Laila mengendap-endap dalam perjalanan menuju pulang. Takut ketahuan Bara.Sebelumnya suaminya itu meminta dirinya untuk menunggu di dalam mobil. Oh, tentu dirinya tidak ingin. Merasa kesal? Tentu saja! Entah mengapa mengingat akan Bara dan perempuan yang tidak ia kenali membuat otaknya mendidih, enggan bertemu dengan suaminya itu!Apalagi saat ini. Laila yang posisinya ingin pulang malah disuguhi oleh pemandangan yang sedang ia hindari. Suaminya itu sudah berdiri manis menyandar pada sisi mobil, membuatnya harus memutar jalan pulang.Dan kini berakhirlah seperti ini. Ia mengendap-endap ke jalan pintas. Untung kampus di sini ada jalur lain menjadikan dirinya mudah untuk kabur. Kabur dari cengkraman Bara maksudnya. Hanya saja jalan ini tentu sepi, karena jarang ada orang yang melintas jalur sini, membuat Laila takut sendiri.Permasalahan dengan Shaka sepertinya sudah berlalu begitu saja. Entah karena keadaan saat ini atau memang hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Intinya untu
Ting... Tong... Suara bel yang berbunyi membuat gerakan Laila terhenti. Perempuan itu terkekeh dengan senyum penuh kemenangan. "Ada tamu tuh," cengirnya yang malah membuat Bara berdecak. "Mau Laila yang bukain atau Mas?" tanya Laila membuat Bara mendengkus. "Mas saja! Nanti tamunya laki-laki lagi, terus terpincut deh sama kamu. Kan Mas gak mau," ucap Bara. Laila kemudian mengangguk. "Ya udah, aku mau ke kamar. Dahhh..." Laila tertawa mengejek. Untung saja ada tamu menjadikan ia tidak berhasil berciuman dengan Bara. "Laila? Yang tadi belum selesai ya?!"Namun, di luar dugaan. Bara berteriak pasca Laila sudah berada di atas tangga. *Laila menatap lekat tubuh tegap suaminya yang kini berada di depannya. Menjadi imam salat Isya bersama.Sebelumnya suaminya sendiri yang meminta dirinya untuk melaksanakan salat bersama. Tentu hal itu disetujui oleh Laila. Aneh memang, karena ini adalah hal yang benar-benar di luar perkiraan dirinya. Dalam salat bahkan Laila sampai menitikan air mat
"Mas Bara ke mana ya?" Laila nampak khawatir karena jam sudah menunjukan tengah malam, tapi suaminya itu belum pulang pasca kejadian yang membuatnya menelan ludah kasar.Tunggu? Khawatir?Laila menggeleng. Tidak, tidak! Untuk apa dirinya mengkhawatirkan pria yang sudah merusak kebahagiaannya? Laila yang sempat mondar-mandir kembali duduk ditepi ranjang. Ia tadi sudah tertidur pulas, tapi entah mengapa dirinya harus terbangun di waktu tengah malam ini. Apalagi melihat suaminya yang ternyata tidak ada di sampingnya.Bukan, bukan karena dirinya khawatir. Hanya saja, dirinya takut sendirian dirumah sebesar ini ... takut ada pencuri."Ck! Mas Bara cepatlah pulang ... bagaimana jika nanti rumahmu ini dibawa oleh pencuri berbadan kekar?" monolog Laila memikirkan akan kemungkinan.Laila nampak resah. Mengambil ponsel dan menelfon ke nomor suaminya.Tidak ada jawaban.Lagi, Laila kembali menekan nomor suaminya. Tubuhnya bahkan kembali bergerak mondar-mandir.Tidak ada jawaban.Laila mendeng
"Laila? Bangun, sayang..."Bara menepuk pelan pipi istrinya agar terbangun."Emm, sebentar lagi aja Mas. Laila masih ngantuk banget." Laila menaikan selimutnya sampai menutup kepala, membuat Bara berdecak sebal. Namun tak urung dirinya tersenyum. Ia duduk di samping sang istri."Yakin cuma sebentar? Gak mau dapet kekayaan yang luasnya mengalahkan dunia dan seisinya?"Laila bangkit setelah mendengar penuturan tersebut. Menatap suaminya yang tengah tersenyum amat manis, namun tidak manis dimatanya.Laila menilik-nilik suaminya dari atas sampai bawah. Benar-benar seperti seorang Ustadz. Walau terdapat banyak memar dibagian rahang dan pelipisnya tidak mengurangi kadar ketampanan seorang Bara."Jangan bengong. Cepat ke kamar mandi sana. Mas tunggu di mushola, ya?"CupSehabis mengatakan itu Bara beranjak pergi. Berbeda dengan Laila yang langsung membeku pasca suaminya itu mencium pipi kirinya."Ish! Kenapa dia selalu mencium pipiku!?" Laila menjerit dalam hati. Namun tak urung pipinya tiba
[Tunggu Mas diparkiran! Awas aja kalau sampai kabur lagi!] Laila menghela nafas pasrah menerima pesan berupa peringatan dari suaminya itu. Dengan malas ia memasukan kembali ponselnya ke dalam tas."Ayo, Na," ujarnya kepada Dena.Dena mengangguk yang kemudian berjalan keluar dari kelas."Laila, sekarang ... apa Bara mulai menunjukan sifat aslinya?" Dena berucap, menyamakan langkah kakinya.Laila bergeming. Menggeleng pelan. "Belum, atau mungkin memang belum waktunya," jawabnya acuh."Ha? Maksudmu?" Dena tidak mengerti akan ucapan Laila itu."Em, maksudku. Mungkin, dia akan menunjukannya saat aku jatuh cinta padanya. Kau tahu kan, kalau seseorang sudah jatuh cinta dirinya akan nampak bodoh di hadapan orang yang dia cintai. "Dena mengangguk membenarkan. "Kau belum mempertanyakan tentang kejadian malam itu?" tanya Dena membuat langkah Laila seketika terhenti."Aku ingin mempertanyakan hal itu,Na. Tapi ... aku takut pertanyaan itu malah membuatku terjebak. Aku--aku takut kalau Mas Bara ma
Masih dalam keterdiaman diantara keduanya. Sampai mobil Bara berhenti di depan rumah Laila."Ayo,sayang." Bara keluar terlebih dahulu untuk mengeluarkan sebagian oleh-oleh yang tadi dirinya beli. Sedangkan Laila masih diam di tempat. Masih memikirkan kejadian tadi.Tok Tok TokBara mengetuk kaca mobil yang tertutup itu, memperlihatkan wajah Laila setelah kaca tersebut terbuka."Sudah selesai melamunnya?" tanya Bara tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. "Jangan dipikirkan, nanti saja kita lakukan selepas pulang dari sini."Tuk!Laila mengetuk kening Bara saat itu juga. Bisa-bisanya otaknya itu berpikir belok seperti itu. "Gak ya, Mas!" Bara seketika tertawa saat itu juga. Sedangkan Laila ia mendelik dan langsung keluar dari dalam mobil."Pokoknya harus! Kan tadi kamu yang nawarin buat di rumah." Bara masih bersi kukuh meminta. Sedangkan Laila, ia semakin menelan salivanya susah payah."Gak ya Mas! Permintaanmu ini benar-benar aneh!" Laila dengan segera mengalihkan pandangannya namun
"Sayang, Mas Bara mau keluar dulu ya. Lagi ada urusan sebentar."Kini mereka tengah berada di kamar Bara. Sejam lalu mereka sudah pulang—menuju kediaman Bara.Laila yang tengah berbaring itu beranjak bangkit—duduk. Menatap suaminya yang tengah menyisir rambut. Begitu rapi dan nampak lebih keren. Ah, suaminya itu memang selalu keren. Memancarkan aura ketampanan."Sore begini? Ada apa, Mas?"Bara tersenyum samar. Menyimpan sisir yang baru ia gunakan. Tangannya mengambil parfum —menyemprotkannya pada sebagian tubuhnya."Hanya urusan pekerjaan, sayang." Bara melangkah menuju ranjang sang istri. Wangi parfum menyeruak memenuhi ruangan itu."Oh, iya. Nanti Mas bakal nyariin asisten rumah tangga buat istri Mas tercinta ini." Bara mencubit pelan hidung mungil Laila. Membuat Laila berdecak saat itu juga."Senang gak? Kalau enggak senang, Mas... ""Senang kok. Laila senang." Laila berseru bahagia. Tentu saja ia senang. Itu berarti dirinya tidak akan kesepian dan dia tidak akan terlalu takut jik
Plak!Kepala Laila reflek menoleh ke kanan saat sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Dengan sigap Laila memejamkan matanya sembari menyentuh pipinya yang terasa panas. Matanya nampak berkaca-kaca akibat tamparan keras itu. Seumur hidup, orangtuanya saja tidak pernah menamparnya tapi orang lain?Sherin mengerang marah. Darahnya mencapai ubun-ubun. Menatap Laila dengan sorot penuh kebencian. Bahkan tangannya tidak menyesal telah menampar mukanya. Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang wanita di depannya ini lakukan."Itu hukuman lo Laila! Hukuman lo karena ngebiarin Bara merasakan penderitaannya!" Laila menoleh mendengar teriakan dari Sherin.Nafas Sherin narik-turun. "Lo itu istrinya atau bukan, ha?!"Laila melepaskan tangannya dari pipi. "Sherin! Pelankan suaramu! Atau--""Atau apa? Lo mau mukul gue, tampar gue?" Laila terdiam menahan emosinya. Ia benar-benar tidak mengerti akan pusat permasalahan ini. Semuanya ... dirinya benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarn
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,