Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
“A-apa ya-ng akan k--au lakukan Bara ...?” Dengan susah payah Laila meneguk salivanya saat Bara mulai mendekatinya dengan kancing yang terus ia buka."Melakukan hal yang seharusnya dilakukan," jawab Bara. “Jangan mendekat!” teriak Laila saat Bara semakin mendekat. "Berhenti Bara?! Aku bilang jangan mendekat?!" teriak Laila sembari melempar sebuah benda yang entah apa. Laila ketakutan, dia melempari barang yang ada di sekitarnya. Semakin dilempar semakin keras pula suara nyaring itu terdengar. Namun sayang, tidak ada satupun benda yang mengenai Bara. Tangis Laila pecah dengan tubuh yang masih bergerak mundur, “Bara, aku bilang berhenti di sana!”Laila, si gadis berhijab itu kini tidak bisa kemana-mana lagi saat tangan Bara mengukungnya disudut tembok dengan sangat kasar.Laila terus saja memberontak ingin dikeluarkan dengan air mata yang terus merembes.“Jangan berani kamu sentuh saya, brengsek!” teriak Laila marah yang diiringi dengan tangisnya.Bara terkekeh mendengar gaya Laila ya
Hafsah Laila Azzahra. Gadis tulen dengan segala kesederhanaan yang dimiliknya. Gadis bermanik mata hitam dengan pakaian yang selalu menutup tubuhnya menjadikannya terkesan anggun dan menawan. Tak lupa memiliki gingsul di bagian kanannya. Hidup dengan kekayaan yang sangat sederhana menjadikan seorang Laila mensyukuri atas setiap pemberian dari sang Maha Pencipta. Bahkan sekolah pun ia lakukan hanya karena mendapat beasiswa akan prestasinya. Dan semua itu ia berhasil sampai dirinya menginjak di fakultas kampus terkenal.Menginjak semester 3, Laila semakin difokuskan dengan kegiatan-kegiatan yang ada di kampusnya. Hal itu ia lakukan untuk mencapai cita-cita. Lagian, sebentar lagi ia akan menginjak semester 4, menjadikan ia harus lebih bersemangat dalam hal apapun lagi.Namun, sampai pada tragedi malam itu, malam di mana Laila yang akan dilecehkan ditukar dengan sebuah pernikahan yang tidak ia harapkan sama sekali. Apalagi dengan lelaki itu, yang tak lain ialah Praditya Albara, seorang le
"Laila? Kemarin kamu ke mana aja sih?" tanya Dena. "Ada kok," jawab Laila tanpa menoleh. Pandangannya hanya fokus berpura-pura mengamati Dosen yang sedang menjelaskan, "Ck! Iya, aku juga tau kamu ada. Maksudku, pas malam itu kok kamu ninggalin aku sih? Dan ya, kenapa lagi kemarin gak masuk kampus?" Dena terus saja menanyakan hal yang menurut Laila tidak perlu menjawab, lagian saat mendengar kata 'malam itu' membuat moodnya hancur."Lagian kenapa sih kamu kepo-kepo amat!" ketus Laila, masih pura-pura memperhatikan. Percayalah, moodnya benar-benar hilang.Dena mendekatkan wajahnya sedikit dengan Laila, "Laila?" kesal Dena padahal kan niatnya cuman bertanya, "Jangan bilang kalau kamu pulang sama seorang lelaki?"Tak!Dengan kesal Laila menggeplak punggung tangan Dena sedikit keras. "Heyy yang di belakang sana! " teriak pak Dosen menggelegar. Telunjuknya ia arahkan kepada bangku Laila."Mampus! Dosen Killer lagi," gumam Laila yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua."Salah kamu ini,
Hari ini Laila mendapatkan jadwal pagi di kampusnya. Lagi-lagi niatnya untuk memberitahu Uminya terus ia urungkan. Hal itu justru membuat Laila semakin resah. Pasalnya sudah puluhan panggilan dari Bara tidak Laila angkat, ia tahu bahwa Bara terus menelfonnya hanya untuk menanyakan tentang keputusan dari orang tuanya."Bismillah. Aku harap aku tidak bertemu dengan Bara untuk saat ini," gumam Laila memohon penuh harap.Tidak lama kini Laila sudah berada di kampus. Kampus ini nampak sepi, ah sepertinya Laila terlalu pagi untuk datang ke sini. Laila berjalan melewati beberapa koridor. Matanya sesekali menatap ke depan dan menunduk. Namun kali ini, tepat Laila menatap ke depan, tak jauh dari sana ia melihat Shaka yang tengah berjalan ke arahnya.Demi apa, hati Laila mendesis tak karuan. Walau belum terlalu dekat, tapi ada rasa dag dig dug saat melihatnya. Tatapan Laila semakin menunduk dengan bibir bawah yang ia gigit.Shaka Muhammad Fatih. Siapa yang tidak mengenal sosok lelaki tersebut?
Laila mengedarkan pandangannya saat ia sudah berada di dalam cafe—atas permintaan Shaka.Untung cafe tidak terlalu ramai, menjadikan Laila mudah menemukan Shaka dalam sekali pandangan. Ia berjalan menuju kursi yang diduduki Shaka."Maaf banget ya, udah nunggu lama?" tanya Laila tak enak hati.Shaka tersenyum sekilas, "Enggak kok, aku juga baru datang soalnya." Shaka menatap sekilas Laila yang tengah duduk berhadapan dengannya. Tidak ada yang tahu bahwa hatinya kini sedang berdisko."Mau sekalian pesan? Biar sekalian makan juga," ucap Shaka kembali."Boleh, " balasnya membalas dengan senyuman. Sambil menunggu pesanan, mereka hanya duduk diam. Hanya ada kecanggungan yang mereka rasakan saat ini."Laila?""Heum?""Aku lupa nyampein kalo kamu dapet salam dari Umi dan Abah, katanya kapan kamu silaturahmi ke sana?" Tatapan Shaka begitu intens menatap Laila."Wa'alaikumsalam. Insya Allah, Kak." Laila mengalihkan tatapannya ke sembarang tempat. Ini benar-benar membuatnya canggung."Mbak, Mas.
"Umi?" "Laila? Sini sayang?" Hafisah—Umi dari Laila itu tersenyum lebar saat mendapati Laila keluar dari kamarnya.Rahman—Abi Laila juga berada di sana. Tersenyum lebar melihat putrinya. Laila mengernyit heran. Mendekat ke arah Rahman dan Hafisah tatkala mendengar panggilan dari mereka. Sebelumnya Laila yang tengah di kamar dikejutkan oleh teriakan halus dari Hafisah. Menyuruhnya untuk datang ke ruang tamu. Entah ada apa, tapi hal itu tentu membuat jantungnya berdetak cepat. "Iya Umi?" seru Laila saat dirinya berada di hadapan Hafisah. Namun jantungnya berhenti berdetak saat tatapan mata itu jatuh pada... "Kak Shaka?" Laila melebarkan pupil matanya melihat Shaka, Abah dan Uminya—Shaka, tengah tersenyum ke arahnya. "Sini duduk! Gak baik berdiri kayak gitu!" tegur Hafisah sembari tersenyum ramah. Masih dalam keterkejutan Laila ikut duduk karena intrupsi Hafisah. "Masya Allah, Nak Laila makin cantik aja ya?" goda Aminah—Umi dari Shaka. Aminah menatap takjub atas kecantikan Laila ya