Laila memarkirkan mobil hitamnya tepat di depan rumah Arya. Sebuah senyum tidak pernah lepas dari bibir tipisnya saat ekor matanya menatap objek yang kini baru saja keluar. Yah, siapa lagi kalau bukan Arya. Merapikan terlebih dahulu kerudungnya lalu beringsut keluar dengan wajah yang nampak berbinar. "Bundaaa?" Si kecil sudah berseru pasca Laila turun dari mobilnya. Dengan segera Laila merentangkan kedua tangannya dan... Hap! Laila membalas pelukan Sharu dengan senang. "Yeay, Bunda datang ke sini ... Bunda gak ingkal janji."Laila tertawa kecil sembari tangannya yang mengelus lembut kepala Sharu. "Mana mungkin Bunda ingkar janji sama kamu yang Bunda sayang ini, hm?" Laila melepaskan pelukannya. Mencubit pelan pipi Sharu kemudian mencium hidung mungilnya gemas. Sharu tertawa geli. Matanya menampilkan bulan sabit kala Laila terus menciuminya. "Bunda udah, geli. Hahaha," teriak Sharu menahan kepala Laila agar tidak menciuminya terus. Sedang Laila ikut tertawa, tatapan matanya pu
Laila mendengkus kesal. Menggenggam erat kemudi dengan perasaan bungkah. Namun, saat matanya memandang kaca tengah yang tergantung ia langsung mengalihkan tatapannya ke belakang. Mainan untuk Sharu. Ia lupa untuk memberikan pada bocah itu. "Apa aku kembali saja untuk memberikan kepada Sharu?" gumam Laila menatap beberapa mainan tersebut. "Tapi, Arya pasti akan langsung mengusirku. " Mendesah pelan, Laila menyandarkan punggungnya di kursi kemudi. "Tapi kan ... " Pikiran Laila kembali berkecamuk antara kembali untuk memberikan hadiah mainan itu atau tidak sama sekali. Laila bergeming untuk beberapa saat sebelum beringsut keluar dan membuka pintu belakang mobil. "Lagi pula, aku sudah janji kepada Sharu akan memberikan mainan padanya. Jika Arya menolak, apa peduli ku? Akan aku katakan kalau aku istrinya!"Dengan perasaan kesal Laila membawa semua mainan tersebut. Menjingjing kemudian berbalik untuk kembali menemui Sharu. Laila berjalan menuju pintu, samar di balik pintu tersebut La
"Ish! Fokus La, fokus ... " gerutu Laila saat sebuah pekerjaan yang harusnya diselesaikan malah tidak kunjung selesai. Pikirannya berkecamuk akan Arya, membuat fokusnya benar-benar teralihkan. Kini, dia tengah berkutik dengan beberapa kertas di depannya. Ada beberapa kasus yang juga tengah ia pegang, untuk itu ia harus menyiapkan beberapa hal sebelum sidang dimulai. Menggenggam sebuah pekerjaan di sana sini membuat Laila sedikit tertekan. Tidak. Lebih tepatnya karena Arya. Pria itulah yang sudah mengalihkan segala fokusnya selama ini. Derrtt DerrttSuara telfon genggam terdengar begitu nyaring, membuat Laila refleks mengangkatnya. "Assalamu'alaikum, Kak?" Suara Silvy di sebrang sana. "Wa'alaikumussalam, iya, kenapa Vy?""Kak, kakak tidak akan ke kantor hari ini?"Laila berdeham kecil, satu tangannya tengah memegang telfon genggam, sedang tangan satunya sibuk menulis sesuatu di atas kertas."Sepertinya tidak, Vy. Hari ini semua tugas di kantor, saya serahkan kepada kamu dan Akmal,
Laila semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Sebelum Arya sampai di sana, dirinya sendirilah yang harus lebih dulu sampai. Ya, ada suatu hal yang harus ia selesaikan sebelum Arya melihat semuanya. Butuh 20 menit untuk Laila sampai dengan selamat. Kini ia bernafas lega karena lebih dulu sampai ketimbang Arya. Dengan cepat Laila berlari menuju rumah, bahkan ia menghiraukan sapaan Pak Andi karena saking tergesa-gesa nya. Laila berlari, menaiki beberapa anak tangga untuk menuju kamarnya. Brak! Dengan keras Laila mendobrak pintu. Menatap penuh dinding yang di gantungin oleh sosok Bara. Dengan cepat Laila mengambil foto yang tergantung di sana.Tidak terkecuali yang ada di atas nakas, dan tempat lain. Laila mengambil semua bentuk foto figuran yang berwajah Bara dan dirinya. Dengan cepat pula ia menyimpan foto tersebut di sebuah keranjang berbentuk kotak. "Aku harus menyembunyikan ini lebih dulu. Tidak mungkin bukan jika tiba-tiba Mas Arya lihat ini? Bagaimana kalau dia la
Tak! Laila menyimpan makanan yang baru saja ia masak. Menyimpannya tepat di meja makan depan Arya. Suara hentakkan nya terdengar hingga membuat Arya langsung menatap sang pelaku. "Mas, kamu jangan duduk di situ!" ujar Laila saat melihat Arya duduk manis di tempat yang tidak seharusnya. Itu mengapa ia tadi sedikit menghentakkan makanan hanya untuk mengalihkan perhatian Arya. "Terus, harus di mana?" tanya Arya dengan kening bertaut. "Di sini!" tepuk Laila pada kursi yang memang seharusnya Arya duduki. Dia menggeser kursi itu sedikit ke belakang."Aku di sini saja La, itu kan kursi punya kamu. Sudah semestinya kamu duduk di sana." Arya menolak. Duduk di kursi pimpinan kepala rumah? Bukankah bukan haknya? Lagi pula ia adalah tamu, sangat tidak punya hak untuk duduk di sana.Namun Laila adalah Laila. Dia dengan segera menarik lengan Arya dan menyeretnya menuju kursi yang dulu Bara duduki. "Aku bilang di sini! Jadi harus di sini!" perintah Laila saat mendudukan Arya di kursi tersebut.
Arya masih bergeming dengan pikirannya sampai sebuah suara ketukan terdengar di balik pintu. "Mas Arya? Kamu lagi apa Mas? Perasaan sudah satu jam lho kamu di dalam?" tanya Laila membuat Arya mendengkus. Satu jam dari mana? Sepuluh menit saja tidak. Arya menghela nafas sejenak. Tidak, itu tidak benar. Laila ... dia bukan istrinya kan? Ya, dia belum menikah! "Mas?!""Iya, Laila. Sebentar..." Arya membuka pintu, menampilkan Laila yang menatap dengan raut cemas. "Kamu tidak apa-apa, kan? Lama bener?" ujar Laila sembari menilik-nilik tubuh Arya dari atas hingga bawah. "Laila, tolong. Jangan lihat aku seperti itu, aku jadi tidak nyaman," ucap Arya dengan memohon. Tatapan Laila benar-benar membuatnya tidak nyaman. Dan tentu salah tingkah. "Ah, iya. Sekarang kita makan lagi." Dengan sigap Laila menggenggam tangan Arya yang sontak dihempaskan pelan oleh Arya. "Laila? Bukankah kita bukan mahram? Kenapa kamu sering menyentuhku tanpa alasan apapun?" Laila mendongak, menatap Arya yang nam
"Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan, Mas? Tetap di sini atau mau pulang?" tanya Laila setelah barusan mereka saling berdiskusi. "Aku ingin pulang saja.""Eum, sekalian beresin ya? Nanti kan Mas Arya bakal pindah ke sini." Dengan pede Laila berujar seperti itu, membuat Arya berdecak saja. Arya beranjak dari duduknya keluar ruangan yang diikuti Laila setelahnya. "Mas, biar Laila antar ya?" tanya Laila yang mengikuti Arya dari belakang. "Tidak usah. Aku pulang sendiri saja," sela Arya tanpa menoleh ke belakang. Di sana Laila mengerucutkan bibirnya. Merasa sebal karena Arya lagi-lagi cuek padanya. "Tidak peduli! Pokoknya aku yang bakal antar Mas pulang!" Sebelum membuka pintu Laila lebih dulu mendahului Arya yang ingin membukanya. Dia berdiri tepat di depan Arya. "Atau bisa kamu yang ngendarai mobilnya? Ya?" tanya Laila dengan memelas. Seketika Arya memalingkan wajahnya, wajah imut itu malah membuat Arya salah tingkah. "Ekhm!" Arya berdehem untuk menetralkan jantungnya, kemudian
Di dalam perjalanan Arya benar-benar tidak bisa mengontrol diri, pelukan Laila dari belakang membuatnya menjadi salah tingkah saja. Membuat fokusnya selalu teralihkan akan hal itu. "Laila?" teriak Arya karena suara mesin motor yang lebih mendominasi. Dalam remang-remang Laila mendengar Arya memanggilnya. "Iya, Mas? Kau memanggikku?" tanya Laila dengan lebih mendekatkan kepalanya di pundak Arya. Jelas, hal itu semakin membuat Arya menegang untuk kian kalinya."Laila, pegangannya dipundak saja, jangan di perut!" teriak Arya di dalam helm."Apa Mas? Peluk? Iye deh ini peluk!" jawab Laila yang malah semakin memeluk Arya. "B-bukan gitu Laila, maksudku---""Iya ih! Ini juga udah erat Mas! Kurang depan ya?" teriak Laila semakin merapatkan dirinya ke depan. "Udah, sekarang yang kencang Mas!!"Di dalam helm yang tertutup itu Arya berdecak untuk beberapa kali. Memang ya, berbicara saat di atas motor malah ngelanturr jadinya. Udah meluk erat dagunya Laila bersandar pula dipundaknya. Namun t