam kelas. Sontak Laila langsung memeluk tubuh Dena.Laila menangis dalam dekapan Dena. Sungguh, rasa bersalah kepada Dena memenuhi relung hatinya. Sahabatnya itu tidak tahu saja kalau dirinya memang akan menikahi Bara. Walau hatinya tidak menginginkan hal ini, tapi apa boleh buat? Bara selalu saja berhasil mengancamnya dengan kesuciannya yang akan direnggut. Siapapun pasti tidak mau kan mahkotanya direnggut dalam status belum menikah? Maka, itulah yang dilakukan Laila saat ini. Demi menjaga kesuciannya, ia rela menikahi pria brengsek seperti Bara.Hari ini Laila mendapatkan jadwal pagi di kampusnya. Lagi-lagi niatnya untuk memberitahu Uminya terus ia urungkan. Hal itu justru membuat Laila semakin resah. Pasalnya sudah puluhan panggilan dari Bara tidak Laila angkat, ia tahu bahwa Bara terus menelfonnya hanya untuk menanyakan tentang keputusan dari orang tuanya."Bismillah. Aku harap aku tidak bertemu dengan Bara untuk saat ini," gumam Laila memohon penuh harap.Tidak lama kini Laila sudah berada di kampus. Kampus ini nampak sepi, ah sepertinya Laila terlalu pagi untuk datang ke sini. Laila berjalan melewati beberapa koridor. Matanya sesekali menatap ke depan dan menunduk. Namun kali ini, tepat Laila menatap ke depan, tak jauh dari sana ia melihat Shaka yang tengah berjalan ke arahnya.Demi apa, hati Laila mendesis tak karuan. Walau belum terlalu dekat, tapi ada rasa dag dig dug saat melihatnya. Tatapan Laila semakin menunduk dengan bibir bawah yang ia gigit.Shaka Muhammad Fatih. Siapa yang tidak mengenal sosok lelaki tersebut?
Laila mengedarkan pandangannya saat ia sudah berada di dalam cafe—atas permintaan Shaka.Untung cafe tidak terlalu ramai, menjadikan Laila mudah menemukan Shaka dalam sekali pandangan. Ia berjalan menuju kursi yang diduduki Shaka."Maaf banget ya, udah nunggu lama?" tanya Laila tak enak hati.Shaka tersenyum sekilas, "Enggak kok, aku juga baru datang soalnya." Shaka menatap sekilas Laila yang tengah duduk berhadapan dengannya. Tidak ada yang tahu bahwa hatinya kini sedang berdisko."Mau sekalian pesan? Biar sekalian makan juga," ucap Shaka kembali."Boleh, " balasnya membalas dengan senyuman. Sambil menunggu pesanan, mereka hanya duduk diam. Hanya ada kecanggungan yang mereka rasakan saat ini."Laila?""Heum?""Aku lupa nyampein kalo kamu dapet salam dari Umi dan Abah, katanya kapan kamu silaturahmi ke sana?" Tatapan Shaka begitu intens menatap Laila."Wa'alaikumsalam. Insya Allah, Kak." Laila mengalihkan tatapannya ke sembarang tempat. Ini benar-benar membuatnya canggung."Mbak, Mas.
"Umi?" "Laila? Sini sayang?" Hafisah—Umi dari Laila itu tersenyum lebar saat mendapati Laila keluar dari kamarnya.Rahman—Abi Laila juga berada di sana. Tersenyum lebar melihat putrinya. Laila mengernyit heran. Mendekat ke arah Rahman dan Hafisah tatkala mendengar panggilan dari mereka. Sebelumnya Laila yang tengah di kamar dikejutkan oleh teriakan halus dari Hafisah. Menyuruhnya untuk datang ke ruang tamu. Entah ada apa, tapi hal itu tentu membuat jantungnya berdetak cepat. "Iya Umi?" seru Laila saat dirinya berada di hadapan Hafisah. Namun jantungnya berhenti berdetak saat tatapan mata itu jatuh pada... "Kak Shaka?" Laila melebarkan pupil matanya melihat Shaka, Abah dan Uminya—Shaka, tengah tersenyum ke arahnya. "Sini duduk! Gak baik berdiri kayak gitu!" tegur Hafisah sembari tersenyum ramah. Masih dalam keterkejutan Laila ikut duduk karena intrupsi Hafisah. "Masya Allah, Nak Laila makin cantik aja ya?" goda Aminah—Umi dari Shaka. Aminah menatap takjub atas kecantikan Laila ya
“Wa'alaikumussalam.”Deg!Jantung Laila terasa terhenti saat pintu utama terbuka menampilkan ... Bara?Langkah kaki Laila bahkan langsung mundur pelan. Menatap pria di depannya yang terkesan lebih keren dari biasanya. Sialnya! Orang di depannya itu malah berkedip sebelah mata, menggoda dirinya.“Siapa, Laila?” Suara bariton Rahman membuyarkan keterkejutan Laila.Sang empu kembali menatap Bara yang malah nyengir kuda.Ish! Pria itu kenapa harus datang?!Belum sempat menjawab pertanyaan Rahman, lelaki berumur 30 lebih itu sudah berdiri di samping Laila.“Assalamu'alaikum, Abah.” Bara langsung mengucap salam dan menyalami tangan Rahman. Sebagai begitu, Rahman hanya mengeryit heran.“Saya Bara, kebetulan temannya Laila.”“Temannya Laila.” Suara Rahman terkesan bukan pertanyaan.Bara mengangguk tersenyum. “Iya, Abah. Dan kebetulan saya ...” Bara menggantung ucapannya. Melirik Laila sekilas. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan maksud saya, Abah.”Rahman menatap terlebih dahulu Bara dari
“Abi, kenapa Abi lebih memilih Bara?” tanya Laila setelah jawaban dari Abinya keluar.Apalagi hal yang paling menyebalkannya adalah Bara tersenyum devil saat keputusan itu berpihak kepadanya. Tentu senyuman itu mengarah kepada dirinya, senyum mengejek. Karena itulah Laila langsung menanyakan ini kepada Rahman ketika kedua pria tersebut sudah pergi. "Ini memang sudah keputusan Abi, Laila... ""Tapi kenapa Abi? Apa alasannya? Katakan Abi? Kenapa Abi lebih memilih Bara?" tanya Laila beruntun. Dia benar-benar bingung dan heran kenapa Rahman harus memilih Bara? Lelaki gila itu? Yang benar saja?! "Nanti juga kamu akan tahu alasannya, Laila," jawab Rahman tanpa melihat putrinya yang sudah resah, cemas. "Tapi Abi. Laila enggak mau! Laila enggak mau sama lelaki seperti Bara, Laila enggak cinta!"Rahman mengernyit. "Lalu kamu sukanya sama siapa?" tanya Rahman berusaha tersenyum.Dia tersenyum melihat kemarahan yang dikeluarkan oleh sang putri. Sangat senang pula membuat putrinya itu merasa k
Sebuah pernikahan yang tidak pernah Laila harapkan pada akhirnya terjadi. Laila. Perempuan yang sebentar lagi akan melepas jabatannya menjadi istri orang menangis tersedu-sedu. Gaun pernikahan berwarna putih dengan hiasan telah mewarnai semuanya. Kecuali hatinya. Semuanya tidak ada yang ia suka, hatinya suram meratapi penderitaan ini. Hal yang ia sangka tidak akan terjadi malah terjadi pada akhirnya. "Sayang ... " Seketika Laila menyeka air matanya saat mendengar suara lembut dari Hafisah. "Ayo, pengantin prianya udah di sana." Hafisah menatap putrinya yang tengah menunduk. Ia menghela nafas sumringah. Ada rasa bahagia karena kini putrinya akan berganti status."Umi? Laila enggak mau menikah. Laila enggak mau," ucap Laila menggeleng keras. Dia bahkan menatap uminya dengan berkaca-kaca. Berharap Hafisah akan membantunya dalam masalah ini. Hafisah tersenyum samar. "Ini keputusan Abi kamu. Umi juga enggak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.""Tapi, kenapa harus Bara, Umi? Laila engg
"Kenapa harus di rumah kamu? Kenapa enggak di rumah aku aja?" tanya Laila saat Bara menolak permintaan Abinya untuk tinggal di rumah lebih dahulu. Padahal Laila sudah senang jika Bara mengiyakan. Dengan begitu malam pertama akan diundur kan? Tapi ... Ah sudahlah. Bara nampak sangat tidak sabar. Hal yang justru membuat Laila merasa takut. Takut apa yang akan terjadi setelah ini. "Kenapa? Sama aja kan? Mau kita tinggal di rumah Abi ataupun di sini, sama-sama tidur nantinya," jawab Bara sembari membuka pintu rumahnya. Laila terdiam, malas menjawab. Tatapannya menganalisis ruangan rumah Bara yang terkesan besar saat pintu itu terbuka lebar. Sungguh, rumah ini tidak seperti rumahnya yang sederhana.Mata Laila terus menelusur. Tidak ada yang tertinggal dalam penglihatannya. Namun hanya satu yang hinggap dalam pikirannya. "Mas tinggal sendiri, " jawab Bara seolah tahu apa yang dipikirkan Laila. "Sebesar ini?" ucap Laila dalam hatinya."Apa tidak takut rumah sebesar ini hanya diisi satu
Laila mengerjapkan matanya dengan pelan. Tanpa sadar tangannya melingkar pada perut Bara. Bukannya melepaskan pelukan tersebut ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat dan... "Astagfirullah ..."Betapa terkejutnya Laila saat tersadar dari tidurnya. Tidak terkejut bagaimana? Bibirnya tanpa sadar tengah menempel pada pipi Bara. Sedang tangannya memeluk Bara dengan amat erat padanya. Sedekat ini? Laila menjauh, tidak menyangka kalau ia tidak sadar dalam hal ini. Untung saja ia yang lebih dulu bangun, kalau saja Bara-suaminya, dipastikan dia akan menggodanya secara terus-menerus.Laila melirik Bara yang masih memejamkan matanya. Dilihat dengan seperti ini membuat Laila langsung mengalihkan tatapannya. Sialnya suaminya itu benar-benar tampan jika tidur seperti ini. Membuatnya ingin kembali menatapnya.Laila beristigfar, ia menggeleng untuk menghempaskan akan pesona Bara. Dengan cepat Laila turun dari ranjangnya dan hendak menuju kamar mandi.***"Mas, bangun ..." Laila mene