"Laila? Bangun, sayang..."Bara menepuk pelan pipi istrinya agar terbangun."Emm, sebentar lagi aja Mas. Laila masih ngantuk banget." Laila menaikan selimutnya sampai menutup kepala, membuat Bara berdecak sebal. Namun tak urung dirinya tersenyum. Ia duduk di samping sang istri."Yakin cuma sebentar? Gak mau dapet kekayaan yang luasnya mengalahkan dunia dan seisinya?"Laila bangkit setelah mendengar penuturan tersebut. Menatap suaminya yang tengah tersenyum amat manis, namun tidak manis dimatanya.Laila menilik-nilik suaminya dari atas sampai bawah. Benar-benar seperti seorang Ustadz. Walau terdapat banyak memar dibagian rahang dan pelipisnya tidak mengurangi kadar ketampanan seorang Bara."Jangan bengong. Cepat ke kamar mandi sana. Mas tunggu di mushola, ya?"CupSehabis mengatakan itu Bara beranjak pergi. Berbeda dengan Laila yang langsung membeku pasca suaminya itu mencium pipi kirinya."Ish! Kenapa dia selalu mencium pipiku!?" Laila menjerit dalam hati. Namun tak urung pipinya tiba
[Tunggu Mas diparkiran! Awas aja kalau sampai kabur lagi!] Laila menghela nafas pasrah menerima pesan berupa peringatan dari suaminya itu. Dengan malas ia memasukan kembali ponselnya ke dalam tas."Ayo, Na," ujarnya kepada Dena.Dena mengangguk yang kemudian berjalan keluar dari kelas."Laila, sekarang ... apa Bara mulai menunjukan sifat aslinya?" Dena berucap, menyamakan langkah kakinya.Laila bergeming. Menggeleng pelan. "Belum, atau mungkin memang belum waktunya," jawabnya acuh."Ha? Maksudmu?" Dena tidak mengerti akan ucapan Laila itu."Em, maksudku. Mungkin, dia akan menunjukannya saat aku jatuh cinta padanya. Kau tahu kan, kalau seseorang sudah jatuh cinta dirinya akan nampak bodoh di hadapan orang yang dia cintai. "Dena mengangguk membenarkan. "Kau belum mempertanyakan tentang kejadian malam itu?" tanya Dena membuat langkah Laila seketika terhenti."Aku ingin mempertanyakan hal itu,Na. Tapi ... aku takut pertanyaan itu malah membuatku terjebak. Aku--aku takut kalau Mas Bara ma
Masih dalam keterdiaman diantara keduanya. Sampai mobil Bara berhenti di depan rumah Laila."Ayo,sayang." Bara keluar terlebih dahulu untuk mengeluarkan sebagian oleh-oleh yang tadi dirinya beli. Sedangkan Laila masih diam di tempat. Masih memikirkan kejadian tadi.Tok Tok TokBara mengetuk kaca mobil yang tertutup itu, memperlihatkan wajah Laila setelah kaca tersebut terbuka."Sudah selesai melamunnya?" tanya Bara tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. "Jangan dipikirkan, nanti saja kita lakukan selepas pulang dari sini."Tuk!Laila mengetuk kening Bara saat itu juga. Bisa-bisanya otaknya itu berpikir belok seperti itu. "Gak ya, Mas!" Bara seketika tertawa saat itu juga. Sedangkan Laila ia mendelik dan langsung keluar dari dalam mobil."Pokoknya harus! Kan tadi kamu yang nawarin buat di rumah." Bara masih bersi kukuh meminta. Sedangkan Laila, ia semakin menelan salivanya susah payah."Gak ya Mas! Permintaanmu ini benar-benar aneh!" Laila dengan segera mengalihkan pandangannya namun
"Sayang, Mas Bara mau keluar dulu ya. Lagi ada urusan sebentar."Kini mereka tengah berada di kamar Bara. Sejam lalu mereka sudah pulang—menuju kediaman Bara.Laila yang tengah berbaring itu beranjak bangkit—duduk. Menatap suaminya yang tengah menyisir rambut. Begitu rapi dan nampak lebih keren. Ah, suaminya itu memang selalu keren. Memancarkan aura ketampanan."Sore begini? Ada apa, Mas?"Bara tersenyum samar. Menyimpan sisir yang baru ia gunakan. Tangannya mengambil parfum —menyemprotkannya pada sebagian tubuhnya."Hanya urusan pekerjaan, sayang." Bara melangkah menuju ranjang sang istri. Wangi parfum menyeruak memenuhi ruangan itu."Oh, iya. Nanti Mas bakal nyariin asisten rumah tangga buat istri Mas tercinta ini." Bara mencubit pelan hidung mungil Laila. Membuat Laila berdecak saat itu juga."Senang gak? Kalau enggak senang, Mas... ""Senang kok. Laila senang." Laila berseru bahagia. Tentu saja ia senang. Itu berarti dirinya tidak akan kesepian dan dia tidak akan terlalu takut jik
Plak!Kepala Laila reflek menoleh ke kanan saat sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Dengan sigap Laila memejamkan matanya sembari menyentuh pipinya yang terasa panas. Matanya nampak berkaca-kaca akibat tamparan keras itu. Seumur hidup, orangtuanya saja tidak pernah menamparnya tapi orang lain?Sherin mengerang marah. Darahnya mencapai ubun-ubun. Menatap Laila dengan sorot penuh kebencian. Bahkan tangannya tidak menyesal telah menampar mukanya. Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang wanita di depannya ini lakukan."Itu hukuman lo Laila! Hukuman lo karena ngebiarin Bara merasakan penderitaannya!" Laila menoleh mendengar teriakan dari Sherin.Nafas Sherin narik-turun. "Lo itu istrinya atau bukan, ha?!"Laila melepaskan tangannya dari pipi. "Sherin! Pelankan suaramu! Atau--""Atau apa? Lo mau mukul gue, tampar gue?" Laila terdiam menahan emosinya. Ia benar-benar tidak mengerti akan pusat permasalahan ini. Semuanya ... dirinya benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarn
Setelah kepergian Sherin, Laila mengusap air matanya yang jatuh menetes. Setelahnya ia masuk ke kamar di mana Bara dibaringkan.Laila menghela nafas kasar. Dengan cepat dirinya mendekat menuju ranjang. Membuka sepatu Bara yang masih melekat itu.Ia kemudian duduk di tepi ranjang, menyentuh pipinya yang masih berdenyut sakit akibat tamparan itu.Namun ada hal yang lebih sakit dari itu. Mengetahui bahwa Bara ternyata hanya berpura-pura mencintainya. Ada alasan lain yang membuat pernikahan ini terjadi. Tapi apa? Apa tujuan Bara menikahinya? Sedari awal pernikahan ini memang begitu mengganjal hatinya. Tapi yang lebih heran Abinya malah menerima lamaran ini. Sebenarnya ada hal apa yang tidak dirinya ketahui?Laila melirik suaminya yang tengah tertidur pulas. Menatapnya membuat rasa sakit dihatinya malah bertambah saja. Namun tak urung Laila menaikan selimut untuk menutup tubuh Bara. Menariknya sampai batas dada.Dalam diam, Laila terus menatap suaminya yang tertidur pulas. Keringat di peli
“Bara juara 1, Bara juara 1. Ayah pasti senang, Ayah pasti senang.” Saat itu Bara kecil berumur 8 tahun berlari dengan membawa sebuah piala besar. Ia berlari melewati jalan yang dilalui beberapa kendaraan mobil dan motor. Walau begitu, ia berlari tentu lewat pinggir jalan.Tidak perduli dengan terik matahari yang menyengat ujung kepalanya. Karena yang lebih penting adalah ia harus membawa piala ini ke Ayahnya.Bara terus bersenandung bernyanyi akan kemenanganya. Sampai suara klakson tiba-tiba menghentikan nyanyiannya itu.Tin!“Al? Kenapa jalan? Ayo masuk mobil.” Suara itu terdengar pasca kaca jendela mobil terbuka menampilkan seorang gadis kecil.Bara kecil menggeleng senang. “Enggak, Rin. Kamu duluan aja, Bara mau jalan kaki.”Bara kembali melangkahkam kakinya.“Bara?”Anak gadis itu tiba-tiba turun dari mobilnya. Mencekal lengan Bara—menghentikannya.“Ayo, Bara! Rumah kita dekat, jadi enggak boleh nolak,ya?” “Tapi Sherin?” Bara menggeleng tidak mau. Bukan lebih tepatnya ia malu
Bara terbangun dan langsung terduduk. Nafasnya terengah-engah dengan pelipis yang dibanjiri oleh keringat.“Mas Bara, minum dulu. Mas pasti habis mimpi buruk.” Laila dengan sigap menyodorkan minuman kepada Bara. Masih dalam keterdiaman Bara mengambil air tersebut dan meminumnya.“Mas?”“Laila ...”Tanpa mendengar ucapan Laila, Bara dengan cepat memeluk tubuhnya. Memeluknya dengan begitu erat.“Tidak Laila. Jangan, Mas mohon, jangan tinggalkan, Mas ...”Laila dibuat terdiam sejenak. Namun dengan refleks ia membalas pelukan dari Bara. Tangannya mengelus punggung suaminya dengan pelan.Apa suaminya masih tidak sadarkan diri?“Mas mohon Laila ...” Ada rasa yang amat penuh pengharapan dari bibir yang dia keluarkan. Membuat Laila benar-benar dibuat bimbang akan keadaan Bara saat ini. Apa ini ... hanya kepura-puraan?Laila masih terdiam. Bukan enggan menjawab, hanya saja tidak ada jawaban tepat untuk dijawab dalam hal ini.“Laila...?” Bara melepaskan pelukan itu karena tidak mendapat respon