"Kalau aku bukan Bara? Melainkan Arya? Bagaimana" tanya Arya kemudian. "Apa bedanya? Sama-sama satu jiwa dan satu tubuh kok. Yang membedakannya... Mas Bara itu lebih seksi. Sedang Mas Arya itu... seperti putri malu, sekali kena sentuh--""Oh, jadi mulai membanding-bandingkan?" Arya memotong ucapan Laila. Membuat sang empu segera menggeleng. "Bukan gitu, hanya saja...""Kamu mau aku kayak gimana?" tanya Arya langsung, membuat Laila berkedip untuk beberapa saat. "Memangnya bisa?"Arya mengangguk. "Katakan saja?""Ehm... Laila maunya kamu itu memiliki cinta luar biasa seperti Mas Bara. Yang selalu bercanda, romantis, suka cium duluan, dan... tentu nampak seksi apabila sedang berdua. Namun juga, Laila mau kamu seperti Mas Arya yang pengertian, memiliki sikap lemah lembut dan tentu memiliki sabar walau hanya setipis tisu dibagi dua.""Aku akan berusaha menjadi seperti itu. Tapi, apa kamu juga akan menuruti apa yang aku mau?""Memangnya, apa yang Mas mau?""Aku cuman mau kamu enggak berh
"Bukan cemburu lagi, tapi kesel sama Mas Aryanya!"Arya terkekeh. "Ya udah. Jangan marah atuh, Mas kan lakuin itu emang enggak sadar.""Maksud Mas?" "Ya... Mas kadang suka gitu, La. Kalau lihat orang yang Mas kenal dan dia terluka, Mas enggak bisa diam saja. Sebisa mungkin Mas bakal nolongin. Pun sama halnya dengan perkara lain. Kadang Mas emang enggak sadar kalau di hadapkan dengan perasaan yang Mas sendiri enggak tahu apa itu. Sama kamu juga Mas kadang suka enggak sadar.""Enggak sadar? Itu berarti perkataan barusan? Mas enggak sadar juga?" Nada kesal Laila mulai memuncak. Suara yang nampak menahan kesal Laila tujukan saat Arya berkata tidak sadarkan diri. Yang benar saja? Mana ada hal seperti itu bisa dijadikan alasan? "Perkataan yang mana?" tanya Arya tanpa melirik Laila. "Mas?!" Benar saja. Laila mulai kesal dengan mendentingkan sendoknya di atas piring. "Yang benar saja? Yang tadi? Saat kamu mengatakan bahwa aku adalah istri kamu. Kamu sadar kan?""Eum... "Jawaban Arya ber
"Kalau Mas mau...""Mana ada lelaki yang enggak mau kalau ditawari?" Arya terkekeh, yang malah membuat Laila semakin dibuat merinding. Geli. Sudah lama pula ia tidak seperti ini. Lagipula ia juga berani seperti ini karena Arya adalah Bara, suaminya... jika begini, masih tidak apa-apa kan? Tidak berdosa kan? Atau memang dia berdosa? Sekalipun dengan suami sendiri? Katakan pada Laila sekarang, apa ia berdosa atau tidak? Hanya karena ingatan Arya tidak ada, apa ia salah jika melakukan hal ini? "Mas janji bakal halalin kamu untuk yang kedua kalinya," ucap Arya sembari mengigit leher Laila, membuat sang empu mendesis. "Kita akan merayakan pernikahan kita, sayang..."Arya itu lelaki normal. Tidak akan kuat jika di hadapkan dengan hal beginian. Membuat Arya lagi-lagi mencium hingga menggigit leher jenjang Laila. "Memangnya Mas tahu tanggal pernikahan kita?""30 September, kan?"Deg! Jantung Laila semakin berdebum dibuatnya saat Arya mengatakan tanggal pernikahan yang memang benar pada
"Mas? Laila udah siapin baju buat Mas pakai ya? Kalau butuh sesuatu, Mas boleh--""Sayang... Mas mau pulang saja, ya? Mas lupa juga engga kunci rumah." Laila yang tengah membereskan beberapa barang-barang terhenti sudah. Ia melirik Arya yang malah tengah memainkan ponselnya. Dengan segera Laila mengambil ponsel tersebut dan duduk di depannya. "Mas kan sekarang udah tinggal di sini? Jadi, sekarang Mas harus di sini!?""Tapi---""Laila enggak mau tau! Mas harus tidur dengan Laila sekarang!"Dengan sigap Laila menarik Arya agar tidur di sampingnya. Sehabis salat Isya dengan lelaki itu yang pulang dari Masjid, membuat Laila menyuruhnya untuk ganti baju. "Ayo Mas!"Tubuh Arya terhempas jatuh menimpa Laila. "Pelan-pelan, La. Agresif bener..." Laila tertawa, dengan segera ia memeluk Arya dari samping. "Keras kepala banget sih? Kan jadi pengen atuh..."Arya bergeming. "Pengen apa?""Pengen nebang pohon!"Kening Arya mengernyit, sedang Laila sudah berdecak saja. "Ck! Mari tidur! Mas engg
"Eh, aden Bara? Eh maksud Mbok---""Kalau Mbok maunya bilang Bara, bilang Bara aja Mbok. Gpp kok." Arya, pria itu tersenyum saat sebuah seruan dari Mbok Eka yang memanggil namanya dengan Bara. Wanita paruh baya yang satu ini pasti selalu memanggilnya dengan nama Bara apabila mereka bertemu. Membuat Arya menawarkan diri agar Mbok Eka memanggilnya saja dengan nama Bara. "Sekarang Mbok enggak bakal bingung lagi. Jadi, panggilnya Bara aja."Mbok Eka nampak berbinar. "Baik, aden. Baik."Arya tersenyum yang jelas selalu menampilkan lesung pipitnya apabila dia tersenyum. Membuat Mbok Eka dibuat terpana pada majikannya ini. "Aden lagi apa? Kok malah berkutik dengan alat-alat dapur?"Arya tersenyum lebih dulu. "Aku lagi masakin makanan buat Laila Mbok.""Mau Mbok bantu? Biar aden juga enggak kesusahan?"Arya menggeleng. "Enggak usah Mbok. Aku ingin aku sendiri yang memasak untuk Laila.""Ah baiklah. Kalau begitu, Mbok permisi dulu ya? Mau beres-beres depan rumah."Arya mengangguk, tatapanny
"Mas? Mas kan jadi sopirnya Laila... dan juga asisten Laila bekerja. Apa Mas... enggak masalah?" Di dalam mobil, Laila melirik Arya yang tengah fokus mengemudi. Kedua jari telunjuk Laila ia remas untuk mengeluarkan segala rasa canggung. Tring! Sebuah pesan dari ponsel Laila tiba-tiba berbunyi, membuat Laila dengan segera mengalihkan tatapannya. [Assalamu'alaikum, Bu Laila? Maaf menganggu. Tapi saya ingin menginformasikan kalau sekretaris dari pihak Produk mengundurkan diri. Apa Anda bisa langsung ke sini hari ini? ]Satu pesan dari Akmal membuat Laila menghela nafas. Sekretaris pihak Produk, jelas sekretarisnya Akmal bekerja. Karena jabatan Akmal saat ini Manager produk yang tentu membutuhkan sekretaris. "Mas? Kantor itu punya kamu. Laila bisa saja ngembaliin ke Mas kembali. Bagaimana?"Arya menghela nafas pelan. "Enggak perlu. Mas akan ambil jadi asisten kamu."Laila nampak bergeming. "Mas ambil alih semuanya aja, ya? Mas kan pemilik resmi perusahaan Axa?""Memangnya, dulu kanto
"Ayo sayang..." Suara Arya membuyarkan lamunan Laila. Yang kemudian pria itu menggenggam tangan Laila dan berjalan menuju mobil. Arya tersenyum, membukakan pintu mobil agar Laila masuk. Menarik kepala Laila agar ia kecup lebih dulu. Arya dengan cepat masuk ke dalam mobil. Senyumnya tidak lepas dalam menatap Laila. "Ah iya. Maafkan Mas yang tadi ya? Mau dimaafkan, kan?"Laila melirik kemudian mengangguk antusias. "Apa sih yang enggak bisa dimaafkan oleh Laila akan kamu, Mas. Semuanya past Laila maafin. Tapi, ada tapinya nih..." Laila tersenyum kikuk, sedang Arya menaikan salah satu alisnya. "Sebagai gantinya, Mas enggak boleh ninggalin Laila lagi! Dan untuk ini?" Laila menunjuk cincin yang dipakaikan langsung oleh Arya. "Makasih ya? Laila suka banget..."Arya tersenyum tipis. "Iya sayang... Mas enggak bakal ninggalin kamu. Dan, sama-sama. Nanti, jangan sampai dilepas ya? Biar mereka yang lihat tahu kalau kamu milik seseorang! " Arya terkekeh."Dan karena Laila meminta Mas untuk tid
"Assalamu'alaikum?"Tok tok tok! "Assalamu'alaikum?""Kayak enggak ada orang, La?" Arya menoleh, Laila pun ikut menoleh menatapnya. "Gak tau juga. Tapi kemarin---""Wa'alaikumusaalam...""Ayah?!" Pekikan dari Sharu saat pintu terbuka membuat Arya dengan sigap merentangkan kedua tangannya--mensejajarkan tubuh dengan Sharu. "Putri Ayah..." Dengan berbinar Arya mencium semua wajah Sharu. Sungguh, ia merindukan putri yang selalu ia jaga ini. Laila ikut terharu saat melihat Arya begitu bahagia. "Sebelumnya terima kasih ya, Mbak. Udah mau kasih kesempatan buat Mas Arya bertemu dengan Sharu."Rania, perempuan itu hanya mengangguk sekilas."Seminggu kan?" tanya Arya yang mendapat respon dari Rania. "Akan aku pergunakan sebaik mungkin untuk menghabiskan waktu bersama Sharu. Makasih Rania, makasih udah memberi kesempatan."Rania mengangguk. "Terima kasih juga telah membesarkannya."Arya tersenyum,, lebih tepatnya pura-pura tersenyum. Mana mau ia melepaskan Sharu begitu saja, ia pastikan ba