Sorot matanya ...membuat kaki Akmal bergetar saat itu juga. Laila tersenyum devil, mengerikan di mata Akmal saat ini. Membuat jiwa Akmal menciut seraya berkata, “B--bu, La--Ila," gelagapnya dengan takut. Sedang Arya mengernyitkan alisnya melihat temannya itu yang seperti melihat hantu, padahal yang di lihat hanya Laila, kenapa setakut itu? "Akmal, kenapa wajahmu seperti itu? Dan apanya yang hancur?" tanyanya membuat Akmal melotot tanda untuk Arya diam. Namun tak ayal untuk Arya, alisnya semakin bertaut saat Laila mulai berjalan menuju keduanya. Dia tersenyum, tapi bukan tersenyum tulus sepertinya biasanya. "Arya, hari ini aku akan pulang," ucap Laila setelah tepat berada di keduanya. Ia tersenyum terlebih dahulu kepada Arya, ucapannya begitu lembut dan manis. Namun saat ekor matanya melirik Akmal, berubah bengis bak hewan kelaparan.Akmal dibuat ketar-ketir. Sumpah demi apapun, jiwanya saat ini benar-benar dipertaruhkan antara hidup dan mati. Apalagi sudah terang-terangan membicara
"Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Bu, jadi tolong, jangan pecat saya, Bu." Akmal kembali memohon. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan yang ditautkan di depan dada. "Aku tidak sungguh-sungguh mengucapkannya kok, yang tadi hanya untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Dan ternyata terbukti sudah bahwa Arya adalah Bara." Laila tersenyum, hatinya mencelos tenang begitu saja. Akhirnya, inilah titik terang yang sebenarnya. Titik di mana Arya memang Bara. Laila bergeming, masih menatap Akmal. "Jika kamu sudah tau, lalu kenapa diawal kau tidak mengatakan yang sebenarnya?""Karena saya sengaja ingin menyembunyikan identitas Bara dari hal yang membahayakan dirinya.""Kenapa?"Akmal terdiam sejenak. Menatap terlebih dahulu Laila. "Lalu, boleh saya bertanya lebih dahulu apa hubungan Bu Laila dengannya? " tanya Akmal membuat Laila tersenyum. "Aku istrinya!"Terdapat keterkejutan dari yang Akmal tampilkan. Namun sedetik kemudian ia mangut-mangut. "Pantas saja Bu Laila langsung gemp
Laila termenung dengan tatapan yang kosong. Menerawang ke depan dengan pikiran yang amat berkecamuk. Kursi yang Laila duduki berputar seiring pikirannya yang juga sama berputar. Masalah yang baru saja ia dengar ... benar-benar membuatnya berpikir lebih dalam. Apalagi setelah mendengar perkataan Akmal saat itu ... "Setelah hari itu. Hari di mana Shaka mengorbankan nyawanya agar Bara tetap hidup, semuanya kembali berjalan dengan baik. 2 minggu pemulihan untuk Bara sudah cukup membuat Bara ingin pulang ke rumahnya."Saat itu, aku menyetujui usulannya, karena bagaimana pun aku tahu bahwa keluarga Bara pasti akan mencarinya.Namun, takdir malah berkata lain saat kami dalam perjalanan ..." Akmal menjeda ucapannya. Meremas ujung lututnya pelan. Dalam sekali tarikan nafas Akmal berucap, "Bara tertabrak mobil saat hendak menyebrang jalan. Saat itu ... setelah kecelakaan, nyawa Bara berhasil terselamatakan hanya saja ... Bara dinyatakan hilang ingatan secara permanen."Laila yang sedari tadi
Laila memarkirkan mobil hitamnya tepat di depan rumah Arya. Sebuah senyum tidak pernah lepas dari bibir tipisnya saat ekor matanya menatap objek yang kini baru saja keluar. Yah, siapa lagi kalau bukan Arya. Merapikan terlebih dahulu kerudungnya lalu beringsut keluar dengan wajah yang nampak berbinar. "Bundaaa?" Si kecil sudah berseru pasca Laila turun dari mobilnya. Dengan segera Laila merentangkan kedua tangannya dan... Hap! Laila membalas pelukan Sharu dengan senang. "Yeay, Bunda datang ke sini ... Bunda gak ingkal janji."Laila tertawa kecil sembari tangannya yang mengelus lembut kepala Sharu. "Mana mungkin Bunda ingkar janji sama kamu yang Bunda sayang ini, hm?" Laila melepaskan pelukannya. Mencubit pelan pipi Sharu kemudian mencium hidung mungilnya gemas. Sharu tertawa geli. Matanya menampilkan bulan sabit kala Laila terus menciuminya. "Bunda udah, geli. Hahaha," teriak Sharu menahan kepala Laila agar tidak menciuminya terus. Sedang Laila ikut tertawa, tatapan matanya pu
Laila mendengkus kesal. Menggenggam erat kemudi dengan perasaan bungkah. Namun, saat matanya memandang kaca tengah yang tergantung ia langsung mengalihkan tatapannya ke belakang. Mainan untuk Sharu. Ia lupa untuk memberikan pada bocah itu. "Apa aku kembali saja untuk memberikan kepada Sharu?" gumam Laila menatap beberapa mainan tersebut. "Tapi, Arya pasti akan langsung mengusirku. " Mendesah pelan, Laila menyandarkan punggungnya di kursi kemudi. "Tapi kan ... " Pikiran Laila kembali berkecamuk antara kembali untuk memberikan hadiah mainan itu atau tidak sama sekali. Laila bergeming untuk beberapa saat sebelum beringsut keluar dan membuka pintu belakang mobil. "Lagi pula, aku sudah janji kepada Sharu akan memberikan mainan padanya. Jika Arya menolak, apa peduli ku? Akan aku katakan kalau aku istrinya!"Dengan perasaan kesal Laila membawa semua mainan tersebut. Menjingjing kemudian berbalik untuk kembali menemui Sharu. Laila berjalan menuju pintu, samar di balik pintu tersebut La
"Ish! Fokus La, fokus ... " gerutu Laila saat sebuah pekerjaan yang harusnya diselesaikan malah tidak kunjung selesai. Pikirannya berkecamuk akan Arya, membuat fokusnya benar-benar teralihkan. Kini, dia tengah berkutik dengan beberapa kertas di depannya. Ada beberapa kasus yang juga tengah ia pegang, untuk itu ia harus menyiapkan beberapa hal sebelum sidang dimulai. Menggenggam sebuah pekerjaan di sana sini membuat Laila sedikit tertekan. Tidak. Lebih tepatnya karena Arya. Pria itulah yang sudah mengalihkan segala fokusnya selama ini. Derrtt DerrttSuara telfon genggam terdengar begitu nyaring, membuat Laila refleks mengangkatnya. "Assalamu'alaikum, Kak?" Suara Silvy di sebrang sana. "Wa'alaikumussalam, iya, kenapa Vy?""Kak, kakak tidak akan ke kantor hari ini?"Laila berdeham kecil, satu tangannya tengah memegang telfon genggam, sedang tangan satunya sibuk menulis sesuatu di atas kertas."Sepertinya tidak, Vy. Hari ini semua tugas di kantor, saya serahkan kepada kamu dan Akmal,
Laila semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Sebelum Arya sampai di sana, dirinya sendirilah yang harus lebih dulu sampai. Ya, ada suatu hal yang harus ia selesaikan sebelum Arya melihat semuanya. Butuh 20 menit untuk Laila sampai dengan selamat. Kini ia bernafas lega karena lebih dulu sampai ketimbang Arya. Dengan cepat Laila berlari menuju rumah, bahkan ia menghiraukan sapaan Pak Andi karena saking tergesa-gesa nya. Laila berlari, menaiki beberapa anak tangga untuk menuju kamarnya. Brak! Dengan keras Laila mendobrak pintu. Menatap penuh dinding yang di gantungin oleh sosok Bara. Dengan cepat Laila mengambil foto yang tergantung di sana.Tidak terkecuali yang ada di atas nakas, dan tempat lain. Laila mengambil semua bentuk foto figuran yang berwajah Bara dan dirinya. Dengan cepat pula ia menyimpan foto tersebut di sebuah keranjang berbentuk kotak. "Aku harus menyembunyikan ini lebih dulu. Tidak mungkin bukan jika tiba-tiba Mas Arya lihat ini? Bagaimana kalau dia la
Tak! Laila menyimpan makanan yang baru saja ia masak. Menyimpannya tepat di meja makan depan Arya. Suara hentakkan nya terdengar hingga membuat Arya langsung menatap sang pelaku. "Mas, kamu jangan duduk di situ!" ujar Laila saat melihat Arya duduk manis di tempat yang tidak seharusnya. Itu mengapa ia tadi sedikit menghentakkan makanan hanya untuk mengalihkan perhatian Arya. "Terus, harus di mana?" tanya Arya dengan kening bertaut. "Di sini!" tepuk Laila pada kursi yang memang seharusnya Arya duduki. Dia menggeser kursi itu sedikit ke belakang."Aku di sini saja La, itu kan kursi punya kamu. Sudah semestinya kamu duduk di sana." Arya menolak. Duduk di kursi pimpinan kepala rumah? Bukankah bukan haknya? Lagi pula ia adalah tamu, sangat tidak punya hak untuk duduk di sana.Namun Laila adalah Laila. Dia dengan segera menarik lengan Arya dan menyeretnya menuju kursi yang dulu Bara duduki. "Aku bilang di sini! Jadi harus di sini!" perintah Laila saat mendudukan Arya di kursi tersebut.
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,