Ting! Tong!Ting! Tong!Pagi ini rumah dikediaman Bara terdengar bunyi bel. Sepagi ini bunyi bel itu benar-benar begitu terdengar nyaring. Membuat gadis yang masih tertidur pulas itu terusik.Mata gadis itu terbuka, mengerjapkan untuk beberapa saat sampai ia sadar bahwa ternyata ini sudah sangat pagi."Mas Bara?!" Laila berteriak saat tak mendapati suaminya tidak ada di sampingnya. Dengan refleks ia melihat jam di atas dinding sana. 07.30. Astaga! Ia kesiangan bangun. Dengan cepat Laila beringsut keluar. Sampai kepalanya tiba-tiba menubruk sesuatu yang lumayan keras. Ia mendongak, menatap suaminya yang ternyata sudah berdiri gagah di depannya."Sudah bangun ternyata...""Mas! Kenapa enggak bangunin Laila?" Ia kesal setengah mati. Bisa-bisanya suaminya itu tidak membangunkannya.Sayangnya, Bara hanya menampilkan wajah so coll nya. Ia mengedikan bahu acuh. "Mas enggak tega bangunin bidadari yang nampak kelelahan ini. Lagian, bidadari Mas Bara masih datang bulan, makannya enggak diban
"Jadi, sayang ... Ibu ini adalah asisten rumah tangga kita sekarang. Dia namanya Bu Eka ... sekarang kau tidak akan merasa kesepian," tutur Bara membuat Laila menatap wanita yang tengah tersenyum ke arahnya. Ia ikut membalas senyuman ramah itu. Namun, pikirannya jelas masih terpikirkan atas kejadian tadi. Benar-benar memalukan! Untung saja wanita yang kini menjadi asisten rumah tangga ini tidak melihat aksinya tadi. Kalau saja sampai tadi dibuka pintu olehnya... Oh tidak! Laila menggeleng. Benar-benar merasa seorang gadis yang bodoh. Kenapa pula dirinya menerima perlakuan dari suaminya itu? Bukankah suaminya itu..."Non?"Laila tersentak saat wanita paruh baya itu menyentuh tangannya. Membuyarkan lamunannya."Iya?" Laila langsung menatap Wanita itu. Lirikan matanya sesekali melirik Bara yang hanya tersenyum."Non, boleh panggil Mbok Eka aja, ya?" ujarnya seraya melepaskan tangannya.Laila mengangguk. Tersenyum untuk menutupi kecanggungannya.Kini Ia berpikir bahwa mungkin wanita in
Laila menampilkan sederet giginya terlebih dahulu. Sedangkan Mbok Eka, hanya mengusap-usap tengkuknya yang tertutup kerudung itu."Enggak pa-pa, Mas. Tadi kami tidak sengaja saling mengejutkan satu sama lainnya," ujar Laila seraya melirik Mbok Eka. Namun, sepertinya Mbok Eka tidak mengerti akan maksud dari ucapan Laila.Bara nampak mengerut, mengernyit bingung."Memangnya ada apaan? Kok ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Bara seraya menutup pintu kamar tersebut. Laila nampak gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa. "Begini Den, tadi itu ada paket yang mengirim ke sini. Katanya itu buat Non Laila. Nah, dari situ Mbok mau ngasih tahu Non Laila. Tapi melihat Non Laila yang berada di depan pintu kamar ini, membuat Mbok ke sini. Tapi saat---""Mbok. Sekarang paketnya ada di mana?"Laila langsung memotong ucapan Mbok Eka. Mampus! Mbok Eka terlalu jujur, bisa-bisa setelah ini suaminya itu bakal mengintogerasi dirinya."Masih di bawah, Non. Tapi katanya ... itu dari seseorang. Dan harus sama
Setelah kejadian sore tadi, keduanya nampak saling terdiam satu sama lainnya hingga malam ini.Bara yang merasa canggung, pun dengan Laila yang ikut canggung.Sampai akhirnya...“Sayang ...”Bara tidak kuat akan situasi ini. Membuatnya merengek kepada sang istri yang kini tengah duduk bersilang di depan tv.Ia yang sedari tadi berkutik dengan beberapa kertas langsung berhambur membaringkan tubuhnya dipangkuan sang istri. Tentu hal itu membuat sang empu tersentak kaget. Namun tak urung Laila langsung menurunkan kakinya menjuntai ke lantai.“Mas ...”“Jangan marah lagi ya? Maafkan Mas deh, Yang...”Bara nampak enggan untuk menatap Laila. Ia hanya memeluk tubuh istrinya dan menangkupkan kepalanya pada perut sang istri.Laila bergeming. Tidak tahu harus berkata apa dalam situasi ini. Jika dipikirkan ... jelas dirinya yang salah di sini karena tadi dirinya telah menolak keinginan sang suami. Tapi melihat Bara sekarang, kenapa dia yang meminta maaf?“Mas tidak akan lakukan hal itu lagi, Lai
Nyatanya, kepergian Bara hari ini akan benar-benar terlaksana. Semua keperluan dari mulai baju,makanan dan kebutuhan lainnya sudah Laila siapkan. Ada rasa enggan jika suaminya itu pergi tapi di sisi lain ia juga merasa tenang karena tidak ada yang membuatnya risih.Ah, dasar aku! Kenapa jadi rumit begini? Pikir Laila yang sibuk mengemas."Sayang ... tolong pasangin dasi dong."Bara yang baru masuk ke dalam kamar membuat perkerjaan Laila terhenti. Ia membalik badan menatap suaminya yang sudah nampak rapi dengan stelan jas nya. Benar-benar begitu tampan nan elegan. Penuh wibawa dan gagah.Dengan wajah ceria Laila tersenyum, beringsut mengambil dasi yang baru saja Bara ulurkan.Dengan telaten Laila melingkarkan dasi itu di leher Bara."Bagaimana penampilan Mas hari ini?" tanya Bara disela-sela tangan Laila yang tengah bergerak lincah."Sangat tampan."Bara nampak berbinar mendengar pujian dari sang istri. Baru sekarang ia mendengar langsung dari mulut Laila. "Beneran nih?" tanya Bara me
Matahari mulai menampakkan cakrawalanya di atas langit,membuat mataku menyipit melihat kepergian suamiku. Aku tersenyum sembari melambaikan tangan tinggi-tinggi, setelahnya seulas senyum itu kembali luntur saat mobilnya sudah tidak ada dalam pandanganku. Entah mengapa tapi rasanya ... terasa kehilangan sesuatu. Terasa sepi dan semangatku menghilang.Sejenak, aku menghela nafas. Melangkahkan kakiku memasuki rumah. Kini terlihatlah Mbok Eka yang tengah membersihkan sisa sarapan yang tadi kami lakukan bersama. Dengan berbinar aku menghampirinya."Mbok?" tanyaku seraya duduk di kursi meja makan. Kulihat Mbok Eka langsung menatapku."Iya, Non?"Aku diam-diam mengamati Mbok Eka. Sejak awal melihat keakraban Mas Bara dan Mbok Eka, membuatku bertanya-tanya akan hubungan mereka. Barangkali mereka memang sudah saling kenal atau mungkin itu hanya pikiranku saja akan mereka.Dengan canggung aku tersenyum terlebih dahulu. Masih jam 07.00, sedangkan masuk kampus nanti jam 08.00, jadi bisa dong ber
"Mbok, Bara lapar ... boleh Bara minta makan?"Mbok Eka sejenak menatap Bara kecil yang kini berumur 10 tahun itu. Dengan segera ia tersenyum mengangguk dan membawakan makanan untuk Bara."Makannya di sini aja ya, Den ... takutnya Ayah Aden marah lagi."Dengan polosnya Bara mengangguk ceria. Ia mengambil piring yang berisi lauk-pauk itu dari tangan Mbok Eka. Setelahnya ia duduk di dekat meja cucian dapur. Duduk yang hanya beralaskan lantai. Niatnya ia melakukan hal itu hanya satu, bersembunyi dari kemarahan Ayahnya."Mbok udah makan?" tanya Bara disela-sela kunyahannya.Mbok Eka melirik, ikut duduk di dekat Bara."Udah. Aden habisin ya makanannya." Mbok Eka mengusap puncuk kepala Bara yang sebelumnya mengangguk. Dia melanjutkan makannya.Tak terasa, bulir air mata jatuh membasahi pipi Mbok Eka. Bibirnya bergetar tidak kuat menerima pemandangan ini. Sekuat tenaga ia tahan agar tidak terdengar oleh Bara yang tengah asik makan.Sejak kepergian Mira —bundanya Bara. Semuanya benar-benar be
Mendengar cerita Mbok Eka, aku tidak bisa membendung tangis ini. Aku ikut menangis deras sembari memeluk wanita paruh baya di samping.Kisah Mas Bara membuat hatiku ikut tercabik-cabik. Betapa menderitanya kisah hidupnya masa itu. Membuatku lagi-lagi tidak bisa membendung air mata yang kian berjatuhan.“Non ... Den Bara, dia ..."Aku masih khusu terdiam —mendengarkan dengan seksama cerita dari Mbok Eka. Walau hatiku nyatanya amat pedih mendengarnya.“Dia, diusir bersama Mbok yang saat itu kepergok. Padahal Mbok hanya memberinya makan tapi Tuan ..."Bibir wanita paruh baya ini tercekat bersamaan tangis yang berusaha mungkin ia tahan.“Saat itu Mbok putuskan membawa Den Bara ke kampung halaman Mbok, tentu bersama suami, karena saat itu suami Mbok juga diusir. Mbok tidak tahu apa yang tuan pikirkan, kenapa dia amat tega kepada anaknya sendiri. Dia ... tidak adil kepada anaknya, sedangkan kepada anak yang lain dia ... amat menyayanginya."Mbok Eka berusaha berbicara walau sesekali nafasny