Laila menggendong Sharu menuju rumah Arya. Di sana ia melihat rumah itu yang nampak sangat sederhana. Lebih sederhana dari rumahnya dahulu. Laila jadi berpikir, apa dia hidup susah? Atau ... "Bunda, kenapa Bunda balu datang? Kenapa Bunda waktu itu pelgi ninggalin Shalu?"Tiba-tiba bocah berumur 3 tahun itu menatap Laila, yang ditatap hanya menampilkan senyum tipisnya. "Sharu rindu Bunda?" tanya Laila yang diangguki Sharu. "Linduuuu banget, lindunya juga segede ini ... " Sharu merentangkan tangannya membentuk bulat. Pertanda bahwa sebesar itu rindu anak ini untuk Bunda nya. Sayangnya, ia bukan Bunda sungguhan, ia hanya wanita yang tidak sengaja bertemu dengan anak ini. Laila menghela nafas saat ia masuk ke dalam rumah. Di sana, terdapat kursi sofa kecil berbentuk panjang dan kursi kecil dibagian lain. Membuat Laila menyimpan terlebih dahulu Sharu dari gendongannya. Ternyata bocah ini berat juga. Entah apa yang setiap hari dia makan, sampai-sampai membuat Laila kewalahan sendiri.
Berusaha mungkin Laila tersenyum manis, walau tau sekarang wajahnya nampak basah. Andai ... andai saja yang melakukan ini bukan Arya, sudah dipastikan hari ini sudah habis dalam penglihatannya. “Astaghfirullah Laila! Maaf, aku benar-benar tidak sengaja." Dengan segera Arya mengambil tissue saat Laila ingin membersihkannya dengan bajunya. “Tunggu sebentar Laila," ucapnya kemudian. Kembali setelah membawa tissu, Arya dengan sigap menggeser kursi dan duduk di dekat Laila. Pelan, Arya mulai membersihkan wajah Laila menggunakan tissu.“Maaf, a-aku benar-benar tidak sengaja," ucap Arya merasa bersalah. Namun bukannya marah Laila malah tersenyum. “Tidak apa-apa kok, namanya juga tidak sengaja."Laila mulai membuka matanya saat Arya berhasil mengelapnya. Jantungnya kembali berdebum saat jarak diantara keduanya terasa dekat. Laila tersenyum tipis, mendongak untuk menatap Arya dari jarak yang dekat. Sedangkan tangan Arya masih setia membersihkan cairan di wajah Laila dengan lembut. “Jadi,
Pada akhirnya Laila kembali memakai baju miliknya sendiri. Rasa malu atas insiden tadi membuatnya enggan untuk meminjam baju yang lain, takutnya malah sama, tidak bisa di resleting. Arya, lelaki itu berulang kali meminta maaf atas insiden tadi, membuatnya kembali teringat. Benar-benar malu, apa yang dipikirkan Arya saat itu ya? Aish! Laila kini tengah duduk di kursi sofa, membuka line chat untuk mengirim pesan kepada Silvy, ah tidak, lebih baik langsung telfon saja dia. Suara Sharu dan Arya baru muncul kembali setelah mereka pergi ke luar untuk membeli bubur sebagai pelengkap sarapan. Membuat Laila yang saat itu tengah menyambungkan telfon izin untuk keluar sebentar. ''Assalamu'alaikum, Vy?" salam Laila saat sambungan itu tersambung. "Wa'alaikumussalam, Kakak? Ke mana aja? Mbok Eka kemarin ke rumah aku, dia datang buat nanyain Kakak. Kak Laila enggak pulang?""Kebetulan aku emang enggak pulang, Vy. Mobil aku pun di simpan dikantor. Ah, apa nanti kamu boleh ke sini? Jemput aku?""
Sorot matanya ...membuat kaki Akmal bergetar saat itu juga. Laila tersenyum devil, mengerikan di mata Akmal saat ini. Membuat jiwa Akmal menciut seraya berkata, “B--bu, La--Ila," gelagapnya dengan takut. Sedang Arya mengernyitkan alisnya melihat temannya itu yang seperti melihat hantu, padahal yang di lihat hanya Laila, kenapa setakut itu? "Akmal, kenapa wajahmu seperti itu? Dan apanya yang hancur?" tanyanya membuat Akmal melotot tanda untuk Arya diam. Namun tak ayal untuk Arya, alisnya semakin bertaut saat Laila mulai berjalan menuju keduanya. Dia tersenyum, tapi bukan tersenyum tulus sepertinya biasanya. "Arya, hari ini aku akan pulang," ucap Laila setelah tepat berada di keduanya. Ia tersenyum terlebih dahulu kepada Arya, ucapannya begitu lembut dan manis. Namun saat ekor matanya melirik Akmal, berubah bengis bak hewan kelaparan.Akmal dibuat ketar-ketir. Sumpah demi apapun, jiwanya saat ini benar-benar dipertaruhkan antara hidup dan mati. Apalagi sudah terang-terangan membicara
"Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Bu, jadi tolong, jangan pecat saya, Bu." Akmal kembali memohon. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan yang ditautkan di depan dada. "Aku tidak sungguh-sungguh mengucapkannya kok, yang tadi hanya untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Dan ternyata terbukti sudah bahwa Arya adalah Bara." Laila tersenyum, hatinya mencelos tenang begitu saja. Akhirnya, inilah titik terang yang sebenarnya. Titik di mana Arya memang Bara. Laila bergeming, masih menatap Akmal. "Jika kamu sudah tau, lalu kenapa diawal kau tidak mengatakan yang sebenarnya?""Karena saya sengaja ingin menyembunyikan identitas Bara dari hal yang membahayakan dirinya.""Kenapa?"Akmal terdiam sejenak. Menatap terlebih dahulu Laila. "Lalu, boleh saya bertanya lebih dahulu apa hubungan Bu Laila dengannya? " tanya Akmal membuat Laila tersenyum. "Aku istrinya!"Terdapat keterkejutan dari yang Akmal tampilkan. Namun sedetik kemudian ia mangut-mangut. "Pantas saja Bu Laila langsung gemp
Laila termenung dengan tatapan yang kosong. Menerawang ke depan dengan pikiran yang amat berkecamuk. Kursi yang Laila duduki berputar seiring pikirannya yang juga sama berputar. Masalah yang baru saja ia dengar ... benar-benar membuatnya berpikir lebih dalam. Apalagi setelah mendengar perkataan Akmal saat itu ... "Setelah hari itu. Hari di mana Shaka mengorbankan nyawanya agar Bara tetap hidup, semuanya kembali berjalan dengan baik. 2 minggu pemulihan untuk Bara sudah cukup membuat Bara ingin pulang ke rumahnya."Saat itu, aku menyetujui usulannya, karena bagaimana pun aku tahu bahwa keluarga Bara pasti akan mencarinya.Namun, takdir malah berkata lain saat kami dalam perjalanan ..." Akmal menjeda ucapannya. Meremas ujung lututnya pelan. Dalam sekali tarikan nafas Akmal berucap, "Bara tertabrak mobil saat hendak menyebrang jalan. Saat itu ... setelah kecelakaan, nyawa Bara berhasil terselamatakan hanya saja ... Bara dinyatakan hilang ingatan secara permanen."Laila yang sedari tadi
Laila memarkirkan mobil hitamnya tepat di depan rumah Arya. Sebuah senyum tidak pernah lepas dari bibir tipisnya saat ekor matanya menatap objek yang kini baru saja keluar. Yah, siapa lagi kalau bukan Arya. Merapikan terlebih dahulu kerudungnya lalu beringsut keluar dengan wajah yang nampak berbinar. "Bundaaa?" Si kecil sudah berseru pasca Laila turun dari mobilnya. Dengan segera Laila merentangkan kedua tangannya dan... Hap! Laila membalas pelukan Sharu dengan senang. "Yeay, Bunda datang ke sini ... Bunda gak ingkal janji."Laila tertawa kecil sembari tangannya yang mengelus lembut kepala Sharu. "Mana mungkin Bunda ingkar janji sama kamu yang Bunda sayang ini, hm?" Laila melepaskan pelukannya. Mencubit pelan pipi Sharu kemudian mencium hidung mungilnya gemas. Sharu tertawa geli. Matanya menampilkan bulan sabit kala Laila terus menciuminya. "Bunda udah, geli. Hahaha," teriak Sharu menahan kepala Laila agar tidak menciuminya terus. Sedang Laila ikut tertawa, tatapan matanya pu
Laila mendengkus kesal. Menggenggam erat kemudi dengan perasaan bungkah. Namun, saat matanya memandang kaca tengah yang tergantung ia langsung mengalihkan tatapannya ke belakang. Mainan untuk Sharu. Ia lupa untuk memberikan pada bocah itu. "Apa aku kembali saja untuk memberikan kepada Sharu?" gumam Laila menatap beberapa mainan tersebut. "Tapi, Arya pasti akan langsung mengusirku. " Mendesah pelan, Laila menyandarkan punggungnya di kursi kemudi. "Tapi kan ... " Pikiran Laila kembali berkecamuk antara kembali untuk memberikan hadiah mainan itu atau tidak sama sekali. Laila bergeming untuk beberapa saat sebelum beringsut keluar dan membuka pintu belakang mobil. "Lagi pula, aku sudah janji kepada Sharu akan memberikan mainan padanya. Jika Arya menolak, apa peduli ku? Akan aku katakan kalau aku istrinya!"Dengan perasaan kesal Laila membawa semua mainan tersebut. Menjingjing kemudian berbalik untuk kembali menemui Sharu. Laila berjalan menuju pintu, samar di balik pintu tersebut La