Laila menuruni anak tangga dengan pelan. Rasa pusing itu masih sedikit hinggap di kepalanya, tapi tidak menjadikan semangat Laila luntur untuk pergi ke kampus. Seharusnya sekarang ia memasak sesuatu untuk Bara, tapi karena Bara sendiri yang menolak membuat Laila hanya berdiam diri saja. Biar cepat sembuh! Itu katanya. "Wah ... istri aku udah turun ... cantik banget ..." Seruan dari Bara membuat Laila menoleh ke arahnya, yang mana dia menuju dirinya. "Mas?""Ayo, Mas tuntun.""Mas, aku bukan anak kecil. Enggak usah dituntun-tuntun segala!" tolak Laila. Bara hanya terkekeh. Kemudian merangkul sang istri untuk duduk di kursi meja makan. Walau sempat menolak tapi pada akhirnya Laila menurut. "Mas? Maaf aku enggak enak," ucap Laila membuat Bara nampak khawatir. "Badan kamu terasa enggak enak lagi, sayang? Mana lihat?" Dengan sigap Laila menghentikan tangan Bara yang ingin mengecek kondisinya. Laila menggeleng. "Maksudku, aku enggak enak karena cuman berdiam diri enggak bantu kamu,"
"Bara? Ke mana aja lo dua hari ini? Eum, apa jangan-jangan ...?" Jay yang baru saja keluar kelas disuguhi Bara yang nampak sumringah. Ia memicingkan matanya.Tak!"Tepat sekali ..." Bara menjitak pelipis Jay terlebih dahulu sebelum masuk kelas."Wah, wah, wah. Kenapa enggak live streaming?" timpal Bagas membuat Revan dan Daniel ikut nimbrung pasca Bara sudah duduk di tempatnya. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya 2 hari ini Bara lakukan.Dan tentang Bara dkk, sebelumnya mereka memang sekelas. Tidak heran jika mereka sering ada di mana-mana. "Kalo live, kesannya enggak seru!" balas Bara tanpa menghilangkan aura bahagianya. Ingatan akan Laila mencium pipi membuat dirinya tidak bisa berhenti untuk tidak tersenyum."Pantesan muka si bos cerah gitu. Kayak mutiara!" celetuk Jay membuat Bara mendengkus. "Apaan mutiara? Gajelas lo!""Eh maksud gue muka Om Bara berseri-seri!" seru Jay yang lagi mendapat pelototan Bara. "Om Bara ... lo kira gue udah Om-Om apa?"Revan, Daniel dan Bagas
Laila mengendap-endap dalam perjalanan menuju pulang. Takut ketahuan Bara.Sebelumnya suaminya itu meminta dirinya untuk menunggu di dalam mobil. Oh, tentu dirinya tidak ingin. Merasa kesal? Tentu saja! Entah mengapa mengingat akan Bara dan perempuan yang tidak ia kenali membuat otaknya mendidih, enggan bertemu dengan suaminya itu!Apalagi saat ini. Laila yang posisinya ingin pulang malah disuguhi oleh pemandangan yang sedang ia hindari. Suaminya itu sudah berdiri manis menyandar pada sisi mobil, membuatnya harus memutar jalan pulang.Dan kini berakhirlah seperti ini. Ia mengendap-endap ke jalan pintas. Untung kampus di sini ada jalur lain menjadikan dirinya mudah untuk kabur. Kabur dari cengkraman Bara maksudnya. Hanya saja jalan ini tentu sepi, karena jarang ada orang yang melintas jalur sini, membuat Laila takut sendiri.Permasalahan dengan Shaka sepertinya sudah berlalu begitu saja. Entah karena keadaan saat ini atau memang hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Intinya untu
Ting... Tong... Suara bel yang berbunyi membuat gerakan Laila terhenti. Perempuan itu terkekeh dengan senyum penuh kemenangan. "Ada tamu tuh," cengirnya yang malah membuat Bara berdecak. "Mau Laila yang bukain atau Mas?" tanya Laila membuat Bara mendengkus. "Mas saja! Nanti tamunya laki-laki lagi, terus terpincut deh sama kamu. Kan Mas gak mau," ucap Bara. Laila kemudian mengangguk. "Ya udah, aku mau ke kamar. Dahhh..." Laila tertawa mengejek. Untung saja ada tamu menjadikan ia tidak berhasil berciuman dengan Bara. "Laila? Yang tadi belum selesai ya?!"Namun, di luar dugaan. Bara berteriak pasca Laila sudah berada di atas tangga. *Laila menatap lekat tubuh tegap suaminya yang kini berada di depannya. Menjadi imam salat Isya bersama.Sebelumnya suaminya sendiri yang meminta dirinya untuk melaksanakan salat bersama. Tentu hal itu disetujui oleh Laila. Aneh memang, karena ini adalah hal yang benar-benar di luar perkiraan dirinya. Dalam salat bahkan Laila sampai menitikan air mat
"Mas Bara ke mana ya?" Laila nampak khawatir karena jam sudah menunjukan tengah malam, tapi suaminya itu belum pulang pasca kejadian yang membuatnya menelan ludah kasar.Tunggu? Khawatir?Laila menggeleng. Tidak, tidak! Untuk apa dirinya mengkhawatirkan pria yang sudah merusak kebahagiaannya? Laila yang sempat mondar-mandir kembali duduk ditepi ranjang. Ia tadi sudah tertidur pulas, tapi entah mengapa dirinya harus terbangun di waktu tengah malam ini. Apalagi melihat suaminya yang ternyata tidak ada di sampingnya.Bukan, bukan karena dirinya khawatir. Hanya saja, dirinya takut sendirian dirumah sebesar ini ... takut ada pencuri."Ck! Mas Bara cepatlah pulang ... bagaimana jika nanti rumahmu ini dibawa oleh pencuri berbadan kekar?" monolog Laila memikirkan akan kemungkinan.Laila nampak resah. Mengambil ponsel dan menelfon ke nomor suaminya.Tidak ada jawaban.Lagi, Laila kembali menekan nomor suaminya. Tubuhnya bahkan kembali bergerak mondar-mandir.Tidak ada jawaban.Laila mendeng
"Laila? Bangun, sayang..."Bara menepuk pelan pipi istrinya agar terbangun."Emm, sebentar lagi aja Mas. Laila masih ngantuk banget." Laila menaikan selimutnya sampai menutup kepala, membuat Bara berdecak sebal. Namun tak urung dirinya tersenyum. Ia duduk di samping sang istri."Yakin cuma sebentar? Gak mau dapet kekayaan yang luasnya mengalahkan dunia dan seisinya?"Laila bangkit setelah mendengar penuturan tersebut. Menatap suaminya yang tengah tersenyum amat manis, namun tidak manis dimatanya.Laila menilik-nilik suaminya dari atas sampai bawah. Benar-benar seperti seorang Ustadz. Walau terdapat banyak memar dibagian rahang dan pelipisnya tidak mengurangi kadar ketampanan seorang Bara."Jangan bengong. Cepat ke kamar mandi sana. Mas tunggu di mushola, ya?"CupSehabis mengatakan itu Bara beranjak pergi. Berbeda dengan Laila yang langsung membeku pasca suaminya itu mencium pipi kirinya."Ish! Kenapa dia selalu mencium pipiku!?" Laila menjerit dalam hati. Namun tak urung pipinya tiba
[Tunggu Mas diparkiran! Awas aja kalau sampai kabur lagi!] Laila menghela nafas pasrah menerima pesan berupa peringatan dari suaminya itu. Dengan malas ia memasukan kembali ponselnya ke dalam tas."Ayo, Na," ujarnya kepada Dena.Dena mengangguk yang kemudian berjalan keluar dari kelas."Laila, sekarang ... apa Bara mulai menunjukan sifat aslinya?" Dena berucap, menyamakan langkah kakinya.Laila bergeming. Menggeleng pelan. "Belum, atau mungkin memang belum waktunya," jawabnya acuh."Ha? Maksudmu?" Dena tidak mengerti akan ucapan Laila itu."Em, maksudku. Mungkin, dia akan menunjukannya saat aku jatuh cinta padanya. Kau tahu kan, kalau seseorang sudah jatuh cinta dirinya akan nampak bodoh di hadapan orang yang dia cintai. "Dena mengangguk membenarkan. "Kau belum mempertanyakan tentang kejadian malam itu?" tanya Dena membuat langkah Laila seketika terhenti."Aku ingin mempertanyakan hal itu,Na. Tapi ... aku takut pertanyaan itu malah membuatku terjebak. Aku--aku takut kalau Mas Bara ma
Masih dalam keterdiaman diantara keduanya. Sampai mobil Bara berhenti di depan rumah Laila."Ayo,sayang." Bara keluar terlebih dahulu untuk mengeluarkan sebagian oleh-oleh yang tadi dirinya beli. Sedangkan Laila masih diam di tempat. Masih memikirkan kejadian tadi.Tok Tok TokBara mengetuk kaca mobil yang tertutup itu, memperlihatkan wajah Laila setelah kaca tersebut terbuka."Sudah selesai melamunnya?" tanya Bara tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. "Jangan dipikirkan, nanti saja kita lakukan selepas pulang dari sini."Tuk!Laila mengetuk kening Bara saat itu juga. Bisa-bisanya otaknya itu berpikir belok seperti itu. "Gak ya, Mas!" Bara seketika tertawa saat itu juga. Sedangkan Laila ia mendelik dan langsung keluar dari dalam mobil."Pokoknya harus! Kan tadi kamu yang nawarin buat di rumah." Bara masih bersi kukuh meminta. Sedangkan Laila, ia semakin menelan salivanya susah payah."Gak ya Mas! Permintaanmu ini benar-benar aneh!" Laila dengan segera mengalihkan pandangannya namun