“A-apa ya-ng akan k--au lakukan Bara ...?” Dengan susah payah Laila meneguk salivanya saat Bara mulai mendekatinya dengan kancing yang terus ia buka.
"Melakukan hal yang seharusnya dilakukan," jawab Bara.“Jangan mendekat!” teriak Laila saat Bara semakin mendekat. "Berhenti Bara?! Aku bilang jangan mendekat?!" teriak Laila sembari melempar sebuah benda yang entah apa.Laila ketakutan, dia melempari barang yang ada di sekitarnya. Semakin dilempar semakin keras pula suara nyaring itu terdengar. Namun sayang, tidak ada satupun benda yang mengenai Bara.Tangis Laila pecah dengan tubuh yang masih bergerak mundur, “Bara, aku bilang berhenti di sana!”Laila, si gadis berhijab itu kini tidak bisa kemana-mana lagi saat tangan Bara mengukungnya disudut tembok dengan sangat kasar.Laila terus saja memberontak ingin dikeluarkan dengan air mata yang terus merembes.“Jangan berani kamu sentuh saya, brengsek!” teriak Laila marah yang diiringi dengan tangisnya.Bara terkekeh mendengar gaya Laila yang mulai kasar padanya.“Gue suka sama lo,” ucap Bara menatap lekat wajah Laila. “Karena itu ....” Bara menggantung ucapannya. Sedangkan Laila masih menangis dengan tubuh yang gemetar, takut, itulah yang Laila rasakan.“Gue mau lo jadi milik gue! Paham?!” tegas Bara mencoba kembali menyentuh Laila. Namun dengan sigap Laila langsung menepis tangan Bara.“Sampai di 7 keabadian pun, aku gak pernah mau sama lelaki brengsek kaya kamu!” Laila mengusap air matanya dengan kasar. Menjerit sekerasnya berharap ada orang yang akan mendengarnya. Setidaknya ia butuh pertolongan seseorang.Dengan keberanian penuh dan hati yang terus meminta pertolongan-Nya, Laila mendorong tubuh Bara cukup keras, menjadikan tubuh Bara terdorong ke belakang.Namun tidak sampai disitu, Bara dengan gesit langsung mencekal kedua tangan Laila dan menjatuhkan kembali tubuhnya diatas ranjang dengan kasar.Laila semakin panik dan takut, tak memperdulikan pakaiannya yang sudah sangat lusuh dengan kerudung yang dikatakan tidak teratur namun masih tertutup.“Sudah cukup permainan ini Laila!” murka Bara dengan sorot mata tajam. “Sekarang nikmati syurga dunia bersama.” Seringainya yang langsung menindih tubuh Laila.“Lepaskan ... kumohon--Bar ....” Berontak Laila dengan tangis yang mulai kembali deras.“No,no--setelah ini kau akan menjadi milikku,” ujar Bara yang bersiap membuka kerudung Laila. Namun tangannya terhenti saat Laila menahannya langsung.“Kalau begitu ....” Dalam tangisnya, Laila memejamkan matanya terlebih dahulu sebelum menghela nafas panjang dan mengatakan “Nikahi aku.”Dengan Refleks Bara menghentikan pergerakan tangannya yang ingin melecehkan Laila. Mata Bara melebar mendengar penuturan Laila.“Kumohon ... a-aku lebih ba-baik mati ... daripada harus mengorbankan harga diriku sebagai seorang perempuan. ” Isakan Laila semakin parau.Bara masih menatap intens Laila sebelum ia mulai bangkit dan menjauhkan tubuhnya dari Laila.Dengan nafas tersengal-sengal karena isakan akhirnya Laila lega saat badan berat itu sudah tidak berada di atas tubuhnya.Laila menatap langit-langit kamar dengan menahan sakit didadanya yang begitu menyesakkan. Air matanya terus jatuh tanpa mau dicegah.“Laila ....”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Laila, dengan sigap Laila langsung bangun dan kembali menjauh dari Bara.“Kumohon ....” Laila menggeleng takut.“Demi Allah a-aku lebih baik kehilangan mimpiku daripada harus kehilangan kesucianku disaat statusku masih belum menikah,” ucap Laila melirih. Ia mengigit bibir bawahnya menahan rasa sesak yang melanda hatinya.Berbeda dengan Bara yang langsung melebarkan pupil matanya lagi menatap Laila.“Kalau begitu ....” Bara menggantungkan ucapannya, tangannya mengambil kameja terlebih dahulu dan mulai memakainya kembali.“Beritahu keluargamu secepatnya dan kita akan menikah!” pungkas Bara tanpa mengalihkan tatapannya. “Jika itu tidak terjadi---” Tatapannya kini menyorot tajam Laila.“Bersiaplah dengan kegilaanku nantinya!” tegas Bara yang masih tidak melirik ke arah Laila sedikitpun.Bara membuka sebuah laci dan mengambil benda pipih bermerek Apple itu dan langsung menaruhnya ditelinga kanan.“Kamar nomer 505.” Kata Bara saat telepon tersambung.“....”“Ya. Aku tidak ingin menunggu lama!” tukasnya yang langsung mematikan sabungannya secara sepihak.“Cepat rapikan kembali pakaianmu!”Dengan cepat Laila mengusap pipinya yang basah dan merapikan pakaiannya yang berantakan.Tok! Tok! Tok!“Masuk!”Pintu langsung terbuka menampilkan seorang wanita yang terlihat cantik dan seksi.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan muda?” ujar wanita itu dengan senyum lebarnya.“Tolong antarkan gadis ini ke rumahnya,” tutur Bara dengan aura dinginnya.Mata wanita itu melirik sekilas Laila yang hanya termenung, sebelum kemudian ia tersenyum lebar.“Laksanakan,tuan,” ucap wanita itu ramah.“Ayo!” perintah wanita itu kepada Laila. Ia berbalik dan langsung pergi begitu saja.Laila, dengan wajah yang sembab menoleh sekilas ke arah Bara yang malah dibalas tatapan datar olehnya. Dengan rasa takut, Laila hanya menunduk dan melangkahkan kakinya dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya kesuciannya masih terjaga, tapi tidak dengan mimpinya.Hafsah Laila Azzahra. Gadis tulen dengan segala kesederhanaan yang dimiliknya. Gadis bermanik mata hitam dengan pakaian yang selalu menutup tubuhnya menjadikannya terkesan anggun dan menawan. Tak lupa memiliki gingsul di bagian kanannya. Hidup dengan kekayaan yang sangat sederhana menjadikan seorang Laila mensyukuri atas setiap pemberian dari sang Maha Pencipta. Bahkan sekolah pun ia lakukan hanya karena mendapat beasiswa akan prestasinya. Dan semua itu ia berhasil sampai dirinya menginjak di fakultas kampus terkenal.Menginjak semester 3, Laila semakin difokuskan dengan kegiatan-kegiatan yang ada di kampusnya. Hal itu ia lakukan untuk mencapai cita-cita. Lagian, sebentar lagi ia akan menginjak semester 4, menjadikan ia harus lebih bersemangat dalam hal apapun lagi.Namun, sampai pada tragedi malam itu, malam di mana Laila yang akan dilecehkan ditukar dengan sebuah pernikahan yang tidak ia harapkan sama sekali. Apalagi dengan lelaki itu, yang tak lain ialah Praditya Albara, seorang le
"Laila? Kemarin kamu ke mana aja sih?" tanya Dena. "Ada kok," jawab Laila tanpa menoleh. Pandangannya hanya fokus berpura-pura mengamati Dosen yang sedang menjelaskan, "Ck! Iya, aku juga tau kamu ada. Maksudku, pas malam itu kok kamu ninggalin aku sih? Dan ya, kenapa lagi kemarin gak masuk kampus?" Dena terus saja menanyakan hal yang menurut Laila tidak perlu menjawab, lagian saat mendengar kata 'malam itu' membuat moodnya hancur."Lagian kenapa sih kamu kepo-kepo amat!" ketus Laila, masih pura-pura memperhatikan. Percayalah, moodnya benar-benar hilang.Dena mendekatkan wajahnya sedikit dengan Laila, "Laila?" kesal Dena padahal kan niatnya cuman bertanya, "Jangan bilang kalau kamu pulang sama seorang lelaki?"Tak!Dengan kesal Laila menggeplak punggung tangan Dena sedikit keras. "Heyy yang di belakang sana! " teriak pak Dosen menggelegar. Telunjuknya ia arahkan kepada bangku Laila."Mampus! Dosen Killer lagi," gumam Laila yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua."Salah kamu ini,
Hari ini Laila mendapatkan jadwal pagi di kampusnya. Lagi-lagi niatnya untuk memberitahu Uminya terus ia urungkan. Hal itu justru membuat Laila semakin resah. Pasalnya sudah puluhan panggilan dari Bara tidak Laila angkat, ia tahu bahwa Bara terus menelfonnya hanya untuk menanyakan tentang keputusan dari orang tuanya."Bismillah. Aku harap aku tidak bertemu dengan Bara untuk saat ini," gumam Laila memohon penuh harap.Tidak lama kini Laila sudah berada di kampus. Kampus ini nampak sepi, ah sepertinya Laila terlalu pagi untuk datang ke sini. Laila berjalan melewati beberapa koridor. Matanya sesekali menatap ke depan dan menunduk. Namun kali ini, tepat Laila menatap ke depan, tak jauh dari sana ia melihat Shaka yang tengah berjalan ke arahnya.Demi apa, hati Laila mendesis tak karuan. Walau belum terlalu dekat, tapi ada rasa dag dig dug saat melihatnya. Tatapan Laila semakin menunduk dengan bibir bawah yang ia gigit.Shaka Muhammad Fatih. Siapa yang tidak mengenal sosok lelaki tersebut?
Laila mengedarkan pandangannya saat ia sudah berada di dalam cafe—atas permintaan Shaka.Untung cafe tidak terlalu ramai, menjadikan Laila mudah menemukan Shaka dalam sekali pandangan. Ia berjalan menuju kursi yang diduduki Shaka."Maaf banget ya, udah nunggu lama?" tanya Laila tak enak hati.Shaka tersenyum sekilas, "Enggak kok, aku juga baru datang soalnya." Shaka menatap sekilas Laila yang tengah duduk berhadapan dengannya. Tidak ada yang tahu bahwa hatinya kini sedang berdisko."Mau sekalian pesan? Biar sekalian makan juga," ucap Shaka kembali."Boleh, " balasnya membalas dengan senyuman. Sambil menunggu pesanan, mereka hanya duduk diam. Hanya ada kecanggungan yang mereka rasakan saat ini."Laila?""Heum?""Aku lupa nyampein kalo kamu dapet salam dari Umi dan Abah, katanya kapan kamu silaturahmi ke sana?" Tatapan Shaka begitu intens menatap Laila."Wa'alaikumsalam. Insya Allah, Kak." Laila mengalihkan tatapannya ke sembarang tempat. Ini benar-benar membuatnya canggung."Mbak, Mas.
"Umi?" "Laila? Sini sayang?" Hafisah—Umi dari Laila itu tersenyum lebar saat mendapati Laila keluar dari kamarnya.Rahman—Abi Laila juga berada di sana. Tersenyum lebar melihat putrinya. Laila mengernyit heran. Mendekat ke arah Rahman dan Hafisah tatkala mendengar panggilan dari mereka. Sebelumnya Laila yang tengah di kamar dikejutkan oleh teriakan halus dari Hafisah. Menyuruhnya untuk datang ke ruang tamu. Entah ada apa, tapi hal itu tentu membuat jantungnya berdetak cepat. "Iya Umi?" seru Laila saat dirinya berada di hadapan Hafisah. Namun jantungnya berhenti berdetak saat tatapan mata itu jatuh pada... "Kak Shaka?" Laila melebarkan pupil matanya melihat Shaka, Abah dan Uminya—Shaka, tengah tersenyum ke arahnya. "Sini duduk! Gak baik berdiri kayak gitu!" tegur Hafisah sembari tersenyum ramah. Masih dalam keterkejutan Laila ikut duduk karena intrupsi Hafisah. "Masya Allah, Nak Laila makin cantik aja ya?" goda Aminah—Umi dari Shaka. Aminah menatap takjub atas kecantikan Laila ya
“Wa'alaikumussalam.”Deg!Jantung Laila terasa terhenti saat pintu utama terbuka menampilkan ... Bara?Langkah kaki Laila bahkan langsung mundur pelan. Menatap pria di depannya yang terkesan lebih keren dari biasanya. Sialnya! Orang di depannya itu malah berkedip sebelah mata, menggoda dirinya.“Siapa, Laila?” Suara bariton Rahman membuyarkan keterkejutan Laila.Sang empu kembali menatap Bara yang malah nyengir kuda.Ish! Pria itu kenapa harus datang?!Belum sempat menjawab pertanyaan Rahman, lelaki berumur 30 lebih itu sudah berdiri di samping Laila.“Assalamu'alaikum, Abah.” Bara langsung mengucap salam dan menyalami tangan Rahman. Sebagai begitu, Rahman hanya mengeryit heran.“Saya Bara, kebetulan temannya Laila.”“Temannya Laila.” Suara Rahman terkesan bukan pertanyaan.Bara mengangguk tersenyum. “Iya, Abah. Dan kebetulan saya ...” Bara menggantung ucapannya. Melirik Laila sekilas. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan maksud saya, Abah.”Rahman menatap terlebih dahulu Bara dari
“Abi, kenapa Abi lebih memilih Bara?” tanya Laila setelah jawaban dari Abinya keluar.Apalagi hal yang paling menyebalkannya adalah Bara tersenyum devil saat keputusan itu berpihak kepadanya. Tentu senyuman itu mengarah kepada dirinya, senyum mengejek. Karena itulah Laila langsung menanyakan ini kepada Rahman ketika kedua pria tersebut sudah pergi. "Ini memang sudah keputusan Abi, Laila... ""Tapi kenapa Abi? Apa alasannya? Katakan Abi? Kenapa Abi lebih memilih Bara?" tanya Laila beruntun. Dia benar-benar bingung dan heran kenapa Rahman harus memilih Bara? Lelaki gila itu? Yang benar saja?! "Nanti juga kamu akan tahu alasannya, Laila," jawab Rahman tanpa melihat putrinya yang sudah resah, cemas. "Tapi Abi. Laila enggak mau! Laila enggak mau sama lelaki seperti Bara, Laila enggak cinta!"Rahman mengernyit. "Lalu kamu sukanya sama siapa?" tanya Rahman berusaha tersenyum.Dia tersenyum melihat kemarahan yang dikeluarkan oleh sang putri. Sangat senang pula membuat putrinya itu merasa k
Sebuah pernikahan yang tidak pernah Laila harapkan pada akhirnya terjadi. Laila. Perempuan yang sebentar lagi akan melepas jabatannya menjadi istri orang menangis tersedu-sedu. Gaun pernikahan berwarna putih dengan hiasan telah mewarnai semuanya. Kecuali hatinya. Semuanya tidak ada yang ia suka, hatinya suram meratapi penderitaan ini. Hal yang ia sangka tidak akan terjadi malah terjadi pada akhirnya. "Sayang ... " Seketika Laila menyeka air matanya saat mendengar suara lembut dari Hafisah. "Ayo, pengantin prianya udah di sana." Hafisah menatap putrinya yang tengah menunduk. Ia menghela nafas sumringah. Ada rasa bahagia karena kini putrinya akan berganti status."Umi? Laila enggak mau menikah. Laila enggak mau," ucap Laila menggeleng keras. Dia bahkan menatap uminya dengan berkaca-kaca. Berharap Hafisah akan membantunya dalam masalah ini. Hafisah tersenyum samar. "Ini keputusan Abi kamu. Umi juga enggak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.""Tapi, kenapa harus Bara, Umi? Laila engg