“Apa kau tidak tau bahwa aku... merindukanmu Kak?"Deg! Shaka merapatkan bibirnya dalam-dalam. Namun matanya tidak bisa berbohong bahwa ia juga merasakan akan apa yang dirasakan Bara. “Selama ini aku hidup dengan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga kakakku. Aku bahkan sudah berjanji akan melindunginya, tapi... nyatanya aku sendiri yang mengingkarinya. Dan kini, sosok itu--"“Maaf." Shaka menepuk pelan bahu Bara yang kanan. “Maaf karena selama ini membuatmu khawatir."Bara melebarkan pupil matanya. Matanya mulai berembun. Siap menjatuhkan airnya kapan saja. “Tapi percayalah...sampai sejak itu, kaulah satu-satunya harapan yang membuatku sampai melangkah sejauh ini,Bara ..." lanjut Shaka dengan tatapan sayu. Dan benar saja, detik itu juga Bara menangis dan segera memeluk Shaka. Dia menangis dibahunya. Shaka ikut membalas pelukan Bara, ia tertawa dengan mata yang ikut menangis. Akhirnya... adiknya itu kini sudah mengerti. Bahwa semuanya tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dan s
"Shaka, apa yang akan kita lakukan? Evilina, dia menuju ke sini?" panik Barez kala ia mengintip di sebuah lubang kecil. Di ujung sana ia melihat bahwa komplotan Evilina menuju ke gubuk ini. Shaka ikut mengintip di balik lubang kecil itu. Benar, Evilina menuju ke sini. Sial! "Dengarkan aku! Semua rencana ini aku sudah persiapkan di lain dahulu, untuk itu ... aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian," ucap Shaka sembari menarik lengan Barez. Shaka menghela nafas gusar, ia menatap silih berganti antara Vano, Barez dan Bara yang berada di hadapannya saat ini. Posisi mereka saat ini tengah melingkar. "Barez, kau tau bukan bahwa tujuan dari kisah ini adalah sebuah kematian? Namun hal itu tidak akan pernah aku biarkan terjadi! " Barez bergeming, perasaannya kini benar-benar dilanda gundah. Lalu, apa yang akan dilakukan Shaka? "A-apa yang ...." Ucapan Barez tergagap saat melihat Shaka berjongkok di antara tengah-tengah mereka. Dia mengobrak-abrik sebagian jerami di sana. Bara
Shaka bergeming. Pikirannya benar-benar dipenuhi akan hasrat untuk segera membunuh Evilina. Ia ingin mengakhiri dendam ini. Ia sudah muak membiarkan seorang penjahat berkeliaran menyakiti keluarganya. Selama ini, ia sudah bersabar dan terus berpura-pura kerap kali Evilina membuat Vano harus menuruti setiap ucapannya. Hanya karena Vano ingin anak-anaknya tetap hidup, dia rela menjadi anjing untuk majikannya. Sial! Mengingatnya saja sudah membuat darah mendesir ke segala pembuluh yang ada. Tidak ada waktu lagi. Shaka dengan tekad penuh percaya diri menarik pelatuknya, ia segera berlari ke belakang gubuk. Salah satu cara untuk menghentikan semua ini adalah di dalam gubuk ini! Brak! Shaka menendang keras pintu dari arah belakang, namun sialnya pengawal yang mejaga Evilina melihat dirinya. Kini berakhirlah dia melawan beberapa pengawalnya itu. Di arah yang sama Evilina tersenyum menyeringai. Apa-apaan ini? Mereka berkontribusi dalam penghianat ini? Hah! Menyebalkan! Shaka! Ia kira a
"Laila ... Mas mohon, bangunlah sayang."Bara memegang telapak tangan Laila erat, sembari sebelah tangannya yang tengah mengusap kepala Laila yang tertutup kerudung. "Buka mata kamu sayang," ucapnya lirih. Menarik tangan Laila kemudian mencium punggungnya. Kekuatan cinta sepertinya tengah mengadu pada semesta, membuat jari-jari tangan Laila tergerak pelan.Pelan, mata Laila terbuka. Remang-remang ia mendengar sebuah seruan nama dirinya. "Laila, alhamdulillah kamu bangun juga."Sebuah senyuman terbit dari wajah Bara membuat Laila menangis saat itu juga. "Laila, kenapa kamu nangis sayang? Kamu baik-baik saja kan? Laila---"Grep! "Mas Bara ... "Saat itu juga Laila memeluk erat suaminya. Dia menangis menenggelamkan segala rasa takut yang ada. Ia menangis terisak mengingat kembali tragedi yang menimpa keluarganya. Apalagi untuk suaminya. "Laila tau bahwa kau akan kembali. Laila tau kalau Mas Bara enggak bakal ingkar janji. Dan sekarang Laila bersyukur Mas Bara baik-baik, Laila kira M
1 tahun kemudian ... Seorang wanita berjalan menuju podium utama. Menaiki panggung kebanggaan mereka dengan wajah yang terpatri akan kesenangan. Andalanesia- yap, itulah kampus kebanggaan mereka."Teruntuk fakultas Hukum. Hadiah ini dimenangkan oleh ... Hafsah Laila Azzahra," seruan MC tersebut itulah yang membuat wanita bernama Laila berjalan menuju podium. Suara tepuk tangan menggema diseluruh podium tersebut. Memberi apresiasi untuk Laila.Laila tersenyum amat lebar. Dengan pakaian yang nampak modis dengan jilbabnya, dia seperti model muslimah yang nampak elegan. "Selamat. Selamat atas prestasi yang telah Anda raih." Laila mengangguk seraya menggenggam sebuah piala atas hadiah yang ia dapat. Sebuah piagam penghargaan juga ia dapatkan dengan penuh bangga. Pak Herman—selaku pemilik kampus memakaikan topi bertanda lulus wisuda pada kepalanya, tidak lupa lehernya yang dimasukkan sebuah medali emas berlogo dua bintang. Sungguh mengesankan.Tidak butuh waktu lama untuk acara wisuda ter
Laila mendesah lelah. Sudah 2 jam ia menghabiskan waktu untuk mencari nama suaminya di daftar absen masuk. Tapi tidak ada, tidak ada nama yang juga menurutnya curiga. "Apa dia tidak absen saat masuk?" gumam Laila sembari melihat kembali nama absen tersebut. Namun, nihil! "Sudah cukup, kepalaku pusing," keluh Laila pada akhirnya. Kemudian ia duduk untuk istirahat sebentar. Rasanya ... punggungnya sangat sakit setelah berjam-jam cuman mencari ini. "Apa masih belum ketemu, Buk?" tanya karyawan yang menjaga bagian di sana. Laila mendesah lelah. Namun, dengan tiba-tiba Laila langsung teringat sesuatu, membuat mukanya nampak berbinar. Laila menatap Pak Adhi. Kemudian ia mengeluarkan sebuah foto di dalam dompet kecilnya. Foto suaminya yang tampan 7 turunan"Pak Adhi, apa Bapak pernah melihat lelaki ini?" tanya Laila sembari memperlihatkan foto tersebut. Pak Adhi nampak berpikir. "Ahh, ya. Kemarin saya melihatnya."Nah kan! Sudah kuduga, dia datang ke sini! senang Laila dalam hatinya.
Karena terdapat warung di depan sana membuat Laila dengan segera membeli obat luka. Kecelakaan barusan tentu membuat dirinya dan pria yang berwajah Bara terluka.Laila kembali setelah membeli obat luka tersebut, ikut duduk di mana pria itu duduk. "Biar aku bersihkan lukamu," ujar Laila sembari membuka cairan alkohol. "Biar saya saja, Mbak. Saya bisa sendiri, kok," jawab pria itu menolak halus. "Diamlah, lukamu agak parah, biar aku obati dulu.""Tidak perlu, Mbak. Saya baik---"Ucapan pria itu terkatup saat Laila menatapnya dengan sorot mata tajam. Kemudian Laila melanjutkan kembali mengobati luka dari pria yang telah berhasil menarik perhatiannya. Di balik itu, Laila menyunggingkan senyumnya. Debaran jantungnya kian berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan tangannya sedikit bergetar kala ia mengobati luka lelaki itu. Lelaki itu ... lelaki yang sudah membuat Laila merasakan galau kumat dalam 3 hari ini. Lelaki yang sudah berhari-hari ia cari keberadaannya. Dan lelaki itu yang su
"Maaf, tapi saya lebih nyaman pakai nama Mbak. Karena Anda lebih tua dari saya."Sedetik itu juga suasana nampak menggelap. Benar. Tatapan Laila langsung menggelap. Tua apanya! Kami seumuran weh! "Tapi aku tidak suka!" Laila berhenti dari langkahnya, membuat Arya ikut berhenti. "Namaku Laila, tolong panggil aku dengan seperti itu," pinta Laila masih terdiam tak melangkah. "Atau bisa juga sayang, dengan senang aku akan menerimanya," gumam Laila yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Arya menelan salivnya. Kenapa jadi paksa begini? Membuat ia merasa tidak nyaman saja. "Mbak, kita bica---""M-a-s Arya, tolong, panggil aku dengan nama."Arya bergeming saat Laila menekankan suaranya. Sesaat saat dipanggil Mas, ingin sekali ia tersenyum namun ia urungkan saat melihat wajah Laila yang cemberut. Rasanya benar-benar aneh dipanggil Mas oleh orang yang baru saja ia kenal. Namun, Arya tidak bisa menyangkal bahwa sesaat melihat wajah Laila, kepribadiannya memiliki sifat arogan, ingin menan