Laila mengedarkan pandangannya saat ia sudah berada di dalam cafe—atas permintaan Shaka.
Untung cafe tidak terlalu ramai, menjadikan Laila mudah menemukan Shaka dalam sekali pandangan. Ia berjalan menuju kursi yang diduduki Shaka."Maaf banget ya, udah nunggu lama?" tanya Laila tak enak hati.Shaka tersenyum sekilas, "Enggak kok, aku juga baru datang soalnya." Shaka menatap sekilas Laila yang tengah duduk berhadapan dengannya. Tidak ada yang tahu bahwa hatinya kini sedang berdisko."Mau sekalian pesan? Biar sekalian makan juga," ucap Shaka kembali."Boleh, " balasnya membalas dengan senyuman.Sambil menunggu pesanan, mereka hanya duduk diam. Hanya ada kecanggungan yang mereka rasakan saat ini."Laila?""Heum?""Aku lupa nyampein kalo kamu dapet salam dari Umi dan Abah, katanya kapan kamu silaturahmi ke sana?" Tatapan Shaka begitu intens menatap Laila."Wa'alaikumsalam. Insya Allah, Kak." Laila mengalihkan tatapannya ke sembarang tempat. Ini benar-benar membuatnya canggung."Mbak, Mas. Ini pesanannya." Seorang pelayan datang dengan beberapa makanan lalu menyimpannya di atas meja."Terima kasih," ujar Shaka dengan sopan.Perempuan itu dibuat salah tingkah saat Shaka tersenyum padanya, sesaat perempuan itu membalas senyuman Shaka dan langsung pergi."Kak? Jadi, hal apa yang ingin kamu bicarakan?" Sembari makan Laila mencoba berbicara dengan Shaka."Sebenarnya... aku hanya ingin bertanya, apa kamu sudah siap untuk menikah?""Uhuk! Uhuk!" Laila tersedak saat mendengar kata menikah. Kesadarannya teringat saat Dena mengatakan bahwa pasti Shaka akan melamarnya, heum ... apa iya? pikir Laila.Dengan cepat Shaka langsung menyodorkan minum ke arah Laila. "Minum dulu. Kalau makan tuh jangan ngelamun!" ujar Shaka terkikik melihat tingkah Laila yang membuatnya gemas sendiri."Makasih." Dengan menahan malu Laila langsung mengambil minuman yang disodorkan oleh Shaka."Emm ... memangnya kenapa, Kak?" tanya Laila saat dirinya sudah kembali membaik. Bahkan ia kembali makan namun kali ini sedikit berhati-hati agar tidak kembali tersedak."Sebenarnya..."Derrttt... Derrttt...Ucapan Shaka terhenti saat mendengar suara deringan yang berasal dari kantong Laila.Dengan cepat Laila langsung mengambil ponsel tersebut dan melihat siapa yang tengah menelfonnya.Wajah Laila seketika suram saat melihat nama penelfonnya, tak lain dan tak bukan adalah Bara sendiri. Dengan raut wajah tanpa ekspresi Laila ingin mematikan deringan tersebut. Namun sebelum itu,"Siapa?" tanya Shaka yang melihat raut wajah Laila yang tiba-tiba sedikit berubah."Sebentar ya, Kak." Dengan berat hati Laila menjauh dari kursi dan mulai menekan ikon hijau di sana."Pulang!" ujar di sebrang sana saat telfon sudah tersambung."Hah?!" teriak Laila tidak mengerti akan ucapan Bara."Ck! Gue bilang pulang Laila...""Tapi...?""Cepet pulang atau gue langsung ke sana?"Laila terdiam sebentar menimbangi apa yang barusan Bara katakan. Apa Bara mengetahuinya kalau ia sedang berbincang dengan Shaka, salah satu senior di kampusnya? pikir Laila."Cepet pulang kalau enggak gue bakal bener-bener ke sana!" tegasnya lagi saat tak mendapat jawaban dari Laila.Dengan kesal Laila mencebikkan bibirnya. Namun tak urung dia juga mengatakan iya pada Bara dengan kesal.Laila kembali ke kursi saat sambungan ia putuskan secara sepihak."Kak Shaka, maaf banget ya. Anu ... itu aku lagi ada tugas yang harus cepat-cepat diselesaiin." Laila berujar dengan rasa tak enak hati, karena ia telah membohongi Shaka karena Bara."Tugasnya harus sekarang ya?" tanya Shaka sedikit tidak ingin.Hati Laila semakin tidak enak saat Shaka mengatakan hal itu. "Iya hehe. Maaf banget ya Kak. Aku duluan, Assalamu'alaikum. ""Wa'alaikumussalam warahmatullah. "Shaka melihat kepergian Laila, dalam hatinya ia masih ingin Laila berada bersamanya, tapi sepertinya Laila memang sedang sibuk hari ini.Shaka tersenyum kecut, namun jauh dalam hatinya ia berharap bisa kembali berbincang dengan Laila dan mengatakan niatnya yang sejak dulu selalu terpendam.Dengan buru-buru Laila keluar cafe. Namun hal yang tidak ia inginkan malah ada di depannya.Bara, lelaki itu sudah ada di depannya dengan tubuh yang menyandar pada sisi mobil. Laila meneguk salivanya susah payah saat Bara menatapnya tajam."Masuk!"Satu kata membuat niat Laila yang ingin berlari langsung terhenti."Enggak! Aku gak mau." Laila menggeleng keras. Trauma akan malam itu masih hinggap dipikirannya, menjadikan Laila masih takut jika nanti Bara benar-benar akan melakukan hal yang lebih dari keji.Tepat saat Laila ingin berlari, Bara sudah mencekal lengannya dan memasukkan nya ke mobil dengan paksa dan sedikit kasar.Laila terus memberontak di dalam mobil, namun sayang, Bara langsung menguncinya agar Laila tidak bisa keluar."Enak banget ya lo berduaan di belakang gue, hah!?" teriak Bara saat dirinya sudah duduk di kursi kemudi."Bara ... tolong lepasin aku. " Mata Laila mulai berkaca-kaca. Bara kali ini benar-benar begitu menyeramkan baginya.Bara tak menanggapi ucapan Laila. Ia hanya menancapkan gas dengan kecepatan di atas rata-rata untuk meluapkan emosinya. Sedangkan Laila sudah mulai menangis takut akan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.Bara memberhentikan mobilnya tepat di tempat yang lumayan sepi. Ia menatap sekilas Laila sebelum menggertakkan giginya menahan emosi."Laila! Gue seharian ini nelfon lo dan chatt lo, tapi enggak ada satupun yang lo balas! Dan sekarang dengan bahagianya,lo berduaan dengan lelaki lain di belakang gue?Apa lo benar-benar mau bermain sama gue hah?!" Bara dengan tiba-tiba berucap seperti itu.Laila yang tengah menangis menggelengkan kepalanya, "Bar, a-aku minta maaf." Untuk kali ini Laila dibuat mengalah. Jika dia melawan Bara, bisa-bisa lelaki itu malah semakin menjadi-jadi."Maaf lo bilang? Oke, gue maafin lo kali ini. Tapi sekali lagi gue liat lo berduaan dengan lelaki itu---""Bar, kamu siapa aku sampai-sampai ngelarang aku bertemu dengannya?Please, kamu enggak punya hak buat ngatur kehidupan aku!" teriak Laila memotong ucapan Bara."Lo nanya tentang siapa gue?" Bara bergidik tidak percaya akan ucapan Laila."Apa gue harus nyeret lo dulu buat ke penghulu hari ini juga, hah? Gue bahkan udah enggak tahan buat jadiin lo istri gue, Laila!" teriak Bara frustasi.Laila menyeka air matanya, melirik ke arah Bara sekilas."Aku enggak ngerti kenapa kamu sangat obsesi dengan pernikahan ini, Bara! A-aku perlu waktu," ujar Laila mengalihkan tatapannya ke kaca jendela mobil."Tapi, jika itu yang kamu inginkan. Okke, aku bakal secepatnya menikah. Tapi, please Bara, jangan lagi kamu mukul orang yang enggak bersalah." Laila kembali mulai berkaca-kaca."Cih! Memangnya lo siapa gue sampai ngelarang-larang gue hah?"Skakmat!Seketika pandangan mereka langsung bertemu. Namun dengan cepat Laila memutuskan kontak mata itu."Ini bukan tentang siapa, Bara. Tapi, ini tentang orang lain. Apa pantas seseorang yang enggak bersalah dipukul? " Laila kembali menoleh ke arah Bara."Bukan hanya itu, dengan kelakuanmu yang seperti itu ... membuatku takut," ucapnya lirih.Bara melirik Laila yang sedang menunduk. "Lo enggak tau apa-apa tentang hidup gue. Jadi, diam dan nikmatin ajah apa yang gue lakuin. Paham?" ujar Bara membuang muka."Bara! Yang kamu lakukan itu nggak baik! Dan aku enggak bakal di---""Laila, dengerin gue!" Bara dengan cepat memotong nasehat dari Laila yang begitu mengganggu telinganya."Gue tau mana yang baik dan mana yang buruk! Jadi, apapun yang gue lakuin, bukan urusan lo sama sekali. Dan ya ..." Bara kembali berbicara saat melihat Laila yang hendak membuka mulutnya, "...apa yang gue lakuin gue gak peduli sama sekali!" pungkas Bara penuh penekanan. Seketika Laila terdiam menahan emosinya."Gue kasih waktu sampe malam ini tentang pemberitahuan pernikahan itu, kalo lo masih belum bilang sama orang tua lo itu, maka ... lo pasti tau apa yang bakal gue lakuin selanjutnya," lanjut Bara dengan bersedekap dada.Laila menggertakkan giginya menahan segala bentuk emosi. Benar-benar sudah gila! Tadi dia bilang akan mengasih waktu besok, dan sekarang kenapa lebih cepat?"Kenapa gak langsung aja lamar aku ke rumah hah? Dengan begitu orang tua aku bakal langsung memutuskan! "Bara tertawa kecil. "Apa menurut lo mereka bakal menerima? " tanya Bara dengan menatap dalam Laila.Laila menggeleng. Lalu untuk apa pernikahan ini terjadi? Ia benar-benar frustasi sendiri!"Bara! Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini hah?" Laila sedikit meninggikan suaranya menatap Bara penuh permusuhan.Bara tersenyum smirik, "Lo bener ingin tau?" tanya Bara membalas menatap Laila."Karena gue pengen nyobain tubuh lo!" ujarnya santai. Tatapannya mengarah ke depan.Berbeda dengan Laila yang sudah mengepalkan tangannya dengan sangat kuat. Emosinya kini sedang meluap-luap. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bara. Hanya karena itu?Lelaki Brengsek memang! Dia benar-benar mempermainan sebuah pernikahan.Laila tertawa miris, membuang muka. "Udah berapa lubang yang kamu masukin, hah?" tanya Laila yang masih menahan emosinya dengan mengepalkan tangannya."Hahaha," Bara tertawa keras, "Kenapa? Pengen tau banget ya?""Cih, menjijikan! Pria brengsek!" Laila berujar seperti itu karena dia benar-benar sedang emosi."Gue gak perduli! Yang penting gue menikmati itu semua. Dan kalau bisa, lo lah yang paling ingin gue masukin. Ah, sepertinya tubuh lo itu bakalan bikin gue bener---""BARAA!" Teriak Laila memotong ucapan Bara dengan sangat marah. Laila benar-benar emosi, bahkan tanpa sadar air bening yang ia tahan dari tadi telah jatuh tepat dihadapan Bara."Kamu keterlaluan Bara! Kau sudah melewati batas! Mau bagaimanapun aku manusia Bara!Aku manusia!" Laila menyeka air matanya dengan kasar."Seharusnya jika kau menginginkan hal itu, lakukanlah dengan yang lain! Bukan dengan cara seperti ini!" Tangis Laila pecah. Menunduk terisak."Heum begitu kah? Kalau begitu... "Laila menatapnya penuh curiga,ia menghapus terlebih dahulu pipinya yang basah. sedang Bara sudah tersenyum miring menatapnya.Refleks Bara mendekatkan kepalanya hendak mencium Laila namun dengan cepat Laila menghamburkan tasnya menutup kepala Bara."Kau sudah gila, hah? " Laila menarik kembali tasnya. Ia benar-benar tidak percaya atas apa yang ingin Bara lakukan padanya. Ia menatap marah."Kenapa lo marah? Bukankah lo sendiri yang menginginkan untuk melakukan ini dengan cara yang lain? Justru jika ini terjadi lo akan menjadi milik gue, kan? ""Terserah apa yang mau kamu pikirkan, yang jelas hak ini hanya akan diberikan untuk suamiku seorang! Dan orang lain...? " Laila menekan suara ' orang lain' tepat di depannya."Tidak berhak untuk mendapatkannya. Jangankan untuk mendapatkan, yang jelas seseorang itu jika melakukan hal keji di luar kehalalan dari sebuah hubungan maka siksaan yang akan ia terima! "Bukannya terkejut Bara malah menyengir kuda."Tidak sia-sia gue memilih lo sebagai istri. Lo bahkan mampu menjaga diri hanya untuk suami lo yang ganteng ini, " ucapnya percaya diri.Laila menatapnya sebal."Gak pa-pa deh gak sekarang, tapi nanti kita bahkan bakalan melakukan beberapa ronde dalam ... emm ... berapa jam ya kira-kira? "Laila benar-benar mengeram emosi. Kenapa yang ada dipikirannya itu hanya itu, itu, dan itu!"Kau? " tunjuk Laila geram. Yang ditunjuk malah tersenyum puas."Ingin rasanya aku mencekikmu saat ini, hingga kau benar-benar tidak bisa bernafas lagi Bara... "Sudah ku katakan, Laila gadis biasa, sama seperti kebanyakan. Teruntuk itu, ia juga punya nafsu yang tidak bisa ia kendalikan. Apalagi kini emosinya yang selalu tidak stabil jika di hadapkan dengan Bara."Lo ... mau mencekik gue? " tanya Bara menunjuk dirinya sendiri, sedang Laila sudah mengapungkan kedua tangannya hendak mencekik pria itu."Ayo ... silahkan! " Dia malah mencondongkan kepalanya, membuat Laila sedikit mundur. Namun tangannya masih mengapung.Laila benar-benar gatal ingin sekali mencekik pria gila ini."Kau...? " desis Laila bersiap mencekiknya."Menyebalkan! " teriaknya setelah itu memalingkan wajahnya ke luar jendela. Ia tak jadi menyentuhnya. Aish, mana mau ia melakukan dosa besar tersebut? Dan hal lain, wajahnya malah nampak begitu manis jika tersenyum seperti itu. Menyebalkan! Wajah mengerikan itu menghilang seketika.Bukannya merasa kesal Bara malah tertawa melihat kemarahan Laila."Kau malah semakin cantik jika marah-marah seperti itu. "Brug!Dengan emosi Laila melemparkan kantongnya tepat di wajah Bara. Bisa-bisanya dia masih bisa bercanda ditengah kemarahannya. Walau tampan tapi sungguh, Bara benar-benar menyebalkan!Bara hanya tertawa keras, tidak perduli dengan umpatan-umpatan yang sedang Laila keluarkan. Bara menancapkan gasnya meninggalkan tempat tersebut, dengan mata yang sesekali melirik ke arah Laila.Namun saat ditempat yang sangat sepi, tiba-tiba Bara menghentikan lajunya.Wajah tampan, dengan rahang tegas itu tiba-tiba menyorot tajam dan melemparkan kantong Laila cukup keras ke arahnya, membuat sang empu meringis pelan."Turun!" perintah Bara tanpa menoleh. Tatapannya masih menatap tajam ke depan."Hah?" Laila menatap Bara tidak percaya. Yang benar saja, dirinya disuruh keluar ditempat yang sepi begini?Laila masih mengerjapkan matanya beberapa kali,"Laila, gue bilang turun.""Bara! Yang benar saja? Kamu suruh aku turun di sini?Kalau tau begini, Aku lebih baik turun ditempat tadi." Laila mencebik ingin rasanya ia mencoba berdamai dengan Bara."Turun atau gue yang paksa lo buat turun.""Bara, jangan ditempat seperti ini juga kali!" Laila berujar dengan berteriak. Pandangannya menatap kesekeliling yang begitu sepi, sangat sepi. Bahkan ia pernah mendengar desus bahwa jalan ini adalah jalan yang sering dilalui para preman-preman.Tanpa menunggu jawaban, Bara keluar dari mobilnya dan langsung menarik Laila dengan kasar agar keluar dari mobilnya."Bara, aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikirmu." Laila mulai berkaca-kaca. "Bara ?Kamu tidak lupa kan kalau aku seorang perempuan, kan?""Berisik!" jawab Bara acuh.Tanpa perduli Laila yang kembali menangis. Bara hanya menatap acuh dan kembali menuju mobilnya.Bara menancapkan gasnya dengan begitu cepat dan meninggalkan gadis itu yang terisak menangis.Laila kembali terisak dengan mengepalkan tangannya kuat, matanya memejam menahan emosinya. Bara brengsek! Berani-beraninya dia melakukan hal ini, umpat Laila menyeka air matanya. Namun tak urung ia langsung beristigfar memohon ampun atas kemarahannya yang tidak bisa ia kendalikan. Mau bagaimana pun ia juga seorang manusia yang memiliki nafsu. Dan amarahnya itu meninggi tatkala bersama Bara! Hanya dia seorang!Laila berjalan pelan dengan keadaan yang takut luar biasa, namun hatinya terus-menerus menyebut nama Allah dan berdo'a agar Allah selalu melindunginya."Umi?" "Laila? Sini sayang?" Hafisah—Umi dari Laila itu tersenyum lebar saat mendapati Laila keluar dari kamarnya.Rahman—Abi Laila juga berada di sana. Tersenyum lebar melihat putrinya. Laila mengernyit heran. Mendekat ke arah Rahman dan Hafisah tatkala mendengar panggilan dari mereka. Sebelumnya Laila yang tengah di kamar dikejutkan oleh teriakan halus dari Hafisah. Menyuruhnya untuk datang ke ruang tamu. Entah ada apa, tapi hal itu tentu membuat jantungnya berdetak cepat. "Iya Umi?" seru Laila saat dirinya berada di hadapan Hafisah. Namun jantungnya berhenti berdetak saat tatapan mata itu jatuh pada... "Kak Shaka?" Laila melebarkan pupil matanya melihat Shaka, Abah dan Uminya—Shaka, tengah tersenyum ke arahnya. "Sini duduk! Gak baik berdiri kayak gitu!" tegur Hafisah sembari tersenyum ramah. Masih dalam keterkejutan Laila ikut duduk karena intrupsi Hafisah. "Masya Allah, Nak Laila makin cantik aja ya?" goda Aminah—Umi dari Shaka. Aminah menatap takjub atas kecantikan Laila ya
“Wa'alaikumussalam.”Deg!Jantung Laila terasa terhenti saat pintu utama terbuka menampilkan ... Bara?Langkah kaki Laila bahkan langsung mundur pelan. Menatap pria di depannya yang terkesan lebih keren dari biasanya. Sialnya! Orang di depannya itu malah berkedip sebelah mata, menggoda dirinya.“Siapa, Laila?” Suara bariton Rahman membuyarkan keterkejutan Laila.Sang empu kembali menatap Bara yang malah nyengir kuda.Ish! Pria itu kenapa harus datang?!Belum sempat menjawab pertanyaan Rahman, lelaki berumur 30 lebih itu sudah berdiri di samping Laila.“Assalamu'alaikum, Abah.” Bara langsung mengucap salam dan menyalami tangan Rahman. Sebagai begitu, Rahman hanya mengeryit heran.“Saya Bara, kebetulan temannya Laila.”“Temannya Laila.” Suara Rahman terkesan bukan pertanyaan.Bara mengangguk tersenyum. “Iya, Abah. Dan kebetulan saya ...” Bara menggantung ucapannya. Melirik Laila sekilas. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan maksud saya, Abah.”Rahman menatap terlebih dahulu Bara dari
“Abi, kenapa Abi lebih memilih Bara?” tanya Laila setelah jawaban dari Abinya keluar.Apalagi hal yang paling menyebalkannya adalah Bara tersenyum devil saat keputusan itu berpihak kepadanya. Tentu senyuman itu mengarah kepada dirinya, senyum mengejek. Karena itulah Laila langsung menanyakan ini kepada Rahman ketika kedua pria tersebut sudah pergi. "Ini memang sudah keputusan Abi, Laila... ""Tapi kenapa Abi? Apa alasannya? Katakan Abi? Kenapa Abi lebih memilih Bara?" tanya Laila beruntun. Dia benar-benar bingung dan heran kenapa Rahman harus memilih Bara? Lelaki gila itu? Yang benar saja?! "Nanti juga kamu akan tahu alasannya, Laila," jawab Rahman tanpa melihat putrinya yang sudah resah, cemas. "Tapi Abi. Laila enggak mau! Laila enggak mau sama lelaki seperti Bara, Laila enggak cinta!"Rahman mengernyit. "Lalu kamu sukanya sama siapa?" tanya Rahman berusaha tersenyum.Dia tersenyum melihat kemarahan yang dikeluarkan oleh sang putri. Sangat senang pula membuat putrinya itu merasa k
Sebuah pernikahan yang tidak pernah Laila harapkan pada akhirnya terjadi. Laila. Perempuan yang sebentar lagi akan melepas jabatannya menjadi istri orang menangis tersedu-sedu. Gaun pernikahan berwarna putih dengan hiasan telah mewarnai semuanya. Kecuali hatinya. Semuanya tidak ada yang ia suka, hatinya suram meratapi penderitaan ini. Hal yang ia sangka tidak akan terjadi malah terjadi pada akhirnya. "Sayang ... " Seketika Laila menyeka air matanya saat mendengar suara lembut dari Hafisah. "Ayo, pengantin prianya udah di sana." Hafisah menatap putrinya yang tengah menunduk. Ia menghela nafas sumringah. Ada rasa bahagia karena kini putrinya akan berganti status."Umi? Laila enggak mau menikah. Laila enggak mau," ucap Laila menggeleng keras. Dia bahkan menatap uminya dengan berkaca-kaca. Berharap Hafisah akan membantunya dalam masalah ini. Hafisah tersenyum samar. "Ini keputusan Abi kamu. Umi juga enggak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.""Tapi, kenapa harus Bara, Umi? Laila engg
"Kenapa harus di rumah kamu? Kenapa enggak di rumah aku aja?" tanya Laila saat Bara menolak permintaan Abinya untuk tinggal di rumah lebih dahulu. Padahal Laila sudah senang jika Bara mengiyakan. Dengan begitu malam pertama akan diundur kan? Tapi ... Ah sudahlah. Bara nampak sangat tidak sabar. Hal yang justru membuat Laila merasa takut. Takut apa yang akan terjadi setelah ini. "Kenapa? Sama aja kan? Mau kita tinggal di rumah Abi ataupun di sini, sama-sama tidur nantinya," jawab Bara sembari membuka pintu rumahnya. Laila terdiam, malas menjawab. Tatapannya menganalisis ruangan rumah Bara yang terkesan besar saat pintu itu terbuka lebar. Sungguh, rumah ini tidak seperti rumahnya yang sederhana.Mata Laila terus menelusur. Tidak ada yang tertinggal dalam penglihatannya. Namun hanya satu yang hinggap dalam pikirannya. "Mas tinggal sendiri, " jawab Bara seolah tahu apa yang dipikirkan Laila. "Sebesar ini?" ucap Laila dalam hatinya."Apa tidak takut rumah sebesar ini hanya diisi satu
Laila mengerjapkan matanya dengan pelan. Tanpa sadar tangannya melingkar pada perut Bara. Bukannya melepaskan pelukan tersebut ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat dan... "Astagfirullah ..."Betapa terkejutnya Laila saat tersadar dari tidurnya. Tidak terkejut bagaimana? Bibirnya tanpa sadar tengah menempel pada pipi Bara. Sedang tangannya memeluk Bara dengan amat erat padanya. Sedekat ini? Laila menjauh, tidak menyangka kalau ia tidak sadar dalam hal ini. Untung saja ia yang lebih dulu bangun, kalau saja Bara-suaminya, dipastikan dia akan menggodanya secara terus-menerus.Laila melirik Bara yang masih memejamkan matanya. Dilihat dengan seperti ini membuat Laila langsung mengalihkan tatapannya. Sialnya suaminya itu benar-benar tampan jika tidur seperti ini. Membuatnya ingin kembali menatapnya.Laila beristigfar, ia menggeleng untuk menghempaskan akan pesona Bara. Dengan cepat Laila turun dari ranjangnya dan hendak menuju kamar mandi.***"Mas, bangun ..." Laila mene
Bara melajukan motor Vespanya dengan pelan. Menikmati udara segar yang masuk dalam hidungnya. Apalagi menikmati sesuatu yang membuatnya terasa nyaman. Siapa lagi kalau bukan ulah istrinya? Yang memeluknya dengan begitu erat. Sedangkan Laila, ia mencebik jengkel karena motor yang dikendarai suaminya itu amat pelan, seperti siput."Mas, masih jauh? " tanya Laila dengan perasaan dongkol. Perasaan sedari tadi motor ini seperti tidak berjalan. Ish benar-benar kesal! "Enggak kok. Sebentar lagi juga sampai," jawab Bara tersenyum tipis. Senyumnya tidak pernah luntur. Laila menghela nafas, berusaha untuk semakin sabar atas apa yang dilakukan Bara. "Enggak pakai helm?" tanya Laila. Bara terkekeh. "Kan niatnya mau jalan-jalan, bukan mau berpergian." Lagi, Laila terdiam tanpa merespon lagi. Nampaknya diam jauh lebih baik. "Udah sampai?" tanya Laila ketika laju motor berhenti. Matanya jatuh pada kaca spion di mana suaminya tengah menatapnya."Iya. Turun pelan-pelan, sayang..."Laila turun,
"Haciw!"Bibir Laila bergetar karena kedinginan, bersin yang keluar membuatnya semakin merapatkan selimut yang membungkus tubuhnya.Membungkus? Tubuhnya?Tunggu."Aaaaa!!" Jeritan Laila yang menggelegar membuat pintu kamar terbuka segera. Menampilkan sosok Bara yang nampak khawatir."Ada apa?""Berhenti di sana, Mas!" pekik Laila membuat Bara patuh."Apa yang telah kau lakukan padaku, Mas?!" teriak Laila kembali membuat Bara mengernyit. Namun tak urung ia menjawab, "Melakukan apa yang seharusnya Mas lakukan, memangnya kenapa?"Langkah kaki Bara kembali berjalan, membuat Laila kembali berteriak. Namun kali ini Bara hiraukan."Kau bertanya kenapa? Kau pasti menikmatinya saat aku tertidur kan?"Bara semakin mengernyit. Menikmati? Oh, Bara tahu ke arah mana pembahasan ini menuju.Bara tersenyum menggoda. Duduk di pinggir ranjang dan menatap istrinya yang semakin merapatkan selimutnya."Sepertinya begitu ... karena Mas, menikmatinya," jawabnya enteng, malah terkesan seperti desahan. "Lici