Setelah kepergian Sherin, Laila mengusap air matanya yang jatuh menetes. Setelahnya ia masuk ke kamar di mana Bara dibaringkan.Laila menghela nafas kasar. Dengan cepat dirinya mendekat menuju ranjang. Membuka sepatu Bara yang masih melekat itu.Ia kemudian duduk di tepi ranjang, menyentuh pipinya yang masih berdenyut sakit akibat tamparan itu.Namun ada hal yang lebih sakit dari itu. Mengetahui bahwa Bara ternyata hanya berpura-pura mencintainya. Ada alasan lain yang membuat pernikahan ini terjadi. Tapi apa? Apa tujuan Bara menikahinya? Sedari awal pernikahan ini memang begitu mengganjal hatinya. Tapi yang lebih heran Abinya malah menerima lamaran ini. Sebenarnya ada hal apa yang tidak dirinya ketahui?Laila melirik suaminya yang tengah tertidur pulas. Menatapnya membuat rasa sakit dihatinya malah bertambah saja. Namun tak urung Laila menaikan selimut untuk menutup tubuh Bara. Menariknya sampai batas dada.Dalam diam, Laila terus menatap suaminya yang tertidur pulas. Keringat di peli
“Bara juara 1, Bara juara 1. Ayah pasti senang, Ayah pasti senang.” Saat itu Bara kecil berumur 8 tahun berlari dengan membawa sebuah piala besar. Ia berlari melewati jalan yang dilalui beberapa kendaraan mobil dan motor. Walau begitu, ia berlari tentu lewat pinggir jalan.Tidak perduli dengan terik matahari yang menyengat ujung kepalanya. Karena yang lebih penting adalah ia harus membawa piala ini ke Ayahnya.Bara terus bersenandung bernyanyi akan kemenanganya. Sampai suara klakson tiba-tiba menghentikan nyanyiannya itu.Tin!“Al? Kenapa jalan? Ayo masuk mobil.” Suara itu terdengar pasca kaca jendela mobil terbuka menampilkan seorang gadis kecil.Bara kecil menggeleng senang. “Enggak, Rin. Kamu duluan aja, Bara mau jalan kaki.”Bara kembali melangkahkam kakinya.“Bara?”Anak gadis itu tiba-tiba turun dari mobilnya. Mencekal lengan Bara—menghentikannya.“Ayo, Bara! Rumah kita dekat, jadi enggak boleh nolak,ya?” “Tapi Sherin?” Bara menggeleng tidak mau. Bukan lebih tepatnya ia malu
Bara terbangun dan langsung terduduk. Nafasnya terengah-engah dengan pelipis yang dibanjiri oleh keringat.“Mas Bara, minum dulu. Mas pasti habis mimpi buruk.” Laila dengan sigap menyodorkan minuman kepada Bara. Masih dalam keterdiaman Bara mengambil air tersebut dan meminumnya.“Mas?”“Laila ...”Tanpa mendengar ucapan Laila, Bara dengan cepat memeluk tubuhnya. Memeluknya dengan begitu erat.“Tidak Laila. Jangan, Mas mohon, jangan tinggalkan, Mas ...”Laila dibuat terdiam sejenak. Namun dengan refleks ia membalas pelukan dari Bara. Tangannya mengelus punggung suaminya dengan pelan.Apa suaminya masih tidak sadarkan diri?“Mas mohon Laila ...” Ada rasa yang amat penuh pengharapan dari bibir yang dia keluarkan. Membuat Laila benar-benar dibuat bimbang akan keadaan Bara saat ini. Apa ini ... hanya kepura-puraan?Laila masih terdiam. Bukan enggan menjawab, hanya saja tidak ada jawaban tepat untuk dijawab dalam hal ini.“Laila...?” Bara melepaskan pelukan itu karena tidak mendapat respon
Ting! Tong!Ting! Tong!Pagi ini rumah dikediaman Bara terdengar bunyi bel. Sepagi ini bunyi bel itu benar-benar begitu terdengar nyaring. Membuat gadis yang masih tertidur pulas itu terusik.Mata gadis itu terbuka, mengerjapkan untuk beberapa saat sampai ia sadar bahwa ternyata ini sudah sangat pagi."Mas Bara?!" Laila berteriak saat tak mendapati suaminya tidak ada di sampingnya. Dengan refleks ia melihat jam di atas dinding sana. 07.30. Astaga! Ia kesiangan bangun. Dengan cepat Laila beringsut keluar. Sampai kepalanya tiba-tiba menubruk sesuatu yang lumayan keras. Ia mendongak, menatap suaminya yang ternyata sudah berdiri gagah di depannya."Sudah bangun ternyata...""Mas! Kenapa enggak bangunin Laila?" Ia kesal setengah mati. Bisa-bisanya suaminya itu tidak membangunkannya.Sayangnya, Bara hanya menampilkan wajah so coll nya. Ia mengedikan bahu acuh. "Mas enggak tega bangunin bidadari yang nampak kelelahan ini. Lagian, bidadari Mas Bara masih datang bulan, makannya enggak diban
"Jadi, sayang ... Ibu ini adalah asisten rumah tangga kita sekarang. Dia namanya Bu Eka ... sekarang kau tidak akan merasa kesepian," tutur Bara membuat Laila menatap wanita yang tengah tersenyum ke arahnya. Ia ikut membalas senyuman ramah itu. Namun, pikirannya jelas masih terpikirkan atas kejadian tadi. Benar-benar memalukan! Untung saja wanita yang kini menjadi asisten rumah tangga ini tidak melihat aksinya tadi. Kalau saja sampai tadi dibuka pintu olehnya... Oh tidak! Laila menggeleng. Benar-benar merasa seorang gadis yang bodoh. Kenapa pula dirinya menerima perlakuan dari suaminya itu? Bukankah suaminya itu..."Non?"Laila tersentak saat wanita paruh baya itu menyentuh tangannya. Membuyarkan lamunannya."Iya?" Laila langsung menatap Wanita itu. Lirikan matanya sesekali melirik Bara yang hanya tersenyum."Non, boleh panggil Mbok Eka aja, ya?" ujarnya seraya melepaskan tangannya.Laila mengangguk. Tersenyum untuk menutupi kecanggungannya.Kini Ia berpikir bahwa mungkin wanita in
Laila menampilkan sederet giginya terlebih dahulu. Sedangkan Mbok Eka, hanya mengusap-usap tengkuknya yang tertutup kerudung itu."Enggak pa-pa, Mas. Tadi kami tidak sengaja saling mengejutkan satu sama lainnya," ujar Laila seraya melirik Mbok Eka. Namun, sepertinya Mbok Eka tidak mengerti akan maksud dari ucapan Laila.Bara nampak mengerut, mengernyit bingung."Memangnya ada apaan? Kok ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Bara seraya menutup pintu kamar tersebut. Laila nampak gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa. "Begini Den, tadi itu ada paket yang mengirim ke sini. Katanya itu buat Non Laila. Nah, dari situ Mbok mau ngasih tahu Non Laila. Tapi melihat Non Laila yang berada di depan pintu kamar ini, membuat Mbok ke sini. Tapi saat---""Mbok. Sekarang paketnya ada di mana?"Laila langsung memotong ucapan Mbok Eka. Mampus! Mbok Eka terlalu jujur, bisa-bisa setelah ini suaminya itu bakal mengintogerasi dirinya."Masih di bawah, Non. Tapi katanya ... itu dari seseorang. Dan harus sama
Setelah kejadian sore tadi, keduanya nampak saling terdiam satu sama lainnya hingga malam ini.Bara yang merasa canggung, pun dengan Laila yang ikut canggung.Sampai akhirnya...“Sayang ...”Bara tidak kuat akan situasi ini. Membuatnya merengek kepada sang istri yang kini tengah duduk bersilang di depan tv.Ia yang sedari tadi berkutik dengan beberapa kertas langsung berhambur membaringkan tubuhnya dipangkuan sang istri. Tentu hal itu membuat sang empu tersentak kaget. Namun tak urung Laila langsung menurunkan kakinya menjuntai ke lantai.“Mas ...”“Jangan marah lagi ya? Maafkan Mas deh, Yang...”Bara nampak enggan untuk menatap Laila. Ia hanya memeluk tubuh istrinya dan menangkupkan kepalanya pada perut sang istri.Laila bergeming. Tidak tahu harus berkata apa dalam situasi ini. Jika dipikirkan ... jelas dirinya yang salah di sini karena tadi dirinya telah menolak keinginan sang suami. Tapi melihat Bara sekarang, kenapa dia yang meminta maaf?“Mas tidak akan lakukan hal itu lagi, Lai
Nyatanya, kepergian Bara hari ini akan benar-benar terlaksana. Semua keperluan dari mulai baju,makanan dan kebutuhan lainnya sudah Laila siapkan. Ada rasa enggan jika suaminya itu pergi tapi di sisi lain ia juga merasa tenang karena tidak ada yang membuatnya risih.Ah, dasar aku! Kenapa jadi rumit begini? Pikir Laila yang sibuk mengemas."Sayang ... tolong pasangin dasi dong."Bara yang baru masuk ke dalam kamar membuat perkerjaan Laila terhenti. Ia membalik badan menatap suaminya yang sudah nampak rapi dengan stelan jas nya. Benar-benar begitu tampan nan elegan. Penuh wibawa dan gagah.Dengan wajah ceria Laila tersenyum, beringsut mengambil dasi yang baru saja Bara ulurkan.Dengan telaten Laila melingkarkan dasi itu di leher Bara."Bagaimana penampilan Mas hari ini?" tanya Bara disela-sela tangan Laila yang tengah bergerak lincah."Sangat tampan."Bara nampak berbinar mendengar pujian dari sang istri. Baru sekarang ia mendengar langsung dari mulut Laila. "Beneran nih?" tanya Bara me
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,