Bara melajukan mobilnya dalam kecepatan di atas rata-rata. Ada perasaan gundah, cemas, khawatir semuanya menjadi campur aduk setelah menerima pesan dari seseorang yang sudah menculik Vano. Keringat dipelipisnya sudah bercucuran turun ke bawah hingga membasahi bajunya. Bukan hanya Vano yang ia cemaskan melainkan juga Barez yang ikut diculik oleh mereka. 2 jam yang lalu... "Ke mana Ayah pergi?" ucap Bara cemas. Sedari tadi ia memikirkan akan kondisi Ayahnya yang tidak stabil, ia benar-benar khawatir apabila ada apa-apa terhadapnya. Pada akhirnya Bara pulang sendirian, tidak menemukan Ayahnya. Ia pulang kerumah Laila karena memang kejadian itu berada di rumahnya. "Mas?" Laila yang sembari menunggu di halaman luar langsung berhambur mendekati suaminya. "Bagaimana? Apa Ayah? ""Mas tidak bisa menemukannya," jawabnya mendesah lelah. Laila melihat kecemasan yang begitu kentara di wajah suaminya. "Semuanya akan baik-baik saja, mungkin Ayah sedang ingin sendirian. Tidak mengapa, nanti ki
Bara memarkirkan mobilnya saat ia sampai ditempat tujuan. Segera ia berlari untuk mencari Ayah dan Barez. Menajamkan penglihatannya mata Bara terus mengerling ke sekeliling. Tempat ini, tempat yang paling ia suka dari bagian kenangan. Bersama Ayah, Bunda, Barez dan Kakaknya Kala. Dan dulu tempat ini begitu terurus menjadikan indah di setiap keadaan. Namun kini, tempat ini sudah lama tak terpakai, terbengkalai begitu saja. Nampak begitu angker seperti 1000 tahun yang tak terpakai. "Akh! Ampun... tolong ampuni saya..." Sebuah teriakan membuat Bara semakin mempercepat larinya. "Akh! Ampun..."Brak! Tepat suara ringisan itu terdengar, Bara menobrak pintu dengan menggunakan kaki. Seketika tubuhnya langsung terdiam tak berkutik. Di depan sana, Bara melihat dengan matanya sendiri di mana Vano di ikat dengan kedua tangan yang ditarik satu sama lainnya. Tangan kanannya diikat ke arah kanan dan tangan kirinya diikat di bagian kiri. Kepalanya menunduk dengan tubuh yang dipenuhi bercak merah
"Cih, gue benci lo Bara... dan saat ini gue hanya butuh jasad lo buat ketenangan gue! Dan ketenangan Sherin!"Bara terdiam dengan perasaan yang mulai bergejolak tinggi. "A-aku tidak mengerti apa yang kau katakan Barez. Sherin?"Barez mengepalkan tangannya kuat hingga semakin menarik tangan Bara ke belakang. Sungguh, ia benci ini! Benci segala hal yang membuatnya harus kembali mengingat rasa sakit ini. "Lo gak pernah tau apa-apa Bara! Karena lo gak pernah mau nyari kebenaran apapun! Lo egois! Lo hanya memikirkan diri lo sendiri! Dan dia! Pria tua itu, bahkan tak pernah mau memperbaiki atas apa yang dia perbuat! Lo dan dia, sama-sama manusia kejam yang pernah gue temui di muka bumi ini! Seharusnya dari dulu gue udah bunuh kalian berdua! Lo denger kan Bara?! Gue benci kalian berdua! Gue benci terlahir dari benih pria tua yang bahkan tega membuat istrinya mati karena depresi!""A-apa yang kau katakan Barez? Ap-apa semua ini?"Barez melepaskan Bara dengan kasar, kemudian ia berdiri untuk
"Barez... gimana kabar lo? Lo baik-baik aja?" tanya Sherin sembari duduk di samping Barez yang tengah menggambar. Barez bergeming. "Aku? Baik-baik saja."Sherin tertawa kecil. Ia menunduk lemah. "Kenapa lagi?" tanya Barez sesaat menatap Sherin yang menunduk lesu. "Seperti biasa," jawabnya. Barez menyimpan terlebih dahulu pensilnya. Ia menatap Sherin. "Hem, kalau gitu, bolehkan gue yang habisin?" Sherin mendongak, membalas tatapan Barez. Ia tertawa. Namun tawanya malah terlihat menyedihkan."Tentu saja." Ia mengangguk, segera membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak berisi makanan. "Maaf," ucapnya sebelum memberikan kotak makan tersebut kepada Barez. "Ck! Lo tau, makanan lo lah yang paling gue suka." Barez tertawa kecil, setelahnya membuka kotak makan yang berisi nasi goreng bercampur sosis. Di atasnya terdapat telur mata sapi. Nampak indah. "Bara gak pernah mau nerima ini. Tapi, gue gak pernah mau nyerah buat kasih dia makanan khusus buatan gue," ucap Sherin tersenyum keci
“Ayah, kenapa gubuk ini dinamakan gubuk terkutuk?" tanya Barez kecil yang saat itu berumur 6 tahun. Barez memegang tangan kanan Vano, sedang tangan kiri dipegang oleh Bara. Keduanya saling mendongak, Mira dan Kala juga saling melempar pandang kepada Vano. Vano tersenyum terlebih dahulu, kemudian ia sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya. “Kalian benar-benar ingin tahu?"“Ya!" serempak keduanya, Mira dan Kala ikut memgangguk, mereka sedikit mendekat untuk mengetahui ceritanya. “Baiklah. Kalian tahu, dahulu kala ada anggota keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan kedua anaknya. Keluarga itu hidup miskin selama puluhan tahun. Tidak punya uang, apalagi bahan makanan untuk dimakan."“Berhari-hari mereka menahan lapar, kedua anaknya terus merengek ingin makan. Saat itu, keluarga tersebut berjalan entah ke mana. Mereka melangkah tanpa tau tujuan. Yang mereka tau adalah mereka harus bisa mendapatkan makanan walau sekecil apapun itu."Vano bercerita sembari melangkahkan kakinya me
“Kak Rea, Mas Bara berbohong!" Laila menangis terisak dalam dekapan Rea. Dia menangis histeris saat tau bahwa Bara suaminya telah membohongi dirinya. “Kak, Mas Bara bohongin Laila...," lanjutnya semakin menderas. “Sutt, enggak Laila. Kamu percaya kan kalau suami kamu akan kembali? " tanya Rea berusaha mungkin menenangkan Laila. Setelah mendengar semua yang dikatakan Laila jelas membuat dirinya ikut cemas. “Tapi, dia belum kembali Kak. Mas Bara bahkan bohongin Laila akan tempat itu. Dia bilang bahwa Ayah dibawa ke Istana Kaveril, tapi setiba di sini tempat itu gak ada siapa-siapa Kak..." Ya, setelah bertanya kepada suaminya sebelum dia pergi, Laila langsung memberikan informasi kepada Reno dan Rea bahwa mereka disekap di Istana Kaveril, perbukitan Kaveril. Tapi nyatanya suaminya itu telah membohonginya. Ini bukan tempat yang sebenarnya. Bara benar-benar sengaja tidak memberi tahu kan di mana tempat yang sebenarnya. “Kak, Mas Bara Kak..." Laila semakin terisak, sungguh ia takut jik
“Apa kau tidak tau bahwa aku... merindukanmu Kak?"Deg! Shaka merapatkan bibirnya dalam-dalam. Namun matanya tidak bisa berbohong bahwa ia juga merasakan akan apa yang dirasakan Bara. “Selama ini aku hidup dengan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga kakakku. Aku bahkan sudah berjanji akan melindunginya, tapi... nyatanya aku sendiri yang mengingkarinya. Dan kini, sosok itu--"“Maaf." Shaka menepuk pelan bahu Bara yang kanan. “Maaf karena selama ini membuatmu khawatir."Bara melebarkan pupil matanya. Matanya mulai berembun. Siap menjatuhkan airnya kapan saja. “Tapi percayalah...sampai sejak itu, kaulah satu-satunya harapan yang membuatku sampai melangkah sejauh ini,Bara ..." lanjut Shaka dengan tatapan sayu. Dan benar saja, detik itu juga Bara menangis dan segera memeluk Shaka. Dia menangis dibahunya. Shaka ikut membalas pelukan Bara, ia tertawa dengan mata yang ikut menangis. Akhirnya... adiknya itu kini sudah mengerti. Bahwa semuanya tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dan s
"Shaka, apa yang akan kita lakukan? Evilina, dia menuju ke sini?" panik Barez kala ia mengintip di sebuah lubang kecil. Di ujung sana ia melihat bahwa komplotan Evilina menuju ke gubuk ini. Shaka ikut mengintip di balik lubang kecil itu. Benar, Evilina menuju ke sini. Sial! "Dengarkan aku! Semua rencana ini aku sudah persiapkan di lain dahulu, untuk itu ... aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian," ucap Shaka sembari menarik lengan Barez. Shaka menghela nafas gusar, ia menatap silih berganti antara Vano, Barez dan Bara yang berada di hadapannya saat ini. Posisi mereka saat ini tengah melingkar. "Barez, kau tau bukan bahwa tujuan dari kisah ini adalah sebuah kematian? Namun hal itu tidak akan pernah aku biarkan terjadi! " Barez bergeming, perasaannya kini benar-benar dilanda gundah. Lalu, apa yang akan dilakukan Shaka? "A-apa yang ...." Ucapan Barez tergagap saat melihat Shaka berjongkok di antara tengah-tengah mereka. Dia mengobrak-abrik sebagian jerami di sana. Bara