Hari ini Laila mendapatkan jadwal pagi di kampusnya. Lagi-lagi niatnya untuk memberitahu Uminya terus ia urungkan. Hal itu justru membuat Laila semakin resah. Pasalnya sudah puluhan panggilan dari Bara tidak Laila angkat, ia tahu bahwa Bara terus menelfonnya hanya untuk menanyakan tentang keputusan dari orang tuanya.
"Bismillah. Aku harap aku tidak bertemu dengan Bara untuk saat ini," gumam Laila memohon penuh harap.Tidak lama kini Laila sudah berada di kampus. Kampus ini nampak sepi, ah sepertinya Laila terlalu pagi untuk datang ke sini.Laila berjalan melewati beberapa koridor. Matanya sesekali menatap ke depan dan menunduk. Namun kali ini, tepat Laila menatap ke depan, tak jauh dari sana ia melihat Shaka yang tengah berjalan ke arahnya.Demi apa, hati Laila mendesis tak karuan. Walau belum terlalu dekat, tapi ada rasa dag dig dug saat melihatnya. Tatapan Laila semakin menunduk dengan bibir bawah yang ia gigit.Shaka Muhammad Fatih. Siapa yang tidak mengenal sosok lelaki tersebut? Senior di kampusnya yang paling ramah, baik dan disegani. Tidak hanya itu, agamanya pun tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena memang Shaka adalah sosok lelaki yang lulusan dari pesantren ternama.Laila menunduk, dia masih berjalan walau hatinya tidak. Hatinya berdegup semakin cepat. Sangat malah!Namun tepat saat Laila akan melewatinya, Shaka berhenti dan memanggil namanya."Laila?"Deg!Jantung Laila seperti berhenti berdetak saat Shaka memanggil namanya dengan begitu lembut. Bahkan dunia seperti ikut berhenti saat Laila memberanikan diri menghadapnya.Bagaimana tidak berdegup cepat? Selama ini ia diam-diam menyukai Shaka. Agama dan kepribadian nya itulah yang membuat hati Laila tergerak untuk mencintai dalam diam.Jika ditanya sejak kapan? Maka jawabannya dari dulu. Di mana saat Ummi nya memperkenalkan kalau kedua orang tua mereka saling sahabat. Maka saat itulah ia mulai diam-diam mengaguminya. Shaka mana tau perasaannya."Iya?" Laila dibuat salah tingkah saat Shaka menatapnya, namun tak urung mereka langsung menundukkan pandangan."Setelah pelajaran kampus selesai. Kamu enggak lagi sibuk kan?""Emm, enggak kok." Benar-benar. Jantung Laila semakin berdisko."Ada hal yang ingin aku bicarakan. Udah izin sama umi kamu juga kok," ujar Shaka dengan tersenyum. "Kalaupun tidak bisa--""Insya Allah bisa, Kak! ," potong Laila memberanikan diri menatap Shaka.Lagipula Umi nya sudah tahu, itu berarti ada hal yang memang penting untuk dibicarakan."Baiklah, nanti aku tunggu di Cafe belakang kampus ya." Setelah mengatakan itu Shaka akhirnya melangkahkan kakinya pergi.Laila benar-benar dibuat kelipungan dengan adanya Shaka. Namun dalam hatinya ia kesal dengan Ummi nya karena tidak memberitahukannya terlebih dahulu perihal apa yang akan Shaka bicarakan. Ah, mungkin perihal ilmu agama.Namun tak urung, hanya karena percakapan singkat itu membuat Laila senyum-senyum sendiri."Astagfirullah Laila..."Laila terlonjak kaget saat mendapati Dena membisikkannya dengan begitu pelan ditelinga kanannya."Astagfirullah, Dena! Ishh, bikin aku terkejut aja.""Ciee ... Mas Shaka nih," goda Dena dengan menyenggol bahunya membuat Laila langsung memalingkan wajah. Malu pun salah tingkah.Laila menarik tangan Dena untuk berjalan menuju kelasnya. "Kamu sejak kapan ada di sana?" tanya Laila di dalam langkahnya."Dari tadi," jawab Dena polos."Hah?""Udahlah Laia ... siapapun juga pasti bakal lihat," tuding Dena, "Mari kita tebak, aku rasa ... Kak Shaka bakal ngelamar kamu deh." Dena menitikkan jarinya di dagu."Ishh, kamu bicaranya ke mana ajah deh, semakin ngelantur," jawab Laila."Enggak. Beneran. Ya ... dilihat dari gaya bicaranya dan sikapnya sih."Laila terdiam, namun tak urung dalam hatinya ia tersenyum sumringah."Lagian kalau beneran, itu berarti cinta kamu enggak bertepuk sebelah tangan kan? Nah, harusnya kamu bahagia atuh Laila!" seru Dena yang kembali menggodanya.Laila tersenyum, yang dikatakan Dena benar. Ia memang menyukai Shaka sejak dulu, termasuk saat ia menginjakkan kakinya di kampus ini.Dan Dena adalah sahabatnya, jadi dialah yang paling tahu tentang bagaimana seorang Laila yang terus-menerus mencintainya dalam diam."Aku harap begitu ... tapi, terkadang jalan cinta tidak semudah itu, Na. Selalu terdapat kerumitan di dalamnya." Entah pemikiran dari mana tiba-tiba Laila berujar seperti ituDena hanya bergeming, tidak mengerti akan ucapan Laila. "La, selama ini kamu udah kayak Bunda Fatimah, yang mencintai dia layaknya Ali. Dan aku yakin kalau dia memang Ali mu. Aku yakin kalau cinta Fatimah dan Ali akan kembali tercipta dengan adanya kamu sama Kak Shaka.Laila terdiam, ia tersenyum samar. Memang, ada da harapan dihatinya akan hal itu. Tapi apa dia memang Fatimah? dan Shaka adalah Alinya? Lalu Bara? Ahh, memikirkan pria brengsek itu saja membuat moodnya menjadi hancur. Dan ... kenapa ia jadi memikirkan orang ketiga? Aish!Laila dan Dena berjalan dalam keheningan, sampai tiba-tiba."Apa Lo? Lo berani sama gue hah!?"Di dalam perjalanan menuju kelasnya, Laila dan Dena mendengar kerusuhan yang begitu ricuh. Di depan sana sudah ada beberapa orang yang tengah berkumpul menonton pertunjukan kericuhan itu. Laila dan Dena yang penasaran langsung melihat ke arah sana.Bugh!Bugh!Bugh!Laila dibuat terkejut saat mendapati Bara yang tengah memukul seorang mahasiswa dengan begitu sadisnya. Bahkan pupil matanya ikut melebar tatkala Mahasiswa tersebut mengeluarkan begitu banyak darah."Berani banget ya lo nantangin gue?!" sarkas Bara dengan menarik kerah bajunya.Lagi-lagi, Laila dibuat terkejut dan takut bersamaan. Ia bahkan sudah berjalan mundur dengan menggelengkan kepalanya pelan."Jangan pernah lo berani buat masalah sama gue! Brengsek!" Nafas Bara tersengal-sengal menahan emosinya. Tempat itu benar-benar dibuat ricuh. Semua orang yang penasaran berbondong-bondong datang melihat kegaduhan yang tengah diciptakan Bara."Modal pintar aja gak bakal cukup buat lo! Jadi, cuci otak lo dulu dan perhatikan baik-baik apa yang telah lo lakukan. Jangan pernah coba buat main-main dengan gue!" ancam Bara sembari menghempas tubuhnya untuk kesekian kali.Mahasiswa itu ambruk ke bawah dengan wajah yang sudah babak belur."Makannya jangan paling so deh Lo?!" tanggap Bagas menendang lelaki itu."Cih, menjijikan!" umpat Jay dengan mendelik tajam.Bara beserta teman-temannya langsung tersenyum penuh kemenangan dan mulai membalikkan badannya meninggalkan lelaki itu yang kini terkapar dengan bersimpah darah.Namun tepat saat membalikkan badannya, Bara dibuat terkejut saat mendapati Laila yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Laila..."Seketika Laila langsung berlari meninggalkan tempat itu dan diikuti Dena dari belakangnya.Bara mengejar Laila sedemikin cepat. Berusaha meraih lengan Laila."Laila!" Tepat mengatakan itu Bara mencekal lengan Laila kuat."Lepaskan!" Laila menghempas tangannya dalam sekali hentakan."Laila! " Dena, yang sedari tadi ikut berlari menjadi tameng untuk Laila. Ia menyembunyikan Laila dari tubuhnya yang sama-sama kecil. Matanya menatap nyalang Bara yang berada di hadapannya."Sudah berapa kali aku bilang hah! Jangan dekati kami! Apalagi Laila!"Bara memutar matanya malas. "Urusan gue bukan sama lo!""Gak perduli! Urusan Laila, urusan aku juga!"Bara mengubris ucapan Dena. Menatap tajam Laila yang berada di belakangnya. "Laila? Mana janji lo?"Laila terdiam. Enggan berucap."Heh! Lagi-lagi masalah janji! Janji sama kamu---""Lo bisa diem gak sih?!" bentak Bara membuat Dena refleks langsung mundur."Bara...""Katakan!" gertak Bara menatap tajam Laila. Tatapan tajamnya menghunus bak pedang."Beri aku waktu," jawab Laila menunduk lesu."Udah 3 hari aja lo masih nghindari gue! Dan sekarang minta waktu lagi?" Bara mengepalkan tangannya. "Okee! Gue kasih waktu sampai besok! Kalo lo memang enggak niat buat hal ini..."Bara melangkah maju membuat Dena mundur. Ia masih menjadi tameng untuk Laila agar tidak disakiti pria kasar di depannya ini."Gue pastikan hal itu bakalan bener-bener terjadi!" Tepat mengatakan itu Bara pergi meninggalkan Laila dan Dena.Dena mendengkus. Mengumpati sosok Bara dalam hatinya. Bisa-bisanya pria brengsek itu mengancam sahabat-nya. Memangnya siapa dia berani memerintah?Dena membalikan badannya. Menatap Laila yang menunduk. "Dia udah pergi. Jangan takut, Dena kan selalu ada buat kamu," ujar Dena membuat Laila mendongak, menatapnya.Laila menghela nafas gusar. " Laila, sebelumnya..." Dena kembali berucap membuat Laila bertanya-tanya."Maaf. Apa kamu pernah berurusan dengan Bara?""Tidak! Aku kenal sama dia aja karena keonaran yang sering dia lakukan. Lalu, apa aku berani berbuat masalah dengannya? Aku bahkan bukan orang seperti itu."Namun Laila terdiam sejenak, memikirkan kembali bahwa ia sempat bertemu Bara beberapa tahun yang lalu...2 tahun yang lalu...“Ya Allah, semoga enggak terlambat! " Nafas Laila tidak teratur saat ia melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah 8. Ia berlari menuju kelasnya, hari ini pelajaran Dosen killer di mana ia tidak boleh telat untuk hari pertamanya. Hari pertama masuk kelas.Aih! Benar-benar.Belum sempat berbelok arah Laila menambarak tubuh seseorang hingga tumpukan buku yang ia bawa dan seseorang itu berhamburan jatuh.“Astaghfirullah... maaf, saya gak sengaja, " ucapnya yang sekilas melihat seseorang yang baru saja ia tabrak. Dia seorang pria.Laila langsung berjongkok hendak mengambil buku namun gerakannya terhenti saat pria itu juga ingin mengambil bukunya. Keduanya saling melempar pandang dalam diam.“Ah, maaf! " Segera Laila memalingkan wajahnya, memungut buku-buku yang berserakan.“Maaf, itu buku saya, " ucap Laila saat matanya melihat buku yang hendak priaa itu bawa.Pria itu menundukan pandangannya untuk melihat buku tersebut.“Ah, ku kira bukuku. " Dengan tersenyum pria tersebut mengulurkan buku Laila, namun sebuah foto yang berukuran kecil di dalam sana terjatuh menampilkan sosok seorang gadis kecil yang tergambar di sana.Pria itu tertunduk, Laila ikut tertunduk. Ia melotot.“Aih, ini--ini--"“Tak usah malu, masa kecilmu lucu kok. "Dih! Gak jelas! Itulah yang kini dalam pikiran Laila. Dengan sigap ia mengambil foto dan menyambar kasar bukunya.“Ah iya, bolehkah kita berteman di hari pertama kita bertemu? " Pria itu berucap membuat Laila menatapnya.“Namaku Bara, ah maksudnya Pra--"“Maaf, saya buru-buru, sekali lagi saya minta maaf. " Laila sedikit menundukkan kepalanya. Berlalu cepat setelah sadar bahwa dirinya benar-benar terlambat.Sedang pria yang bernama Bara itu menatap kepergian Laila dengan tatapan sayu.“Tapi... " Laila berujar pelan saat ingatan itu melintas, membuat Dena langsung menatapnya.“Tapi apa? "Laila segera menggeleng. “Tidak jadi. "Dih? Jawaban apa itu?Dena mencebik. “Kau selalu saja seperti itu! " ucapnya dan berlalu meninggalkan Laila yang nampaknya masih tengah berpikir.“Aih, apa karena pertemuan itu Bara melakukan hal ini? Tapi, kenapa sikapnya dari awal dan sekarang benar-benar jauh berbeda? " ucap Laila dalam hati. Namun, semenit kemudian Laila menggeleng, enggak memikirkan hal yang jauh dari perkiraannya.Laila mengedarkan pandangannya saat ia sudah berada di dalam cafe—atas permintaan Shaka.Untung cafe tidak terlalu ramai, menjadikan Laila mudah menemukan Shaka dalam sekali pandangan. Ia berjalan menuju kursi yang diduduki Shaka."Maaf banget ya, udah nunggu lama?" tanya Laila tak enak hati.Shaka tersenyum sekilas, "Enggak kok, aku juga baru datang soalnya." Shaka menatap sekilas Laila yang tengah duduk berhadapan dengannya. Tidak ada yang tahu bahwa hatinya kini sedang berdisko."Mau sekalian pesan? Biar sekalian makan juga," ucap Shaka kembali."Boleh, " balasnya membalas dengan senyuman. Sambil menunggu pesanan, mereka hanya duduk diam. Hanya ada kecanggungan yang mereka rasakan saat ini."Laila?""Heum?""Aku lupa nyampein kalo kamu dapet salam dari Umi dan Abah, katanya kapan kamu silaturahmi ke sana?" Tatapan Shaka begitu intens menatap Laila."Wa'alaikumsalam. Insya Allah, Kak." Laila mengalihkan tatapannya ke sembarang tempat. Ini benar-benar membuatnya canggung."Mbak, Mas.
"Umi?" "Laila? Sini sayang?" Hafisah—Umi dari Laila itu tersenyum lebar saat mendapati Laila keluar dari kamarnya.Rahman—Abi Laila juga berada di sana. Tersenyum lebar melihat putrinya. Laila mengernyit heran. Mendekat ke arah Rahman dan Hafisah tatkala mendengar panggilan dari mereka. Sebelumnya Laila yang tengah di kamar dikejutkan oleh teriakan halus dari Hafisah. Menyuruhnya untuk datang ke ruang tamu. Entah ada apa, tapi hal itu tentu membuat jantungnya berdetak cepat. "Iya Umi?" seru Laila saat dirinya berada di hadapan Hafisah. Namun jantungnya berhenti berdetak saat tatapan mata itu jatuh pada... "Kak Shaka?" Laila melebarkan pupil matanya melihat Shaka, Abah dan Uminya—Shaka, tengah tersenyum ke arahnya. "Sini duduk! Gak baik berdiri kayak gitu!" tegur Hafisah sembari tersenyum ramah. Masih dalam keterkejutan Laila ikut duduk karena intrupsi Hafisah. "Masya Allah, Nak Laila makin cantik aja ya?" goda Aminah—Umi dari Shaka. Aminah menatap takjub atas kecantikan Laila ya
“Wa'alaikumussalam.”Deg!Jantung Laila terasa terhenti saat pintu utama terbuka menampilkan ... Bara?Langkah kaki Laila bahkan langsung mundur pelan. Menatap pria di depannya yang terkesan lebih keren dari biasanya. Sialnya! Orang di depannya itu malah berkedip sebelah mata, menggoda dirinya.“Siapa, Laila?” Suara bariton Rahman membuyarkan keterkejutan Laila.Sang empu kembali menatap Bara yang malah nyengir kuda.Ish! Pria itu kenapa harus datang?!Belum sempat menjawab pertanyaan Rahman, lelaki berumur 30 lebih itu sudah berdiri di samping Laila.“Assalamu'alaikum, Abah.” Bara langsung mengucap salam dan menyalami tangan Rahman. Sebagai begitu, Rahman hanya mengeryit heran.“Saya Bara, kebetulan temannya Laila.”“Temannya Laila.” Suara Rahman terkesan bukan pertanyaan.Bara mengangguk tersenyum. “Iya, Abah. Dan kebetulan saya ...” Bara menggantung ucapannya. Melirik Laila sekilas. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan maksud saya, Abah.”Rahman menatap terlebih dahulu Bara dari
“Abi, kenapa Abi lebih memilih Bara?” tanya Laila setelah jawaban dari Abinya keluar.Apalagi hal yang paling menyebalkannya adalah Bara tersenyum devil saat keputusan itu berpihak kepadanya. Tentu senyuman itu mengarah kepada dirinya, senyum mengejek. Karena itulah Laila langsung menanyakan ini kepada Rahman ketika kedua pria tersebut sudah pergi. "Ini memang sudah keputusan Abi, Laila... ""Tapi kenapa Abi? Apa alasannya? Katakan Abi? Kenapa Abi lebih memilih Bara?" tanya Laila beruntun. Dia benar-benar bingung dan heran kenapa Rahman harus memilih Bara? Lelaki gila itu? Yang benar saja?! "Nanti juga kamu akan tahu alasannya, Laila," jawab Rahman tanpa melihat putrinya yang sudah resah, cemas. "Tapi Abi. Laila enggak mau! Laila enggak mau sama lelaki seperti Bara, Laila enggak cinta!"Rahman mengernyit. "Lalu kamu sukanya sama siapa?" tanya Rahman berusaha tersenyum.Dia tersenyum melihat kemarahan yang dikeluarkan oleh sang putri. Sangat senang pula membuat putrinya itu merasa k
Sebuah pernikahan yang tidak pernah Laila harapkan pada akhirnya terjadi. Laila. Perempuan yang sebentar lagi akan melepas jabatannya menjadi istri orang menangis tersedu-sedu. Gaun pernikahan berwarna putih dengan hiasan telah mewarnai semuanya. Kecuali hatinya. Semuanya tidak ada yang ia suka, hatinya suram meratapi penderitaan ini. Hal yang ia sangka tidak akan terjadi malah terjadi pada akhirnya. "Sayang ... " Seketika Laila menyeka air matanya saat mendengar suara lembut dari Hafisah. "Ayo, pengantin prianya udah di sana." Hafisah menatap putrinya yang tengah menunduk. Ia menghela nafas sumringah. Ada rasa bahagia karena kini putrinya akan berganti status."Umi? Laila enggak mau menikah. Laila enggak mau," ucap Laila menggeleng keras. Dia bahkan menatap uminya dengan berkaca-kaca. Berharap Hafisah akan membantunya dalam masalah ini. Hafisah tersenyum samar. "Ini keputusan Abi kamu. Umi juga enggak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.""Tapi, kenapa harus Bara, Umi? Laila engg
"Kenapa harus di rumah kamu? Kenapa enggak di rumah aku aja?" tanya Laila saat Bara menolak permintaan Abinya untuk tinggal di rumah lebih dahulu. Padahal Laila sudah senang jika Bara mengiyakan. Dengan begitu malam pertama akan diundur kan? Tapi ... Ah sudahlah. Bara nampak sangat tidak sabar. Hal yang justru membuat Laila merasa takut. Takut apa yang akan terjadi setelah ini. "Kenapa? Sama aja kan? Mau kita tinggal di rumah Abi ataupun di sini, sama-sama tidur nantinya," jawab Bara sembari membuka pintu rumahnya. Laila terdiam, malas menjawab. Tatapannya menganalisis ruangan rumah Bara yang terkesan besar saat pintu itu terbuka lebar. Sungguh, rumah ini tidak seperti rumahnya yang sederhana.Mata Laila terus menelusur. Tidak ada yang tertinggal dalam penglihatannya. Namun hanya satu yang hinggap dalam pikirannya. "Mas tinggal sendiri, " jawab Bara seolah tahu apa yang dipikirkan Laila. "Sebesar ini?" ucap Laila dalam hatinya."Apa tidak takut rumah sebesar ini hanya diisi satu
Laila mengerjapkan matanya dengan pelan. Tanpa sadar tangannya melingkar pada perut Bara. Bukannya melepaskan pelukan tersebut ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat dan... "Astagfirullah ..."Betapa terkejutnya Laila saat tersadar dari tidurnya. Tidak terkejut bagaimana? Bibirnya tanpa sadar tengah menempel pada pipi Bara. Sedang tangannya memeluk Bara dengan amat erat padanya. Sedekat ini? Laila menjauh, tidak menyangka kalau ia tidak sadar dalam hal ini. Untung saja ia yang lebih dulu bangun, kalau saja Bara-suaminya, dipastikan dia akan menggodanya secara terus-menerus.Laila melirik Bara yang masih memejamkan matanya. Dilihat dengan seperti ini membuat Laila langsung mengalihkan tatapannya. Sialnya suaminya itu benar-benar tampan jika tidur seperti ini. Membuatnya ingin kembali menatapnya.Laila beristigfar, ia menggeleng untuk menghempaskan akan pesona Bara. Dengan cepat Laila turun dari ranjangnya dan hendak menuju kamar mandi.***"Mas, bangun ..." Laila mene
Bara melajukan motor Vespanya dengan pelan. Menikmati udara segar yang masuk dalam hidungnya. Apalagi menikmati sesuatu yang membuatnya terasa nyaman. Siapa lagi kalau bukan ulah istrinya? Yang memeluknya dengan begitu erat. Sedangkan Laila, ia mencebik jengkel karena motor yang dikendarai suaminya itu amat pelan, seperti siput."Mas, masih jauh? " tanya Laila dengan perasaan dongkol. Perasaan sedari tadi motor ini seperti tidak berjalan. Ish benar-benar kesal! "Enggak kok. Sebentar lagi juga sampai," jawab Bara tersenyum tipis. Senyumnya tidak pernah luntur. Laila menghela nafas, berusaha untuk semakin sabar atas apa yang dilakukan Bara. "Enggak pakai helm?" tanya Laila. Bara terkekeh. "Kan niatnya mau jalan-jalan, bukan mau berpergian." Lagi, Laila terdiam tanpa merespon lagi. Nampaknya diam jauh lebih baik. "Udah sampai?" tanya Laila ketika laju motor berhenti. Matanya jatuh pada kaca spion di mana suaminya tengah menatapnya."Iya. Turun pelan-pelan, sayang..."Laila turun,