"Kenapa harus di rumah kamu? Kenapa enggak di rumah aku aja?" tanya Laila saat Bara menolak permintaan Abinya untuk tinggal di rumah lebih dahulu. Padahal Laila sudah senang jika Bara mengiyakan. Dengan begitu malam pertama akan diundur kan? Tapi ... Ah sudahlah. Bara nampak sangat tidak sabar. Hal yang justru membuat Laila merasa takut. Takut apa yang akan terjadi setelah ini. "Kenapa? Sama aja kan? Mau kita tinggal di rumah Abi ataupun di sini, sama-sama tidur nantinya," jawab Bara sembari membuka pintu rumahnya. Laila terdiam, malas menjawab. Tatapannya menganalisis ruangan rumah Bara yang terkesan besar saat pintu itu terbuka lebar. Sungguh, rumah ini tidak seperti rumahnya yang sederhana.Mata Laila terus menelusur. Tidak ada yang tertinggal dalam penglihatannya. Namun hanya satu yang hinggap dalam pikirannya. "Mas tinggal sendiri, " jawab Bara seolah tahu apa yang dipikirkan Laila. "Sebesar ini?" ucap Laila dalam hatinya."Apa tidak takut rumah sebesar ini hanya diisi satu
Laila mengerjapkan matanya dengan pelan. Tanpa sadar tangannya melingkar pada perut Bara. Bukannya melepaskan pelukan tersebut ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat dan... "Astagfirullah ..."Betapa terkejutnya Laila saat tersadar dari tidurnya. Tidak terkejut bagaimana? Bibirnya tanpa sadar tengah menempel pada pipi Bara. Sedang tangannya memeluk Bara dengan amat erat padanya. Sedekat ini? Laila menjauh, tidak menyangka kalau ia tidak sadar dalam hal ini. Untung saja ia yang lebih dulu bangun, kalau saja Bara-suaminya, dipastikan dia akan menggodanya secara terus-menerus.Laila melirik Bara yang masih memejamkan matanya. Dilihat dengan seperti ini membuat Laila langsung mengalihkan tatapannya. Sialnya suaminya itu benar-benar tampan jika tidur seperti ini. Membuatnya ingin kembali menatapnya.Laila beristigfar, ia menggeleng untuk menghempaskan akan pesona Bara. Dengan cepat Laila turun dari ranjangnya dan hendak menuju kamar mandi.***"Mas, bangun ..." Laila mene
Bara melajukan motor Vespanya dengan pelan. Menikmati udara segar yang masuk dalam hidungnya. Apalagi menikmati sesuatu yang membuatnya terasa nyaman. Siapa lagi kalau bukan ulah istrinya? Yang memeluknya dengan begitu erat. Sedangkan Laila, ia mencebik jengkel karena motor yang dikendarai suaminya itu amat pelan, seperti siput."Mas, masih jauh? " tanya Laila dengan perasaan dongkol. Perasaan sedari tadi motor ini seperti tidak berjalan. Ish benar-benar kesal! "Enggak kok. Sebentar lagi juga sampai," jawab Bara tersenyum tipis. Senyumnya tidak pernah luntur. Laila menghela nafas, berusaha untuk semakin sabar atas apa yang dilakukan Bara. "Enggak pakai helm?" tanya Laila. Bara terkekeh. "Kan niatnya mau jalan-jalan, bukan mau berpergian." Lagi, Laila terdiam tanpa merespon lagi. Nampaknya diam jauh lebih baik. "Udah sampai?" tanya Laila ketika laju motor berhenti. Matanya jatuh pada kaca spion di mana suaminya tengah menatapnya."Iya. Turun pelan-pelan, sayang..."Laila turun,
"Haciw!"Bibir Laila bergetar karena kedinginan, bersin yang keluar membuatnya semakin merapatkan selimut yang membungkus tubuhnya.Membungkus? Tubuhnya?Tunggu."Aaaaa!!" Jeritan Laila yang menggelegar membuat pintu kamar terbuka segera. Menampilkan sosok Bara yang nampak khawatir."Ada apa?""Berhenti di sana, Mas!" pekik Laila membuat Bara patuh."Apa yang telah kau lakukan padaku, Mas?!" teriak Laila kembali membuat Bara mengernyit. Namun tak urung ia menjawab, "Melakukan apa yang seharusnya Mas lakukan, memangnya kenapa?"Langkah kaki Bara kembali berjalan, membuat Laila kembali berteriak. Namun kali ini Bara hiraukan."Kau bertanya kenapa? Kau pasti menikmatinya saat aku tertidur kan?"Bara semakin mengernyit. Menikmati? Oh, Bara tahu ke arah mana pembahasan ini menuju.Bara tersenyum menggoda. Duduk di pinggir ranjang dan menatap istrinya yang semakin merapatkan selimutnya."Sepertinya begitu ... karena Mas, menikmatinya," jawabnya enteng, malah terkesan seperti desahan. "Lici
Laila menuruni anak tangga dengan pelan. Rasa pusing itu masih sedikit hinggap di kepalanya, tapi tidak menjadikan semangat Laila luntur untuk pergi ke kampus. Seharusnya sekarang ia memasak sesuatu untuk Bara, tapi karena Bara sendiri yang menolak membuat Laila hanya berdiam diri saja. Biar cepat sembuh! Itu katanya. "Wah ... istri aku udah turun ... cantik banget ..." Seruan dari Bara membuat Laila menoleh ke arahnya, yang mana dia menuju dirinya. "Mas?""Ayo, Mas tuntun.""Mas, aku bukan anak kecil. Enggak usah dituntun-tuntun segala!" tolak Laila. Bara hanya terkekeh. Kemudian merangkul sang istri untuk duduk di kursi meja makan. Walau sempat menolak tapi pada akhirnya Laila menurut. "Mas? Maaf aku enggak enak," ucap Laila membuat Bara nampak khawatir. "Badan kamu terasa enggak enak lagi, sayang? Mana lihat?" Dengan sigap Laila menghentikan tangan Bara yang ingin mengecek kondisinya. Laila menggeleng. "Maksudku, aku enggak enak karena cuman berdiam diri enggak bantu kamu,"
"Bara? Ke mana aja lo dua hari ini? Eum, apa jangan-jangan ...?" Jay yang baru saja keluar kelas disuguhi Bara yang nampak sumringah. Ia memicingkan matanya.Tak!"Tepat sekali ..." Bara menjitak pelipis Jay terlebih dahulu sebelum masuk kelas."Wah, wah, wah. Kenapa enggak live streaming?" timpal Bagas membuat Revan dan Daniel ikut nimbrung pasca Bara sudah duduk di tempatnya. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya 2 hari ini Bara lakukan.Dan tentang Bara dkk, sebelumnya mereka memang sekelas. Tidak heran jika mereka sering ada di mana-mana. "Kalo live, kesannya enggak seru!" balas Bara tanpa menghilangkan aura bahagianya. Ingatan akan Laila mencium pipi membuat dirinya tidak bisa berhenti untuk tidak tersenyum."Pantesan muka si bos cerah gitu. Kayak mutiara!" celetuk Jay membuat Bara mendengkus. "Apaan mutiara? Gajelas lo!""Eh maksud gue muka Om Bara berseri-seri!" seru Jay yang lagi mendapat pelototan Bara. "Om Bara ... lo kira gue udah Om-Om apa?"Revan, Daniel dan Bagas
Laila mengendap-endap dalam perjalanan menuju pulang. Takut ketahuan Bara.Sebelumnya suaminya itu meminta dirinya untuk menunggu di dalam mobil. Oh, tentu dirinya tidak ingin. Merasa kesal? Tentu saja! Entah mengapa mengingat akan Bara dan perempuan yang tidak ia kenali membuat otaknya mendidih, enggan bertemu dengan suaminya itu!Apalagi saat ini. Laila yang posisinya ingin pulang malah disuguhi oleh pemandangan yang sedang ia hindari. Suaminya itu sudah berdiri manis menyandar pada sisi mobil, membuatnya harus memutar jalan pulang.Dan kini berakhirlah seperti ini. Ia mengendap-endap ke jalan pintas. Untung kampus di sini ada jalur lain menjadikan dirinya mudah untuk kabur. Kabur dari cengkraman Bara maksudnya. Hanya saja jalan ini tentu sepi, karena jarang ada orang yang melintas jalur sini, membuat Laila takut sendiri.Permasalahan dengan Shaka sepertinya sudah berlalu begitu saja. Entah karena keadaan saat ini atau memang hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Intinya untu
Ting... Tong... Suara bel yang berbunyi membuat gerakan Laila terhenti. Perempuan itu terkekeh dengan senyum penuh kemenangan. "Ada tamu tuh," cengirnya yang malah membuat Bara berdecak. "Mau Laila yang bukain atau Mas?" tanya Laila membuat Bara mendengkus. "Mas saja! Nanti tamunya laki-laki lagi, terus terpincut deh sama kamu. Kan Mas gak mau," ucap Bara. Laila kemudian mengangguk. "Ya udah, aku mau ke kamar. Dahhh..." Laila tertawa mengejek. Untung saja ada tamu menjadikan ia tidak berhasil berciuman dengan Bara. "Laila? Yang tadi belum selesai ya?!"Namun, di luar dugaan. Bara berteriak pasca Laila sudah berada di atas tangga. *Laila menatap lekat tubuh tegap suaminya yang kini berada di depannya. Menjadi imam salat Isya bersama.Sebelumnya suaminya sendiri yang meminta dirinya untuk melaksanakan salat bersama. Tentu hal itu disetujui oleh Laila. Aneh memang, karena ini adalah hal yang benar-benar di luar perkiraan dirinya. Dalam salat bahkan Laila sampai menitikan air mat