Arya masih bergeming dengan pikirannya sampai sebuah suara ketukan terdengar di balik pintu. "Mas Arya? Kamu lagi apa Mas? Perasaan sudah satu jam lho kamu di dalam?" tanya Laila membuat Arya mendengkus. Satu jam dari mana? Sepuluh menit saja tidak. Arya menghela nafas sejenak. Tidak, itu tidak benar. Laila ... dia bukan istrinya kan? Ya, dia belum menikah! "Mas?!""Iya, Laila. Sebentar..." Arya membuka pintu, menampilkan Laila yang menatap dengan raut cemas. "Kamu tidak apa-apa, kan? Lama bener?" ujar Laila sembari menilik-nilik tubuh Arya dari atas hingga bawah. "Laila, tolong. Jangan lihat aku seperti itu, aku jadi tidak nyaman," ucap Arya dengan memohon. Tatapan Laila benar-benar membuatnya tidak nyaman. Dan tentu salah tingkah. "Ah, iya. Sekarang kita makan lagi." Dengan sigap Laila menggenggam tangan Arya yang sontak dihempaskan pelan oleh Arya. "Laila? Bukankah kita bukan mahram? Kenapa kamu sering menyentuhku tanpa alasan apapun?" Laila mendongak, menatap Arya yang nam
"Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan, Mas? Tetap di sini atau mau pulang?" tanya Laila setelah barusan mereka saling berdiskusi. "Aku ingin pulang saja.""Eum, sekalian beresin ya? Nanti kan Mas Arya bakal pindah ke sini." Dengan pede Laila berujar seperti itu, membuat Arya berdecak saja. Arya beranjak dari duduknya keluar ruangan yang diikuti Laila setelahnya. "Mas, biar Laila antar ya?" tanya Laila yang mengikuti Arya dari belakang. "Tidak usah. Aku pulang sendiri saja," sela Arya tanpa menoleh ke belakang. Di sana Laila mengerucutkan bibirnya. Merasa sebal karena Arya lagi-lagi cuek padanya. "Tidak peduli! Pokoknya aku yang bakal antar Mas pulang!" Sebelum membuka pintu Laila lebih dulu mendahului Arya yang ingin membukanya. Dia berdiri tepat di depan Arya. "Atau bisa kamu yang ngendarai mobilnya? Ya?" tanya Laila dengan memelas. Seketika Arya memalingkan wajahnya, wajah imut itu malah membuat Arya salah tingkah. "Ekhm!" Arya berdehem untuk menetralkan jantungnya, kemudian
Di dalam perjalanan Arya benar-benar tidak bisa mengontrol diri, pelukan Laila dari belakang membuatnya menjadi salah tingkah saja. Membuat fokusnya selalu teralihkan akan hal itu. "Laila?" teriak Arya karena suara mesin motor yang lebih mendominasi. Dalam remang-remang Laila mendengar Arya memanggilnya. "Iya, Mas? Kau memanggikku?" tanya Laila dengan lebih mendekatkan kepalanya di pundak Arya. Jelas, hal itu semakin membuat Arya menegang untuk kian kalinya."Laila, pegangannya dipundak saja, jangan di perut!" teriak Arya di dalam helm."Apa Mas? Peluk? Iye deh ini peluk!" jawab Laila yang malah semakin memeluk Arya. "B-bukan gitu Laila, maksudku---""Iya ih! Ini juga udah erat Mas! Kurang depan ya?" teriak Laila semakin merapatkan dirinya ke depan. "Udah, sekarang yang kencang Mas!!"Di dalam helm yang tertutup itu Arya berdecak untuk beberapa kali. Memang ya, berbicara saat di atas motor malah ngelanturr jadinya. Udah meluk erat dagunya Laila bersandar pula dipundaknya. Namun t
Laila mengerjapkan matanya saat remang-remang ia mendengar sebuah suara. Membuka mata pelan hingga cahaya masuk ke dalam retina matanya. Terdiam sejenak saat matanya menatap langit-langit atap dinding, sampai sebuah ingatan membuat Laila tersadar, "Mas Arya?!" Nafas Laila tersengal, matanya kemudian melirik untuk menatap ke sekeliling. Yang nyatanya kamar dirinya sendiri. Apa? Kamarnya sendiri? Lalu Arya? Dengan sigap Laila menyibak selimut yang membungkus tubuhnya. "Mbok? Mas Arya di mana?" teriak Laila dari atas sana, hingga sebuah seruan di bawah sana terdengar. Dia Mbok Eka. "Non? Non udah sadar?" Mbok Eka langsung berlari terbirit ke atas--di mana Laila berada. "Alhamdulillah, akhirnya Non udah bangun juga," ucap Mbok Eka saat dirinya sudah berada di depan Laila. "Mbok? Siapa yang udah bawa Laila ke sini? Terus, Mas Bara?""Den Bara sendiri yang antar Non ke sini--eh maksudnya den Arya. Dia, yang bawa Non.""Terus, Laila pingsan selama berapa hari?""3 hari, Non. Itupun N
"K-kau ... istriku?" gumam Arya pelan. "Tidak!" Sedetik kemudian kepala Arya menggeleng. Tidak, mana bisa begitu? Ia bahkan tidak ingat bahwa dirinya sudah menikah. Tatapan Arya kembali menatap ponsel Laila yang sebelumnya ia pegang. Yang kemudian ia buka namun harus memasukan pin atau sidik jari. Tidak perlu pusing untuk membuka kunci tersebut karena dengan sigap Arya menarik pelan jempol Laila sebagai sidik jari. Dan berhasil! Layar ponsel Laila terbuka dengan menampilkan wallpaper dua orang berbeda gender yang saling berpelukan. Ah tidak, di foto tersebut Laila tengah mencium pipi pria itu. Sedang yang satunya memeluk Laila dengan mata yang nampak senang. Memang nampak romantis dan sangat serasi, membuat Arya semakin dibuat penasaran akan pria tersebut. Pria yang amat mirip dengannya. Yang membuat pikiran Arya berkecamuk. Semakin penasaran. Masih dalam posisi Laila di dalam dekapannya. Dengan penasaran Arya membuka galeri di HP tersebut, dan berapa terkejutnya dia saat melihat
"Mas?" Lirih. Laila bertanya dengan begitu lirih. Sedang Arya sudah senyum-senyum setelah berhasil mencium Laila. Arya sedikit mencondongkan kepalanya di telinga kiri Laila. "Setelah membuatku merasakan apa itu ciuman pertama, kamu ingin mencampakkannya dan beralih menggoda lelaki lain, hm?" bisik Arya tepat di telinga kiri Laila. Dia membisik agar tidak terdengar oleh Asyam. Arya semakin menarik pinggang Laila agar tetap menempel padanya. "Kamu kira, selama kau menggodaku terus-menerus, aku tidak tergoda karenanya? Jelas aku pria normal Laila. Aku---pria normal!"Kini yang dibuat ketar-ketir adalah Laila. Ia menelan salivanya pelan saat bisikan itu membuatnya merinding. Mengatup bibirnya rapat-rapat. "Jadi, jangan berusaha membuat orang lain jatuh cinta dengan bersikap genit kepada mereka."Arya kemudian melepas pegangannya dan sedikit memundurkan langkah. Tersenyum manis kemudian mencubit pelan pipi Laila yang masih termenung."Ayo pulang." Arya menggenggam lengan Laila dengan le
"Zahra? Are you okay?""Zahra?""Ah, iya? Kenapa Syam?" Asyam menghela nafas pelan, melirik Zahra yang sedari tadi melamun ke luar jendela. "Are you okay?""Ya. Seperti yang kamu lihat," jawab Laila dengan fokus kembali menatap luar jendela. Sebenarnya bagaimana ia akan baik-baik saja jika hatinya masih merasakan rasa sakit itu? Bagaimana ia baik-baik saja jika pria yang dia cintai malah dengan perempuan lain? Siapa yang baik-baik saja dengan semua itu? Siapapun akan merasakan sakit bukan? Apalagi sejak awal Arya nampak sudah menerimanya sebagai istri. Tapi apa? Semua kembali dihempaskan demikian jauh oleh pria itu. Tapi, apa ia bisa marah? Tidak. Mana bisa Laila marah pada lelaki yang dia cintai. Lagipula, tanpa ingatan apapun... memang akan susah untuk mengembalikan seperti mulanya. "Kamu tidak perlu memikirkan lelaki yang telah menyakiti kamu, Zahra. Kenapa harus memikirkan hal yang jelas membuatnya semakin sakit?" Asyam kembali bersuara. Namun tidak ada respon apapun dari Lai
Karena Zidna meminta Arya untuk diantarkan ke pondok, membuat Arya dengan cepat mengantarkan perempuan itu.Kini mobil itu sudah terparkir di halaman yang tidak jauh dari pondok. Pondok pesantren Assalam, itulah namanya. "Dek, aku langsung pulang saja ya? Maaf engga bisa nyempetin buat bertemu sama Kang Imam. Nanti, kalau Kang Imam nanyain, bilang aja aku ada urusan," ucap Arya setelah keduanya keluar dari dalam mobil. "Memangnya Mas mau ke mana?" tanya Zidna dengan kening bertaut. "Tidak biasanya Mas langsung pergi sebelum bertemu dengan Mas Imam.""Aku khawatir sama Sharu, Dek. Rindu juga sama dia. Setelah diambil ibunya hampir satu minggu, membuat aku sangat merindukannya," jawab Arya dengan sopan. "Tapi Mas udah bicara sama pengacara itu, kan?Apa katanya?"Arya menghela nafas pelan. Itulah alasan ia ingin cepat-cepat pergi. Ia melupakan bahwa Laila tengah bersama pria lain. "Udah dibicarain. Makannya gak punya waktu untuk sekarang. Maaf ya. Dan tolong, sampaikan salam aku ke Ka