1 tahun kemudian ... Seorang wanita berjalan menuju podium utama. Menaiki panggung kebanggaan mereka dengan wajah yang terpatri akan kesenangan. Andalanesia- yap, itulah kampus kebanggaan mereka."Teruntuk fakultas Hukum. Hadiah ini dimenangkan oleh ... Hafsah Laila Azzahra," seruan MC tersebut itulah yang membuat wanita bernama Laila berjalan menuju podium. Suara tepuk tangan menggema diseluruh podium tersebut. Memberi apresiasi untuk Laila.Laila tersenyum amat lebar. Dengan pakaian yang nampak modis dengan jilbabnya, dia seperti model muslimah yang nampak elegan. "Selamat. Selamat atas prestasi yang telah Anda raih." Laila mengangguk seraya menggenggam sebuah piala atas hadiah yang ia dapat. Sebuah piagam penghargaan juga ia dapatkan dengan penuh bangga. Pak Herman—selaku pemilik kampus memakaikan topi bertanda lulus wisuda pada kepalanya, tidak lupa lehernya yang dimasukkan sebuah medali emas berlogo dua bintang. Sungguh mengesankan.Tidak butuh waktu lama untuk acara wisuda ter
Laila mendesah lelah. Sudah 2 jam ia menghabiskan waktu untuk mencari nama suaminya di daftar absen masuk. Tapi tidak ada, tidak ada nama yang juga menurutnya curiga. "Apa dia tidak absen saat masuk?" gumam Laila sembari melihat kembali nama absen tersebut. Namun, nihil! "Sudah cukup, kepalaku pusing," keluh Laila pada akhirnya. Kemudian ia duduk untuk istirahat sebentar. Rasanya ... punggungnya sangat sakit setelah berjam-jam cuman mencari ini. "Apa masih belum ketemu, Buk?" tanya karyawan yang menjaga bagian di sana. Laila mendesah lelah. Namun, dengan tiba-tiba Laila langsung teringat sesuatu, membuat mukanya nampak berbinar. Laila menatap Pak Adhi. Kemudian ia mengeluarkan sebuah foto di dalam dompet kecilnya. Foto suaminya yang tampan 7 turunan"Pak Adhi, apa Bapak pernah melihat lelaki ini?" tanya Laila sembari memperlihatkan foto tersebut. Pak Adhi nampak berpikir. "Ahh, ya. Kemarin saya melihatnya."Nah kan! Sudah kuduga, dia datang ke sini! senang Laila dalam hatinya.
Karena terdapat warung di depan sana membuat Laila dengan segera membeli obat luka. Kecelakaan barusan tentu membuat dirinya dan pria yang berwajah Bara terluka.Laila kembali setelah membeli obat luka tersebut, ikut duduk di mana pria itu duduk. "Biar aku bersihkan lukamu," ujar Laila sembari membuka cairan alkohol. "Biar saya saja, Mbak. Saya bisa sendiri, kok," jawab pria itu menolak halus. "Diamlah, lukamu agak parah, biar aku obati dulu.""Tidak perlu, Mbak. Saya baik---"Ucapan pria itu terkatup saat Laila menatapnya dengan sorot mata tajam. Kemudian Laila melanjutkan kembali mengobati luka dari pria yang telah berhasil menarik perhatiannya. Di balik itu, Laila menyunggingkan senyumnya. Debaran jantungnya kian berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan tangannya sedikit bergetar kala ia mengobati luka lelaki itu. Lelaki itu ... lelaki yang sudah membuat Laila merasakan galau kumat dalam 3 hari ini. Lelaki yang sudah berhari-hari ia cari keberadaannya. Dan lelaki itu yang su
"Maaf, tapi saya lebih nyaman pakai nama Mbak. Karena Anda lebih tua dari saya."Sedetik itu juga suasana nampak menggelap. Benar. Tatapan Laila langsung menggelap. Tua apanya! Kami seumuran weh! "Tapi aku tidak suka!" Laila berhenti dari langkahnya, membuat Arya ikut berhenti. "Namaku Laila, tolong panggil aku dengan seperti itu," pinta Laila masih terdiam tak melangkah. "Atau bisa juga sayang, dengan senang aku akan menerimanya," gumam Laila yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Arya menelan salivnya. Kenapa jadi paksa begini? Membuat ia merasa tidak nyaman saja. "Mbak, kita bica---""M-a-s Arya, tolong, panggil aku dengan nama."Arya bergeming saat Laila menekankan suaranya. Sesaat saat dipanggil Mas, ingin sekali ia tersenyum namun ia urungkan saat melihat wajah Laila yang cemberut. Rasanya benar-benar aneh dipanggil Mas oleh orang yang baru saja ia kenal. Namun, Arya tidak bisa menyangkal bahwa sesaat melihat wajah Laila, kepribadiannya memiliki sifat arogan, ingin menan
Laila yang sudah menjauh dari jarak diantara ketiga orang itu menangis dalam diam. Lebih baik ia pergi bukan daripada menganggu bahagia dari keluarga kecil mereka? Ya! Sebaiknya ia pergi, karena dirinya sadar bahwa ia bukan pelakor dan tidak akan pernah menjadi pelakor! Laila menghela nafas sesak. Kemudian ia bersiap untuk berbalik. Hari ini, ia akan pergi saja, entah ke mana yang penting menjauh dari mereka. Sebelum itu, Laila menghapus air matanya terlebih dahulu. Kemudian beringsut pergi dengan rasa sakit yang amat menyesakkan. Namun sesaat berjalan untuk menjauh, Laila mendengar suara di belakang sana. Suara yang hendak memanggil namanya. "Bunda?"Kening Laila mengerut, mungkin ia salah dengar. "Bunda ... hiks, Bunda ini Shalu."Deg! Laila membeku saat tarikan dari tasnya terasa. Dengan segera ia membalikkan badan. Seorang bocah berumur 3 tahun menangis terisak. Menarik baju gamis yang dikenakan Laila. "Bunda?"Laila benar-benar tidak mengerti, kenapa anak kecil ini menga
Laila menggendong Sharu menuju rumah Arya. Di sana ia melihat rumah itu yang nampak sangat sederhana. Lebih sederhana dari rumahnya dahulu. Laila jadi berpikir, apa dia hidup susah? Atau ... "Bunda, kenapa Bunda balu datang? Kenapa Bunda waktu itu pelgi ninggalin Shalu?"Tiba-tiba bocah berumur 3 tahun itu menatap Laila, yang ditatap hanya menampilkan senyum tipisnya. "Sharu rindu Bunda?" tanya Laila yang diangguki Sharu. "Linduuuu banget, lindunya juga segede ini ... " Sharu merentangkan tangannya membentuk bulat. Pertanda bahwa sebesar itu rindu anak ini untuk Bunda nya. Sayangnya, ia bukan Bunda sungguhan, ia hanya wanita yang tidak sengaja bertemu dengan anak ini. Laila menghela nafas saat ia masuk ke dalam rumah. Di sana, terdapat kursi sofa kecil berbentuk panjang dan kursi kecil dibagian lain. Membuat Laila menyimpan terlebih dahulu Sharu dari gendongannya. Ternyata bocah ini berat juga. Entah apa yang setiap hari dia makan, sampai-sampai membuat Laila kewalahan sendiri.
Berusaha mungkin Laila tersenyum manis, walau tau sekarang wajahnya nampak basah. Andai ... andai saja yang melakukan ini bukan Arya, sudah dipastikan hari ini sudah habis dalam penglihatannya. “Astaghfirullah Laila! Maaf, aku benar-benar tidak sengaja." Dengan segera Arya mengambil tissue saat Laila ingin membersihkannya dengan bajunya. “Tunggu sebentar Laila," ucapnya kemudian. Kembali setelah membawa tissu, Arya dengan sigap menggeser kursi dan duduk di dekat Laila. Pelan, Arya mulai membersihkan wajah Laila menggunakan tissu.“Maaf, a-aku benar-benar tidak sengaja," ucap Arya merasa bersalah. Namun bukannya marah Laila malah tersenyum. “Tidak apa-apa kok, namanya juga tidak sengaja."Laila mulai membuka matanya saat Arya berhasil mengelapnya. Jantungnya kembali berdebum saat jarak diantara keduanya terasa dekat. Laila tersenyum tipis, mendongak untuk menatap Arya dari jarak yang dekat. Sedangkan tangan Arya masih setia membersihkan cairan di wajah Laila dengan lembut. “Jadi,
Pada akhirnya Laila kembali memakai baju miliknya sendiri. Rasa malu atas insiden tadi membuatnya enggan untuk meminjam baju yang lain, takutnya malah sama, tidak bisa di resleting. Arya, lelaki itu berulang kali meminta maaf atas insiden tadi, membuatnya kembali teringat. Benar-benar malu, apa yang dipikirkan Arya saat itu ya? Aish! Laila kini tengah duduk di kursi sofa, membuka line chat untuk mengirim pesan kepada Silvy, ah tidak, lebih baik langsung telfon saja dia. Suara Sharu dan Arya baru muncul kembali setelah mereka pergi ke luar untuk membeli bubur sebagai pelengkap sarapan. Membuat Laila yang saat itu tengah menyambungkan telfon izin untuk keluar sebentar. ''Assalamu'alaikum, Vy?" salam Laila saat sambungan itu tersambung. "Wa'alaikumussalam, Kakak? Ke mana aja? Mbok Eka kemarin ke rumah aku, dia datang buat nanyain Kakak. Kak Laila enggak pulang?""Kebetulan aku emang enggak pulang, Vy. Mobil aku pun di simpan dikantor. Ah, apa nanti kamu boleh ke sini? Jemput aku?""