“Wa'alaikumussalam.”Deg!Jantung Laila terasa terhenti saat pintu utama terbuka menampilkan ... Bara?Langkah kaki Laila bahkan langsung mundur pelan. Menatap pria di depannya yang terkesan lebih keren dari biasanya. Sialnya! Orang di depannya itu malah berkedip sebelah mata, menggoda dirinya.“Siapa, Laila?” Suara bariton Rahman membuyarkan keterkejutan Laila.Sang empu kembali menatap Bara yang malah nyengir kuda.Ish! Pria itu kenapa harus datang?!Belum sempat menjawab pertanyaan Rahman, lelaki berumur 30 lebih itu sudah berdiri di samping Laila.“Assalamu'alaikum, Abah.” Bara langsung mengucap salam dan menyalami tangan Rahman. Sebagai begitu, Rahman hanya mengeryit heran.“Saya Bara, kebetulan temannya Laila.”“Temannya Laila.” Suara Rahman terkesan bukan pertanyaan.Bara mengangguk tersenyum. “Iya, Abah. Dan kebetulan saya ...” Bara menggantung ucapannya. Melirik Laila sekilas. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan maksud saya, Abah.”Rahman menatap terlebih dahulu Bara dari
“Abi, kenapa Abi lebih memilih Bara?” tanya Laila setelah jawaban dari Abinya keluar.Apalagi hal yang paling menyebalkannya adalah Bara tersenyum devil saat keputusan itu berpihak kepadanya. Tentu senyuman itu mengarah kepada dirinya, senyum mengejek. Karena itulah Laila langsung menanyakan ini kepada Rahman ketika kedua pria tersebut sudah pergi. "Ini memang sudah keputusan Abi, Laila... ""Tapi kenapa Abi? Apa alasannya? Katakan Abi? Kenapa Abi lebih memilih Bara?" tanya Laila beruntun. Dia benar-benar bingung dan heran kenapa Rahman harus memilih Bara? Lelaki gila itu? Yang benar saja?! "Nanti juga kamu akan tahu alasannya, Laila," jawab Rahman tanpa melihat putrinya yang sudah resah, cemas. "Tapi Abi. Laila enggak mau! Laila enggak mau sama lelaki seperti Bara, Laila enggak cinta!"Rahman mengernyit. "Lalu kamu sukanya sama siapa?" tanya Rahman berusaha tersenyum.Dia tersenyum melihat kemarahan yang dikeluarkan oleh sang putri. Sangat senang pula membuat putrinya itu merasa k
Sebuah pernikahan yang tidak pernah Laila harapkan pada akhirnya terjadi. Laila. Perempuan yang sebentar lagi akan melepas jabatannya menjadi istri orang menangis tersedu-sedu. Gaun pernikahan berwarna putih dengan hiasan telah mewarnai semuanya. Kecuali hatinya. Semuanya tidak ada yang ia suka, hatinya suram meratapi penderitaan ini. Hal yang ia sangka tidak akan terjadi malah terjadi pada akhirnya. "Sayang ... " Seketika Laila menyeka air matanya saat mendengar suara lembut dari Hafisah. "Ayo, pengantin prianya udah di sana." Hafisah menatap putrinya yang tengah menunduk. Ia menghela nafas sumringah. Ada rasa bahagia karena kini putrinya akan berganti status."Umi? Laila enggak mau menikah. Laila enggak mau," ucap Laila menggeleng keras. Dia bahkan menatap uminya dengan berkaca-kaca. Berharap Hafisah akan membantunya dalam masalah ini. Hafisah tersenyum samar. "Ini keputusan Abi kamu. Umi juga enggak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.""Tapi, kenapa harus Bara, Umi? Laila engg
"Kenapa harus di rumah kamu? Kenapa enggak di rumah aku aja?" tanya Laila saat Bara menolak permintaan Abinya untuk tinggal di rumah lebih dahulu. Padahal Laila sudah senang jika Bara mengiyakan. Dengan begitu malam pertama akan diundur kan? Tapi ... Ah sudahlah. Bara nampak sangat tidak sabar. Hal yang justru membuat Laila merasa takut. Takut apa yang akan terjadi setelah ini. "Kenapa? Sama aja kan? Mau kita tinggal di rumah Abi ataupun di sini, sama-sama tidur nantinya," jawab Bara sembari membuka pintu rumahnya. Laila terdiam, malas menjawab. Tatapannya menganalisis ruangan rumah Bara yang terkesan besar saat pintu itu terbuka lebar. Sungguh, rumah ini tidak seperti rumahnya yang sederhana.Mata Laila terus menelusur. Tidak ada yang tertinggal dalam penglihatannya. Namun hanya satu yang hinggap dalam pikirannya. "Mas tinggal sendiri, " jawab Bara seolah tahu apa yang dipikirkan Laila. "Sebesar ini?" ucap Laila dalam hatinya."Apa tidak takut rumah sebesar ini hanya diisi satu
Laila mengerjapkan matanya dengan pelan. Tanpa sadar tangannya melingkar pada perut Bara. Bukannya melepaskan pelukan tersebut ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat dan... "Astagfirullah ..."Betapa terkejutnya Laila saat tersadar dari tidurnya. Tidak terkejut bagaimana? Bibirnya tanpa sadar tengah menempel pada pipi Bara. Sedang tangannya memeluk Bara dengan amat erat padanya. Sedekat ini? Laila menjauh, tidak menyangka kalau ia tidak sadar dalam hal ini. Untung saja ia yang lebih dulu bangun, kalau saja Bara-suaminya, dipastikan dia akan menggodanya secara terus-menerus.Laila melirik Bara yang masih memejamkan matanya. Dilihat dengan seperti ini membuat Laila langsung mengalihkan tatapannya. Sialnya suaminya itu benar-benar tampan jika tidur seperti ini. Membuatnya ingin kembali menatapnya.Laila beristigfar, ia menggeleng untuk menghempaskan akan pesona Bara. Dengan cepat Laila turun dari ranjangnya dan hendak menuju kamar mandi.***"Mas, bangun ..." Laila mene
Bara melajukan motor Vespanya dengan pelan. Menikmati udara segar yang masuk dalam hidungnya. Apalagi menikmati sesuatu yang membuatnya terasa nyaman. Siapa lagi kalau bukan ulah istrinya? Yang memeluknya dengan begitu erat. Sedangkan Laila, ia mencebik jengkel karena motor yang dikendarai suaminya itu amat pelan, seperti siput."Mas, masih jauh? " tanya Laila dengan perasaan dongkol. Perasaan sedari tadi motor ini seperti tidak berjalan. Ish benar-benar kesal! "Enggak kok. Sebentar lagi juga sampai," jawab Bara tersenyum tipis. Senyumnya tidak pernah luntur. Laila menghela nafas, berusaha untuk semakin sabar atas apa yang dilakukan Bara. "Enggak pakai helm?" tanya Laila. Bara terkekeh. "Kan niatnya mau jalan-jalan, bukan mau berpergian." Lagi, Laila terdiam tanpa merespon lagi. Nampaknya diam jauh lebih baik. "Udah sampai?" tanya Laila ketika laju motor berhenti. Matanya jatuh pada kaca spion di mana suaminya tengah menatapnya."Iya. Turun pelan-pelan, sayang..."Laila turun,
"Haciw!"Bibir Laila bergetar karena kedinginan, bersin yang keluar membuatnya semakin merapatkan selimut yang membungkus tubuhnya.Membungkus? Tubuhnya?Tunggu."Aaaaa!!" Jeritan Laila yang menggelegar membuat pintu kamar terbuka segera. Menampilkan sosok Bara yang nampak khawatir."Ada apa?""Berhenti di sana, Mas!" pekik Laila membuat Bara patuh."Apa yang telah kau lakukan padaku, Mas?!" teriak Laila kembali membuat Bara mengernyit. Namun tak urung ia menjawab, "Melakukan apa yang seharusnya Mas lakukan, memangnya kenapa?"Langkah kaki Bara kembali berjalan, membuat Laila kembali berteriak. Namun kali ini Bara hiraukan."Kau bertanya kenapa? Kau pasti menikmatinya saat aku tertidur kan?"Bara semakin mengernyit. Menikmati? Oh, Bara tahu ke arah mana pembahasan ini menuju.Bara tersenyum menggoda. Duduk di pinggir ranjang dan menatap istrinya yang semakin merapatkan selimutnya."Sepertinya begitu ... karena Mas, menikmatinya," jawabnya enteng, malah terkesan seperti desahan. "Lici
Laila menuruni anak tangga dengan pelan. Rasa pusing itu masih sedikit hinggap di kepalanya, tapi tidak menjadikan semangat Laila luntur untuk pergi ke kampus. Seharusnya sekarang ia memasak sesuatu untuk Bara, tapi karena Bara sendiri yang menolak membuat Laila hanya berdiam diri saja. Biar cepat sembuh! Itu katanya. "Wah ... istri aku udah turun ... cantik banget ..." Seruan dari Bara membuat Laila menoleh ke arahnya, yang mana dia menuju dirinya. "Mas?""Ayo, Mas tuntun.""Mas, aku bukan anak kecil. Enggak usah dituntun-tuntun segala!" tolak Laila. Bara hanya terkekeh. Kemudian merangkul sang istri untuk duduk di kursi meja makan. Walau sempat menolak tapi pada akhirnya Laila menurut. "Mas? Maaf aku enggak enak," ucap Laila membuat Bara nampak khawatir. "Badan kamu terasa enggak enak lagi, sayang? Mana lihat?" Dengan sigap Laila menghentikan tangan Bara yang ingin mengecek kondisinya. Laila menggeleng. "Maksudku, aku enggak enak karena cuman berdiam diri enggak bantu kamu,"